Pajak Atas Sumbangan Parpol

Staf Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan Dirjen Pajak Darmin Nasution menyatakan bahwa sumbangan pengusaha ke parpol akan mengganggu penerimaan pajak 2009 (Sabtu, 26 Juli 2008). Juga Ketua Apindo Sofwan Wanandi menguatkan pernyataan Dirjen Pajak tersebut dengan mengatakan, setelah BUMN dilarang menyumbang untuk parpol, pengusaha akan menjadi tumpuan utama bagi parpol untuk memperoleh dana.

Pertanyaannya, apa kaitannya sumbangan pengusaha untuk parpol dengan penerimaan pajak 2009?

Aturan Sumbangan
Kalau kita mencermati UU Pajak Penghasilan (PPh) No 17/2000, ada dua pasal yang mengatur bantuan atau sumbangan. Pasal 4 ayat 3 menyatakan bahwa bantuan sumbangan (termasuk zakat) tidak termasuk objek pajak, sedangkan pasal 9 ayat 1 menjelaskan bahwa bantuan atau sumbangan tidak dapat menjadi pengurang penghasilan kena pajak (laba bersih perusahaan).

Namun, dalam RUU Pajak Penghasilan -masih dalam tahapan di DPR- disebutkan bahwa sumbangan dapat menjadi pengurang penghasilan bagi wajib pajak.

Menurut saya, terminologi sumbangan yang dimaksud lebih tepat bila pada sumbangan atas bencana alam atau kegiatan sosial. Pada waktu terjadi tsunami di Aceh, pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No 609/2004 tentang Sumbangan ke Aceh dan Sumatera Utara dapat menjadi pengurang kewajiban perpajakan.

Walaupun sangat jelas KMK ini bertentangan dengan UU No 17/ 2000, untuk kondisi darurat dan sebagai pemicu bagi pengusaha agar mempunyai keinginan yang lebih besar untuk menyumbang atau menyalurkan bantuan kepada korban gempa, hal ini tidak menjadi polemik. Tepatnya, langkah pemerintah saat itu adalah sebagai bentuk tanggapan reponsif membantu rakyat Aceh yang terkena bencana.

Tentu akan sangat berbeda dengan sumbangan untuk parpol dalam rangka menggalang dana pada pemilu legislatif dan presiden 2009. Tetapi, ketika sudah disetujui dan disahkan DPR dan pemerintah mengenai sumbangan ini, seharusnya pemerintah juga bertindak cepat dengan cara membatasi mengenai sumbangan yang dimaksud dengan peraturan peraturan pelaksanaannya.

Kalau ''sumbangan'' tersebut juga termasuk sumbangan ke parpol, dari sisi penerimaan pajak persoalan muncul kalau sumbangan ini cukup besar di mana penghasilan netto sebagai dasar perhitungan pajak juga semakin mengecil. Otomatis, pajak yang dibayarkan pun akan semakin kecil. Padahal, kita mafhum bersama nilai sumbangan pengusaha ke parpol pada pemilihan caleg maupun capres jumlahnya sangat fantastis!

Ilustrasi bila seorang pengusaha dan satu perusahaan menyumbang maksimal Rp 5 miliar (sesuai UU Parpol), pembayaran pajak yang berkurang hampir Rp 1,5 miliar (tarif 30% dikalikan penghasilan netto). Akan semakin banyak bila dipakai data lama (sd Desember 2005), sebuah parpol besar sudah mengumpulkan dana sumbangan Rp 25 miliar atau pajak yang berkurang mendekati Rp 7,5 miliar (Jawa Pos, 19 Desember 2007). Angka ini akan semakin membengkak seiring dekatnya waktu pemilihan.

Pengamanan Penerimaan

Ketika UU Pajak Penghasilan diberlakukan pada 2009, Ditjen Pajak sudah dihadapkan pada potential loss akibat fungsi pajak sebagai pengatur (reguleren). Diperkirakan pada 2009, Ditjen Pajak akan mengalami potential loss Rp 40,8 Triliun akibat diberlakukannya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp 13,2 juta menjadi Rp 15,840 juta; turunnya tarif PPh Badan menjadi 28% dan turunnya tarif PPh Orang Pribadi menjadi lapisan teratasnya 30% (Jawa Pos, 22 Juli 2008 Halaman 15).

Ini belum lagi pembebasan penerimaan pajak dari Fiskal Luar Negeri (FLN) yang akan menambah potential loss Rp 1 triliun lebih.

Kerja jajaran Ditjen Pajak akan semakin berat karena target pencapaian rasio pajak (tax ratio) 19% pada 2009 seperti yang diinstruksikan Presiden SBY di awal masa jabatannya harus terpenuhi (27 Oktober 2004). Simulasi perhitungan pada data empiris, setidaknya dibutuhkan tambahan Rp 177,5 Triliun agar amanat tax ratio 19% tercapai.

Walhasil, potential loss yang mungkin muncul akibat situasi politik, keamanan, bencana alam, ekonomi global - harus segera diantisipasi dan dicari solusinya sedini mungkin. Khusus efek penurunan penerimaan pajak akibat sumbangan pengusaha ke parpol dalam menyambut pemilu 2009, setidaknya Ditjen Pajak harus mulai menemukan solusi terbaik.

Data pengusaha yang menyumbang dan besarnya nilai sumbangan dapat dimanfaatkan Ditjen Pajak untuk mengali potensi perpajakan atau setidaknya dapat menutupi potential loss akibat perlakuan sumbangan sebagai pengurang penghasilan.

Ditjen Pajak juga dapat memisahkan sumbangan tersebut berdasarkan asalnya, apakah dari perusahaan (badan usaha) yang diambil dari keuntungan/laba ditahan atau dari kocek pribadi pengusahanya. Kalau dana tersebut diambil bukan dari laba ditahan maka Ditjen Pajak dapat segera melakukan pemeriksaan karena dapat dipastikan perusahaan tersebut tidak sehat.

Sebaliknya, kalau dana tersebut bersumber dari pribadi pengusaha harus ditelusuri darimana mendapatkan dana tersebut (penghasilan, bonus, warisan, dll) dan yang paling penting - apakah terhadapnya sudah dipotong pajak.

Efek terganggunya penerimaan pajak akan terjadi pada Maret 2009, yaitu ketika wajib pajak memasukkan SPT 2008. Jadi, 2008 ini dapat dikatakan bahwa penerimaan pajak akan aman. Khusus 2009, ketika WP memasukkan SPT 2008 yang akan mengakibatkan penerimaan pajak atas kekurangan pembayaran (PPh pasal 29) dan angsuran pajak (LS) bulan berikutnya berkurang, Ditjen Pajak dapat mengeluarkan kebijakan untuk segera meneliti dan mengelompokkan WP yang laporan keuangannya menunjukkan pengeluaran sumbangan dengan jumlah cukup signifikan sehingga menjadi faktor penentu berkurangnya pajak yang dibayarkan.

Tentu, bila sumbangan yang diberikan tidak memenuhi syarat sesuai ketentuan yang berlaku, Ditjen Pajak dapat segera mengoreksi fiskal atas pembiayaan sumbangan ini.

Antisipasi Dini

Karena fungsinya, pajak kadang harus berperan juga sebagai alat kebijakan fiskal (reguleren) yang sangat sering bertentangan dengan fungsi utamanya yaitu sebagai penghimpun dana (budgeter).

Untuk itu, kebijakan apa pun yang diambil pemerintah yang dampaknya mengurangi penerimaan pajak harus segera diantisipasi sejak dini. Jajaran Ditjen Pajak akan terus mengali potensi pajak yang lain sehingga target pajak akan tetap tercapai.

Chandra Budi , staf Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan.

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 1 Agustus 2008 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan