Paduan Maut: Korupsi dan Perubahan Iklim
Perubahan iklim telah menjadi ancaman bagi keberlanjutan spesies manusia di bumi. Bagi masyarakat di negara berkembang, yang rentan terdampak, ancaman itu kian serius karena upaya adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim rentan dibajak koruptor.
Pesan tentang pentingnya mewaspadai korupsi dalam perubahan iklim ditegaskan dalam International Anti-Corruption Conference (IACC) Ke-14 di Bangkok, Thailand, pada 10-13 November 2010. Sejumlah sesi secara khusus membahas korupsi yang bisa menggagalkan upaya adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim itu.
Laporan teranyar Global Humanitarian Forum (The Anatomy of Silent Crisis, Geneva, 2009) menyebutkan, perubahan iklim menyebabkan kematian 300.000 orang dalam setahun dan berdampak pada hidup 325 juta orang. Banjir, kekeringan, topan, naiknya muka air laut, gelombang panas, gagal panen, hingga meningkatnya penyebaran berbagai penyakit hanya sebagian contoh dari dampak perubahan iklim yang telah hadir.
Namun, negara yang paling terdampak dan membutuhkan bantuan untuk beradaptasi adalah juga yang paling korup. Berdasarkan survei Transparency International (TI) 2010, hampir semua negara rentan terhadap perubahan iklim memiliki Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di bawah 3,5 (dari skala 10).
Negara dengan IPK terendah adalah Somalia, yaitu 1,1, diikuti Myanmar dengan nilai 1,4 dan Afganistan juga 1,4. Indonesia, sebagai salah satu negara kepulauan yang juga rentan terdampak, memiliki IPK 2,8 atau peringkat ke-110 dari 178 negara yang disurvei.
Korupsi jalan terus
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dan Bank Dunia memperkirakan komunitas internasional membutuhkan dana 170 miliar-765 miliar dollar AS per tahun untuk menghadapi perubahan iklim. Walau jumlah dana yang dibutuhkan sudah dihitung, tetap saja belum ada kesepakatan bagaimana uang itu dikumpulkan, didistribusikan, dan dimonitoring. Di tengah ketidakpastian ini, korupsi sudah mengintai.
UNFCCC di Kopenhagen 2009 berkomitmen mengalokasikan dana 30 miliar dollar AS pada 2010-2012, dan menjadi 100 miliar dollar AS pada 2020, untuk membantu negara berkembang beradaptasi terhadap perubahan iklim. ”Semakin besar dana yang mengalir, potensi korupsi juga besar,” kata Iftekhar Zaman, Direktur Eksekutif TI Banglades.
Besarnya potensi korupsi dalam pengelolaan dana untuk menghadapi perubahan iklim, kata Iftekhar, karena belum ada kemajuan dan perubahan integritas di kalangan politisi, khususnya di negara berkembang. ”Lebih dari separuh politisi korup,” katanya, mengacu pada studi yang dilakukan di Banglades. Apa yang terjadi jika uang itu digelontorkan sebelum politisi korup menyadari gentingnya dampak perubahan iklim terhadap rakyat?
Hakan Tropp, penasihat pada Program Pembangunan PBB (UNDP) Water Governance Facility (WGF), menilai, korupsi menyebabkan biaya adaptasi kian mahal, tak terjangkau pendanaan yang ada, dan jauh dari sasaran. ”Padahal, yang paling terdampak adalah yang paling miskin,” katanya.
Menurut Hakan, potensi korupsi juga besar jika mekanisme yang dipakai masih sama seperti proyek multinasional sebelumnya. ”Apakah kita masih mau mengirimkan dana melalui proyek Bank Dunia seperti sebelumnya?” ujarnya. Dia menyarankan agar dicari terobosan baru yang lebih transparan dan tidak top down dalam penyaluran dana adaptasi ke negara yang membutuhkan.
Pengalaman masa lalu mengajarkan, proyek yang didanai melalui lembaga keuangan multinasional dengan mekanisme top down dan minim partisipasi lokal rentan dikorup, selain juga salah sasaran dan memicu konflik. Direktur Bank Dunia Sri Mulyani, yang menjadi pembicara dalam pembukaan konferensi, menyatakan, Bank Dunia kini punya komitmen tinggi terhadap pemberantasan korupsi.
Belajar dari kegagalan proyek yang disalurkan lewat pemerintah, menurut Hakan, penentu kebijakan global kini juga tengah menjajaki kemungkinan penyaluran dana adaptasi melalui sektor swasta. Namun, di banyak negara berkembang, sektor swasta juga tak kalah korup dibandingkan pemerintahnya.
Menurut Hakan, prasyarat yang harus disiapkan sebelum menerapkan program adaptasi di negara berkembang adalah meningkatkan integritas pemerintah dan sektor swastanya. Selain itu, juga meningkatkan partisipasi gerakan sipil untuk turut mengawasi.
Susannah Kinghan, konsultan dari Water Integrity Network (WIN), menyebutkan, salah satu titik rentan korupsi dalam adaptasi adalah sektor air. Mengingat besarnya dampak perubahan iklim pada masalah air, alokasi dana ke sektor ini juga besar.
Masalah menjadi lebih kompleks karena air lekat dengan masalah politik dan konflik lintas batas negara. Ia mencontohkan Sungai Yordan, yang menjadi sumber konflik antara Israel, Jordania, dan Palestina. Contoh lain adalah konflik perebutan air Sungai Mekong yang melibatkan China, Myanmar, hingga Thailand.
Susannah juga menyebutkan tentang tren korupsi berupa penyesatan informasi untuk menutupi tanggung jawab yang mestinya dipikul pemerintah. Ia mencontohkan banjir di Pakistan dan Banglades, yang oleh otoritas setempat disebutkan karena perubahan iklim. Padahal, banjir itu juga karena kerusakan hutan dan buruknya tata kelola air.
Contoh itu mengingatkan pada kasus banjir dan longsor di Wasior, Papua Barat, serta kasus lain di Indonesia. Pemerintah biasa menyalahkan alam. Membuka akses informasi, kata Susannah, bisa mencegah korupsi karena itu artinya publik turut berpartisipasi aktif sejak dari perencanaan hingga pengawasan.
Upaya mengatasi perubahan iklim mensyaratkan perubahan cara pandang untuk tak lagi melihat permasalahan sebagai business as usual, apalagi korupsi as usual. Namun, faktanya, negara maju, pembuang emisi karbon terbesar, sibuk bersiasat untuk menghindar dari tanggung jawab. Di negara berkembang, korupsi masih jalan terus dan belum ada tanda menjadi lebih baik. (Ahmad Arif)
Sumber: Kompas, 19 November 2010