Pagar, Pabrik Roti, dan MA

Ada beragam istilah yang memakai kata 'pagar'. Orang Jawa Barat memakai istilah 'pagar desa' untuk menyebut pembantu penjaga keamanan desa. Ada pula 'pagar sua', yaitu pagar sekatan di antara dua ekor kerbau yang hendak diadu. 'Pagar ayu', barisan penerima tamu yang terdiri dari perempuan-perempuan cantik. 'Pagar langkan', tembok penutup lorong yang dibangun di sekeliling candi. 'Pagar bulan', awan yang mengelilingi bulan. 'Pagar betis', penjagaan yang ketat. Dan banyak lainnya.

Apa kaitan antara 'pagar' dan kasus suap di Mahkamah Agung (MA)?

Jumat (7/10). Kantor MA, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta. Siang yang berkeringat. Puluhan wartawan berjejal di sebuah ruangan yang bersebelahan dengan kamar kerja Ketua MA Bagir Manan. Dua orang petugas keamanan dalam (PKD) MA berjaga di muka pintu. Berdiri tegap.

Ya, hari itu Bagir terlihat gusar. Ia duduk di sofa. Wartawan mendekat ke arahnya. Bagir ingin memberikan klarifikasi atas tuduhan suap yang menyeret namanya.

Bagir mengatakan selama ini ia mengaku telah membangun pagar yang cukup tinggi di sekeliling kantor MA. Pagar itu tak hanya tinggi secara fisik, tapi juga merupakan simbol bahwa tak sembarangan orang bisa masuk ke sana. Prinsipnya, hakim tak boleh bertemu dengan mereka yang sedang beperkara.

Namun ternyata ceritanya lain. Pagar yang dibuat Bagir roboh. Gara-garanya, ada lima pegawai MA yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga hendak menyuap hakim MA. Kejadiannya sepekan lalu, Kamis (29/9). Mereka ditangkap beserta Harini R Wiyoso, (mantan Hakim Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta), pengacara konglomerat Probosutedjo dalam kasus korupsi Dana Reboisasi (DR) di Kalimantan Selatan sebesar Rp100,9 miliar, yang proses kasasinya sedang ditangani MA. Kebetulan, Bagir adalah ketua majelis hakimnya berikut dua hakim anggota, Parman Soeparman dan Usman Karim.

Pegawai MA yang ditangkap itu tak terlalu mentereng jabatannya. Malam Pagi Sinuhadji, Kepala Bagian Umum di Biro Kepegawaian MA. Suhartoyo, Wakil Sekretaris Korpri MA. Sudi Ahmad, staf MA. Sriyadi, staf bagian perdata MA. Pono Waluyo, staf bagian kendaraan MA. Meski begitu, uang yang beredar besar juga. Kata Harini, Rp5 miliar disiapkan buat Bagir. Tapi kata pegawai MA, cuma Rp1,3 miliar.

Alur yang terungkap begini: Harini menyerahkan uang ke Pono. Lantas dikirimkan Sudi ke Malam Pagi. Malam menyuruh Sriyadi menemui Abdul Hamid (Kepala Seksi Pengamanan Perkara Pidana MA) yang disebut-sebut menyanggupi untuk mengamankan perkara). Tapi sebelum diserahkan, penangkapan terjadi.

Kejadian itu dianggap sebagai alasan kuat untuk menyebut ada mafia peradilan di MA, itu sudah banyak yang mengungkapkan. Ketua Komisi Yudisial, Busyro Muqodas, salah satunya. Bahkan Muqodas tak hanya berucap, ia mengaku pernah mengalami sendiri 'diperas' Rp20 juta oleh orang MA ketika sedang mengurus percepatan sebuah perkara kasasi beberapa tahun lalu.

Bahwa kejadian itu juga membuka tabir lokasi perdagangan perkara di MA, itu juga benar. Kali ini, bahkan, bukan pihak luar yang membukanya, melainkan orang dalam MA sendiri, Ketua Muda Perdata MA Harifin A Tumpa. Tanpa ditanya, Harifin menegaskan MA akan memperketat pengawasan di beberapa tempat. Terutama di kantin, wartel, dan pelataran parkir kantor MA, cetusnya.

Lo, kenapa di tempat itu? Kata Harifin, di sanalah tempat yang biasanya disebut-sebut sebagai tempat 'penyelesaian' perkara.

Pelataran parkir MA itu luasnya kira-kira lima kali luas lapangan bulu tangkis. Lantainya terbuat dari blok. Letaknya di sisi sebelah kanan gedung utama MA, dipisahkan oleh pagar setinggi kira-kira dua meter dengan Jl Veteran III, Jakarta. Sekelilingnya dipenuhi pepohonan rindang. Selain di situ, ada pula lahan parkir yang letaknya di sisi kiri Gedung MA. Namun, tak seluas pelataran pertama.

Di ujung pelataran pertama, menikung ke kanan, berdiri gedung perencanaan atau Gedung Korpri MA. Di sanalah penyidik KPK sempat menggeledah sebuah ruangan, tepatnya kamar G 104, bersama Sudi dan Suhartoyo. Hasilnya empat kardus berisi penuh dokumen diangkut ke KPK. Di tempat itu pula, Sudi dan Suhartoyo yang sehari-hari berkantor di situ, tiba-tiba menjadi 'tak dikenal' oleh koleganya sesama pegawai MA. Kalau wajahnya saya kenal, tapi namanya tidak tahu, kata seorang pegawai MA, yang kamar kerjanya bersebelahan dengan kamar G 104, ketika KPK melakukan penggeledahan.

Sederet dengan Gedung Korpri, berhadapan dengan pintu masuk menuju balairung MA (yang pintunya hanya terbuka setengah) terdapat wartel dan kantin. Ada pula sebuah musala. Letak kantin berbatasan dengan Jl Veteran II, berseberangan dengan Gedung Departemen Dalam Negeri, namun dipisahkan oleh pagar terali besi setinggi dua meter. Dari sela terali, para pegawai MA terlihat menerima pesanan makanan, minuman, dari para pedagang yang berjajar di luar pagar.

Ketika Media berkunjung ke situ, Jumat lalu, beberapa pegawai MA tampak berkeliaran. Ada beberapa pegawai lelaki dengan kemeja tak dimasukkan ke celana duduk di tangga menuju pintu balairung MA. Jam menunjuk pukul 13.15 WIB.

Larangan untuk berkeliaran saat jam kerja bukannya tidak ada. Pimpinan MA bahkan menaruh papan berukuran 1x1 meter bertuliskan aturan PP Nomor 30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS di beberapa titik. Salah satunya di dinding dekat pintu lift di lantai I.

Namun aturan itu seolah dianggap sepi. Di dinding kaca lobi kantor, terpasang stiker bertuliskan 'Tidak menerima tamu yang berhubungan dengan perkara'. Ada pula stiker lain, 'Pegawai MA dilarang duduk di lobi'. Tapi celakanya, kerap terlihat pegawai MA duduk di sofa yang ada di lobi itu. Beberapa berbincang dengan para tamu.

Beberapa waktu lalu, Media memergoki seorang pegawai MA yang sedang menemui tamunya. Mereka berdua berdiri, menyandarkan lengan di meja depan lobi tersebut. Media, yang berjarak kurang dari satu meter, melihat tamu itu menyerahkan secarik kertas bertuliskan nomor perkara. Kejadiannya berlangsung sebentar. Kemudian pegawai MA itu memberikan nomor ponsel ke tamu itu, sambil menerima kertas.

Potret semacam itu, sekali lagi, bukannya tak disadari pimpinan MA. Selain Harifin, Ketua Muda Pengawasan MA Gunanto Suryono juga menegaskan MA akan memperketat pengawasan. Bahkan selebaran yang berisi berbagai larangan, termasuk larangan berkeliaran ke luar ruang kerja, di luar jam dinas, sudah terlihat ditempel di beberapa titik di kantor MA.

Bagir juga sadar itu. Ia mengutip Montesqueui, 'Tak ada kekuasaan yang tak disalahgunakan. Di MA ada sekitar 1.200 orang pegawai. Dan apa saja bisa terjadi, demikian Bagir berucap.

Harifin Tumpa pernah berkomentar, adanya kasus suap itu adalah bukti kebodohan masyarakat juga, karena mau memercayai orang di MA yang tidak memiliki akses. Secara rasional Anda pikir saja, apa hubungan mereka dengan perkara itu? Ini adalah bukti kebodohan masyarakat memercayai orang yang tidak memiliki akses, ujarnya kalem.

Berarti akses itu ada? tanya wartawan. Harifin tidak menjawab dan beralih ke topik lain.

Tapi, betapa pun juga, menurut Ketua Masyarakat Profesional Madani (MPM) Ismed Hasan Putro, cara-cara bertemu fisik dalam transaksi perkara itu adalah cara-cara konvensional. Di era sekarang, 'perdagangan' bisa pula terjadi tanpa bertemu muka, misalnya lewat pesan pendek atau teknologi sambungan seluler lain. Bahkan ada cara-cara cerdas, dengan memarkir uang di luar negeri, seperti Singapura, kan, tutur Ismed.

Pengusutan kasus suap itu, kini, sedang intensif ditangani KPK. Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki berujar, terungkapnya kasus suap tersebut hendaknya dijadikan (entry point) bagi MA untuk membenahi birokrasi peradilan di lingkungannya. Bagir pun telah membuka diri, akses, bagi KPK untuk memeriksa pihak-pihak yang diduga terlibat kasus suap itu. Oleh karena itu, tak bijak pula menuduh seseorang bersalah, sebelum ada bukti dan persidangan yang memutus perkara.

Namun persoalan robohnya pagar MA, patut mendapat perhatian. Mengapa pagar itu bisa roboh? Siapa yang merobohkan? Dengan cara apa ia dirobohkan? Bagaimana supaya kukuh? Dan sederet pertanyaan lain, tentu menjadi persoalan yang harus dipecahkan dan dipulihkan. Atau mungkin kondisinya sudah kronis. Tak bisa diperbaiki. Sebab, seperti kata seorang pegawai MA, Di sini (MA) kan pabrik roti. Masak sih kita tidak kebagian roti. (Agustinus Edy Kristianto/P-3)

Sumber: Media Indonesia, 10 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan