Pakar: Pertimbangan Putusan MK Tak Mengikat

Pertimbangan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya berwenang menangani kasus-kasus korupsi sebelum UU KPK diundangkan bersifat tidak mengikat. Hanya pengadilan yang berhak memutuskan apakah KPK berhak menangani kasus-kasus yang sedang ditanganinya. Sebab, masalah itu sudah masuk ke dalam penerapan hukum.

Itu kewenangan pengadilan tindak pidana korupsi, kata Rudy Satrio, ahli hukum pidana Universitas Indonesia, dalam acara diskusi Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) di Jakarta kemarin. MK, Rudy melanjutkan, adalah lembaga yang menafsirkan undang-undang, bukan membahas masalah penerapan undang-undang.

Seperti diketahui, MK telah menolak permohonan uji materiil yang diajukan Bram Manoppo tentang Pasal 68 UU KPK terhadap Pasal 28i ayat 1 UUD 1945. MK menilai, Pasal 68 UU KPK yang dikenakan kepada Bram tidak mengandung asas retroaktif. Selain itu, Bram tidak mempunyai legal standing karena terbukti KPK tidak menggunakan pasal 68 untuk menangani kasus itu, melainkan dengan Pasal 9 huruf c UU KPK.

Namun, penasihat hukum Abdullah Puteh mengajukan putusan MK ke pengadilan tindak pidana korupsi sebagai barang bukti. Mereka meminta majelis hakim menghentikan persidangan kasus korupsi terhadap Puteh, karena dalam pertimbangan putusan MK tersebut menyatakan, KPK tak berwenang menangani kasus korupsi yang terjadi sebelum lembaga itu berdiri.

Pembicara lainnya, Benny K. Harman, mengatakan, majelis hakim tindak pidana korupsi itu bisa menghiraukan putusan MK. Sebab, menurut dia, majelis hakim bukanlah corong undang-undang. Hakim bisa mengesampingkan UU yang dianggap tidak adil, kata anggota DPR ini.

Sementara itu, Firmansyah Arifin, Ketua KRHN, meminta majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi berpikir jernih bahwa putusan dalam kasus Bram itu menolak permohonannya. Sementara itu, mengenai pertimbangan dalam pengambilan putusan itu, kata dia, tidak bersifat mengikat. MK memutuskan pasal 68 tidak mengandung asas retroaktif, ujarnya. edy can

Sumber: Kompas, 25 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan