Otonomi (Pungutan) Pendidikan

Kesewenang-wenangan sekolah menarik dana pendidikan dari masyarakat sudah pada taraf mengkhawatirkan. Banyak orangtua mengeluhkan biaya besar yang harus dibayar untuk sumbangan pengembangan institusi.

Otonomi pendidikan oleh insan pendidikan tampaknya baru dipahami sekadar sebagai otonomi untuk memungut dana dari orangtua. Namun apa daya orangtua? Mereka tidak bisa marah sebab anak harus sekolah. Mereka pasrah meski dijadikan sapi perah! Siswa dari keluarga miskin akhirnya hengkang dari sekolah. Mereka tak mampu membayar uang sekolah.

Menarik dana pendidikan dari masyarakat merupakan sesuatu yang wajar, terlebih bagi sekolah-sekolah swasta yang hidup matinya tergantung dari dana masyarakat. Namun, proses ini menjadi tidak wajar saat lembaga pendidikan memanfaatkan posisi lemah kekuatan tawar-menawar orangtua terhadap kebijakan sekolah. Ada ketidakberesan dalam komunikasi pendidikan dan cara memahami otonomi sekolah. Alih-alih memosisikan orangtua sebagai partner malah menjadikannya sapi perah.

Dalam kerangka pendidikan, orangtua masih dipahami sebagai institusi legal yang hanya bertanggung jawab bagi proses pendidikan anak-anaknya secara ekonomis. Di luar itu, peran orangtua nol.

Otonomi pendidikan yang berubah wajah menjadi otonomi pungutan pendidikan melahirkan ketimpangan, menyuburkan ketidakadilan dan mengerdilkan solidaritas. Elitisme sekolah menyingkirkan keluarga miskin dari sekolah. Yang kaya kian berjaya. Yang miskin kian tak berdaya.

Ketidakadilan dalam memperoleh akses pendidikan bagi kalangan miskin menjadi kian besar ketika jumlah kursi sekolah yang ada ternyata lebih kecil dibandingkan dengan para lulusan yang semestinya melanjutkan ke jenjang pendidikan berikut. Akibatnya, sekolah (negeri dan swasta) kian berlomba menarik dana dari orangtua dengan memanfaatkan rasa khawatir atas terbatasnya jumlah sekolah yang ada.

Situasi pendidikan seperti ini amat kontraproduktif dengan usaha-usaha untuk konsolidasi demokrasi. Tanpa adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga untuk mengenyam pendidikan, di mana negara semestinya menjamin hak-hak dasar ini, sekolah menjadi semakin elitis dan antidemokrasi. Sebab bukannya persamaan yang kita perjuangkan, tetapi diseminasi perbedaan dan ketimpangan.

Usaha untuk konsolidasi demokrasi hanya bisa mungkin dimulai dengan menciptakan sebuah sekolah yang sungguh memiliki otonomi.

Dua sasaran
Sekolah yang memiliki visi otonomi dalam masyarakat demokratis semestinya mengarahkan diri pada dua sasaran yang berjalan secara seimbang.

Pertama, otonomi pendidikan seharusnya memusatkan kinerja dan perhatiannya terutama pada dan bagi anak didik. Instansi yang terlibat dalam kerangka pendidikan, seperti sekolah, guru, orangtua, dan masyarakat, merupakan sebuah jaringan demi tujuan formasi anak didik. Karena itu, program pendidikan yang diusulkan, sistem kurikulum yang ditawarkan, penganggaran pendapatan dan belanja sekolah semestinya diarahkan pada satu tujuan bersama yaitu proses pembentukan (formasi) anak didik.

Otonomi pendidikan baru akan memiliki arti saat anak didik mampu bertumbuh, berkembang, dan menyempurnakan diri melalui akuisisi pengetahuan, pembiasaan perilaku baik, pemahaman nilai, pembentukan karakter, yang disertai rasa solidaritas dan kebebasan yang bertanggung jawab, bagi perkembangan diri sendiri maupun kebaikan orang lain. Hanya melalui visi ini, otonomi pendidikan mampu menciptakan suasana demokratis yang membantu melahirkan warga negara yang terbuka dan mampu bekerja sama demi kebaikan bersama.

Kedua, otonomi sekolah merupakan sebuah sintesis antara kebijakan makro (visi dan kebijakan Menteri Pendidikan tentang tujuan pendidikan nasional dan perangkat praktis ke arah sana) dan kebijakan mikro (sistem organisasi sekolah, pengayaan kurikulum, tanggung jawab sekolah atas program formasi, dan lainnya). Dalam level mikro inilah orangtua benar-benar dilibatkan dalam proses formasi anak didik dengan memberi masukan, usulan dalam program kurikuler yang dipilih dan ditawarkan sekolah. Orangtua seharusnya menjadi partner dalam proses formasi anak didik. Di sini komunikasi pendidikan dan transparansi dijiwai semangat demokratis, keterbukaan, disertai kepekaan akan kebutuhan masyarakat lokal.

Komunikasi pendidikan yang memerhatikan berbagai dimensi relasional di antara pihak-pihak yang terkait proses formasi (orangtua, pendidik, sekolah, masyarakat, dan lainnya) merupakan jalinan relasional yang saling menghargai otonomi dan peran dalam kerangka pendidikan.

Karena itu, otonomi pendidikan tidak sekadar dipahami dari kacamata ekonomis yang menjadikan orangtua, dalam relasinya dengan lembaga pendidikan, sekadar sebagai obyek penarikan dana, tetapi melibatkan dimensi partisipatif (kesinambungan pendampingan orangtua pada anak didik pascasekolah), komunikatif (sistem kontrol dan propositif atas transparansi keuangan dan perencanaan program formatif sekolah), dan konsiliatif (keterbukaan untuk menerima masukan dari masyarakat berkaitan dengan program pendidikan yang ditawarkan).

Sekolah yang memiliki otonomi, jika dipahami lewat kacamata seperti ini, akan menjadi pembaru dalam arti sebenarnya, dan menghilangkan tiga jenis penyakit pendidikan yang muncul dalam konteks pendidikan terpusat (sentralistis), seperti inefisiensi (buang banyak uang dan tidak produktif), kemandulan produksi (dalam arti menjadi mesin yang memproduksi kekosongan, menghasilkan pemahaman pengetahuan yang tidak mendalam, pemborosan otak anak didik), serta antidemokrasi (tidak adanya kesempatan menerima pendidikan yang sama, drop out karena miskin, konsep tentang anak didik yang abstrak dan jauh dari lingkungan).

Otonomi pendidikan jika dipahami secara sempit sekadar sebuah otonomi (=kesewenangan) menarik dana dari masyarakat yang pada gilirannya akan jadi bumerang bagi dunia pendidikan itu sendiri.

Mengingat nilai-nilai demokrasi yang dipertaruhkan, dalam sistem pendidikan yang elitis dan sektarian, pemerintah perlu mengusahakan dijaminnya hak-hak kaum miskin untuk tetap dapat mengenyam pendidikan yang dalam sistem pendidikan sekarang kian tersingkirkan.

Mengharapkan anak didik menjadi aktor dalam budaya yang dihidupi, memimpikan otonomi pendidikan yang berjiwa demokratis, merupakan upaya yang tak pernah boleh berhenti diusahakan.

Doni Koesoema A, Mahasiswa Jurusan Ilmu Pendidikan dan Pengembangan Profesional Universitas Salesian, Roma

Tulisan ini disalin dari Kompas, 10 Agustus 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan