Pak Hoegeng dalam Kenangan [15/07/04]
Bangsa, masyarakat, dan negara kehilangan seorang tokoh panutan, seorang yang senantiasa hidup dalam kejujuran, sekaligus sebagai simbol bagi kejujuran yang hidup. Almarhum bukan hanya menjadi simbol kejujuran bagi kepolisian, tetapi juga bagi seluruh jajaran birokrasi, bahkan simbol kejujuran bagi seluruh masyarakat.
Pak Hoegeng berhenti dari jabatan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebelum selesai masa jabatan yang seharusnya berlangsung tiga tahun. Diberhentikan oleh Presiden Soeharto di tahun 1970 karena Pak Hoegeng jujur dan konsisten dalam melakukan kewajibannya sebagai polisi.
Seperti yang diceritakan oleh almarhum kepada rekan- rekannya di Kelompok Kerja Petisi Lima Puluh, bermula dari rencananya untuk menangkap seorang penyelundup besar, yang datanya di Mabes Polri sudah memadai untuk ditahan. Hanya karena sang penyelundup tersebut diketahui punya backing dari Cendana, almarhum ingin menyampaikan penangkapan tersebut kepada Presiden Soeharto.
Yang membuatnya kaget adalah ketika Pak Hoegeng sampai di Cendana, orang yang direncanakan akan ditangkap oleh kepolisian itu ternyata sedang berbincang- bincang dengan Soeharto. Seperti yang dikatakannya, sejak itu Pak Hoegeng sekuku hitam pun tidak percaya lagi kepada Soeharto.
Rupanya peristiwa itulah yang mempercepat pemberhentiannya sebagai Kepala Polri oleh Presiden Soeharto. Alasan yang dikemukakan oleh Soeharto adalah untuk regenerasi. Namun, yang kemudian membuat Pak Hoegeng merasa aneh ialah ketika menanyakan siapa yang akan menggantikannya, Soeharto mengatakan Mohammad Hassan. Secara spontan Pak Hoegeng mengatakan kepada Soeharto bahwa usia Mohammad Hassan lebih tua darinya, hanya untuk menunjukkan bahwa alasan regenerasi itu hanyalah dibuat-buat. Alasan sesungguhnya adalah Soeharto ingin menyingkirkan seorang Kepala Polri yang jujur.
yang penuh dari Pak Hoegeng tentu membawa konsekuensi bagi hidupnya sehari-hari. Pernah dituturkannya sekali waktu, setelah berhenti dari Kepala Polri dan pensiunnya masih diproses, suatu waktu dia tidak tahu apa yang masih dapat dimakan oleh keluarga karena di rumah sudah kehabisan beras.
Di pagi keesokan harinya ternyata ada yang mengantarkan beras dan kebutuhan lain ke rumahnya. Ternyata itu adalah kiriman dari almarhumah ibu Nani Sadikin, istri Pak H Ali Sadikin.
Itulah sekadar beberapa catatan kenangan untuk Pak Hoegeng yang baru saja meninggalkan kita.
Seorang yang hidupnya senantiasa jujur, seorang yang menjadi simbol bagi hidup jujur, dan simbol bagi kejujuran yang hidup. Ada guyonan di masyarakat tentang kejujuran seorang Hoegeng bahwa hanya ada dua polisi yang tidak bisa disuap, yaitu Polisi Hoegeng dan polisi tidur.
Selamat jalan Pak Hoegeng. Contoh hidupmu tidak akan sia-sia. (Oleh Chris Siner Key Timu)
Jakarta, 14 Juli 2004
Tulisan ini diambil dari Kompas, 14 Juli 2004