Orang Tua Siswa, Bersatulah! [21/07/04]

Pendidikan kita memang kusut. Begitu banyak masalah dunia pendidikan yang dapat kita sebutkan. Mutu pendidikan dan kualitas universitas kita, dalam laporan beberapa lembaga internasional menempati peringkat bawah. Begitu pula landasan dan arah tujuan pendidikan, perlu kita pertanyakan. Ungkapan ganti menteri ganti kurikulum rasanya biasa kita dengar.

Tapi yang paling kentara dan menyedihkan, sampai saat ini kita belum dapat menciptakan akses pendidikan yang merata bagi semua kelompok masyarakat. Biaya pendidikan yang semakin mahal ini justru makin memperlebar kesenjangan kelompok masyarakat kaya dan miskin.

Pemerintah sendiri telah menyepakati Deklarasi Dakkar dan menetapkan target 2008/2009 semua anak dipastikan memperoleh pendidikan dasar. Namun, setiap tahun kita masih menyaksikan anak-anak terpaksa meninggalkan sekolah karena tidak mampu membayar biaya pendidikan. Tahun 2000/2001 misalnya, hanya 74,35% lulusan SD yang mampu meneruskan sekolah ke SLTP. Sampai akhirnya hanya sekira 1,5 juta orang yang beruntung dapat melanjutkan pendidikan sampai universitas.

Persepsi masyarakat yang masih mengidentikkan pendidikan dengan sekolah dimanfaatkan untuk mengeruk uang sebanyak-banyaknya. Pelayanan pendidikan akhirnya berkorelasi dengan kemampuan ekonomi. Keluarga kaya berebut membayar mahal untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Sedangkan keluarga miskin juga mengeluarkan uang banyak hanya untuk mendapatkan pelayanan pendidikan yang tidak berkualitas.

Mahalnya biaya sekolah
Janji salah seorang calon presiden untuk menggratiskan sekolah bukanlah janji baru. Bahkan sudah basi. SPP untuk pendidikan dasar secara resmi memang sudah dihapuskan sejak lama. Tapi itu tidak berarti pendidikan kita menjadi murah dan terjangkau masyarakat. Hilangnya SPP itu digantikan oleh pungutan resmi maupun tidak resmi yang justru makin membebani masyarakat.

Orang tua calon siswa belum-belum sudah harus mengeluarkan uang pada saat pendaftaran. Meskipun sudah dikeluarkan surat keputusan untuk menghapus uang pendaftaran, sekolah sepertinya tidak mau tahu. Pungutan tetap ada yang secara kreatif diberi bermacam nama. Transportasi pendaftaran kolektif, pembelian map, fotokopi formulir, sampai infaq kini dijadikan alasan sekolah melakukan pungutan waktu pendaftaran.

Biaya itu pasti membengkak jika kita menggunakan jalur belakang. Orang awam dengan mudah dapat menemukan calo-calo di sekolah maupun di Dinas Pendidikan. Mereka tidak malu-malu memberikan jaminan tempat duduk di sekolah dengan imbalan sejumlah uang. Itupun rupanya belum cukup. Mereka masih perlu berebut tempat duduk dengan calon siswa titipan lainnya. Sudah menjadi rahasia umum kalau sekolah dan Dinas Pendidikan juga mempunyai jalur khusus untuk calon siswa yang beruntung mempunyai keluarga atau kerabat pejabat.

Setelah anak diterima sekolah, pungutan pasti semakin besar. Berbagai pungutan baik itu resmi, setengah resmi, atau tidak resmi harus dibayar oleh orang tua siswa. Pungutan yang paling klasik adalah dana sumbangan pembangunan (DSP). Biasanya orang tua sudah disodori rencana pembangunan fisik yang katanya diperlukan untuk memberikan kenyamanan belajar.

Tidak bisa tidak, orang tua terpaksa memberikan sumbangan untuk bermacam pembangunan fisik yang kadang tidak berkaitan dengan proses belajar mengajar (PBM). Ada sekolah yang membangun aula tapi tidak pernah selesai sampai anak lulus sekolah. Ada sekolah yang membangun taman lengkap dengan air mancur atau aquarium ikan hias di lobbi sekolah. Ada juga sekolah yang rajin mengganti bahan dan warna pagar sekolah mereka.

Selama siswa bersekolah, pungutan bukannya berhenti. Berulang-ulang orang tua mendapatkan edaran dari sekolah yang pada intinya pemberitahuan biaya untuk berbagai kegiatan. Dari mulai kegiatan ekstra kurikuler, study tour, lembar kerja siswa, buku paket, tugas kelompok, infaq, pengadaan hewan qurban, sampai dengan biaya perpisahan guru atau mutasi kepala sekolah. Penelitian Agus Irawan dkk. (2004) menunjukkan, bahwa di SD saja bisa terdapat 17 sampai dengan 45 jenis pungutan yang dibebankan kepada orang tua siswa. Menakjubkan!

Inilah yang pada akhirnya membebani orang tua siswa. Sampai mereka harus rela mengurangi kebutuhan primer keluarga mereka. Survei yang dilakukan Yayasan kalyANamandira (2003) menemukan, biaya seorang siswa untuk kegiatan sekolah setiap bulannya dapat mencapai 40% dari penghasilan orang tua mereka. Jika ada 3 orang anak dalam keluarga itu yang masih bersekolah, dapat dibayangkan berapa uang yang tersisa untuk memenuhi kebutuhan primer seluruh keluarga tersebut.

Pemerintah adalah pihak yang pertama kali harus bertanggung jawab dalam permasalahan ini. Pemerintah tidak mampu melaksanakan amanat amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang mewajibkan alokasi 20% APBN dan APBD untuk sektor pendidikan. Anehnya, sejak amandemen itu disahkan MPR tahun 2002, anggaran pendidikan malah turun. Tahun 2001 kita mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 4,55% dari APBN. Tahun 2002 alokasi tersebut malah turun menjadi menjadi 11-15 triliun atau hanya sekira 3,76% saja dari APBN. Janganlah kita membandingkan dengan kucuran dana 90 triliun bagi rekapitulasi bank yang bangkrut karena korupsi dan salah urus manajemen.

Kesalahan pemerintah berlanjut dengan projek Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Sejak awal projek ini sarat dengan kepentingan negara/lembaga internasional yang memberi hibah dan utang untuk membiayai projek ini. Pendekatan projek dalam MBS ini juga mengakibatkan pelaksanaannya acak-acakan. Pelaksana dan birokrat yang bermental feodal hanya takut pada atasannya saja. Akhirnya mereka hanya berorientasi pada uang dan laporan.

Padahal pekerjaan rumah utama dalam mendukung MBS tidak dilaksanakan pemerintah. MBS yang bertujuan untuk mendorong otonomi sekolah dan partisipasi masyarakat melekat dengan pedekatan yang mulai dari bawah (bottom up). Untuk itu MBS harus didukung oleh demokratisasi struktur dan kultur pihak yang terlibat di dalamnya. Pendekatan projek justru menyalahi prinsip itu. Dominasi negara yang menjadikan MBS ini sebagai perintah dari atas (top down) justru mematikan partisipasi. Jangan ketinggalan pula lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap sekolah mengakibatkan rendahnya dorongan masyarakat untuk berpartisipasi.

Korupsi di sekolah
Dosa pemerintah paling besar adalah mengembangkan sistem yang memberi peluang korupsi. Sistem ini menyebabkan bocornya sebagian besar dana yang seharusnya dapat meringankan beban masyarakat. Berlindung di balik oknum rasanya tidak akan menyelesaikan masalah. Posisi negara kita sebagai juara korupsi di Asia dan masuk sepuluh besar dunia seharusnya membuat kita berpikir ada sesuatu yang salah dalam sistem kita.

Korupsi di dunia pendidikan berkait dengan struktur hulu sampai hilir. Mulai dari Departemen Pendidikan sampai dengan tingkat sekolah sebagai hilirnya. Memang agak sulit membayangkan begitu maraknya korupsi di salah satu pilar pembangunan mental dan moral ini. Tapi begitulah kenyataannya. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pernah menyampaikan, bahwa Departemen Pendidikan Nasional menempati urutan kedua untuk tingkat kebocoran anggaran pembangunan.

Begitu sistematiknya korupsi di bidang pendidikan dicontohkan dalam penelitian Ade Irawan dkk. (2004) mengenai penyediaan buku pegangan siswa. Untuk mengalokasikan bukunya ke sekolah, penerbit mesti melobi pejabat di Depdiknas, Dinas Pendidikan di kota/kabupaten sampai kecamatan agar bisa memberikan rekomendasi. Pada tingkat sekolah mereka harus menegosiasikan persentase keuntungan dengan kepala sekolah dan guru, kemudian guru akan mewajibkan siswa membeli buku tersebut. Guru beralasan terpaksa memungut biaya macam-macam kepada orang tua murid karena mereka pun dimintai banyak uang dan potongan gaji oleh pejabat di atasnya.

Penelitian yang dilakukan oleh kalyANamandira maupun oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) sama-sama menunjukkan adanya indikasi praktik korupsi di sekolah yang antara lain disebabkan tidak adanya partisipasi dan kontrol dalam penyusunan maupun pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS).

APBS merupakan patokan sekolah untuk menentukan sumber pendapatan dan pembelanjaan. Secara umum sumber pendapatan sekolah berasal dari subsidi pemerintah dan sumbangan masyarakat. Logikanya, sumbangan masyarakat baru diminta jika subsidi pemerintah tidak mencukupi.

Untuk itu seharusnya penyusunan APBS melibatkan pihak masyarakat dan komite sekolah. Secara terbuka semua mengetahui jumlah subsidi dan kekurangan yang harus ditutupi oleh sumbangan masyarakat. Tapi sekolah tidak pernah terbuka menyampaikan berapa subsidi yang diterima dari pemerintah dan pengalokasiannya. Orang tua hanya disodori rancangan biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat. Sulit rasanya untuk mengetahui apakah benar sekolah tersebut kekurangan dana atau sebaliknya.

Dalam ketertutupan ini, maka peluang korupsi sekolah dapat terjadi. Beberapa modus korupsi dengan mempermainkan APBS antara lain sekolah memungut biaya dari orang tua siswa untuk kegiatan yang sebenarnya sudah didanai oleh pemerintah. Sumbangan masyarakat juga digunakan untuk hal-hal yang tidak terkait dengan PBM, seperti koordinasi tanpa pernah dijelaskan pelaksanaan dan hasil dari koordinasi tersebut. Belum lagi kegiatan maupun pengadaan barang yang tidak sesuai dengan kenyataannya.

Di luar APBS, korupsi di sekolah tidak kalah maraknya. Berbagai sumber dana, baik dari pemerintah maupun masyarakat yang diindikasikan bocor adalah dana subsidi BBM, sumbangan dari alumni atau perusahaan, maupun mutasi siswa yang masuk di tengah tahun ajaran.

Lemahnya pertanggungjawaban sekolah menjadi lengkap dengan mandulnya komite sekolah. Komite sekolah yang seharusnya menjadi saluran aspirasi masyarakat terhadap penyelenggaraan sekolah, akhirnya disulap menjadi kepanjangan kepentingan sekolah. Secara serampangan, komite sekolah hanya mengubah nama BP3 yang pengangkatannya dilakukan oleh kepala sekolah. Akhirnya mereka cenderung hanya menjadi stempel dan legitimasi keputusan sekolah untuk menarik dana dari masyarakat.

Akhirnya MBS yang memberikan otonomi pengelolaan sekolah dalam sistem yang korup ini akhirnya memberikan peluang lebih banyak untuk menarik uang sebanyak-banyaknya dari masyarakat dan melakukan korupsi.

Meskipun orang awam begitu mudah mengendus kebusukan ini, sayangnya pemerintah sendiri justru merasa kesulitan untuk membuktikan dan menindaklanjutinya. Mereka selalu berlindung di balik lemahnya bukti yang disodorkan pelapor. Lagi-lagi itu disebabkan sistem yang menunggu bukti, bukannya secara aktif melakukan investigasi pembuktian terbalik berdasar kejanggalan logika dan akal sehat.

Rasanya kita tidak dapat menunggu ratu adil atau satria piningit datang untuk mengubah semuanya bagi kita. Semuanya itu tidak akan terjadi. Memang ada pejabat, kepala sekolah, serta guru yang merdeka. Mereka menghayati fungsi pendidik dan pelayan masyarakat. Tetapi seperti ikan yang tidak dapat hidup sehat dalam air yang kotor, mereka tidak dapat mengubah tanpa kebersamaan kita semua.

Kita pun tidak dapat lagi percaya oknum sebagai kambing hitam. Ini terjadi dalam sebuah sistem dan kita berperan di dalamnya. Meski MBS dilindungi undang-undang dan keputusan menteri, nyatanya tidak banyak orang tua yang berani mempertanyakan keterlibatan masyarakat dan keterbukaan sekolah dalam penyusunan dan alokasi APBS.

Faktor ini sangat penting dan menjadi pekerjaan rumah kita. Korupsi di sekolah terjadi bebas antara lain karena lemahnya solidaritas orang tua dalam menghadapi ketertutupan sekolah. Sebagian orang tua membiarkan semua itu terjadi karena mendapatkan keuntungan dari sistem yang korup ini. Mereka justru memanfaatkan sistem ini untuk meloloskan anaknya yang tidak sanggup bersaing secara jujur dan adil. Sebagian orang tua lainnya takut untuk bertanya dan berdebat karena khawatir hal itu akan mempersulit pendidikan anak-anak mereka.

Solidaritas ini kelihatannya sudah luntur dan perlu dibangun lagi. Siapa pun Anda, baik keluarga kaya atau keluarga miskin, tidak dapat mengabaikan tanggung jawab kita sebagai bagian dari kelompok masyarakat. Ketidakadilan yang diterima sekelompok masyarakat lambat laun akan menjadi bumerang dan menimbulkan masalah bagi kita semua.

Orang miskin yang tidak mampu sekolah dihadapkan pada permasalahan yang lebih besar, berupa rendahnya keterampilan dan sempitnya lapangan kerja yang sarat dengan KKN. Janganlah heran jika fenomena ini berpotensi memunculkan masalah sosial.

Ketidakpedulian kita pada akhirnya membangun sebuah tatanan masyarakat yang penuh masalah sosial. Orang kaya maupun orang miskin tidak akan lagi memperoleh rasa aman dan nyaman. Didasarkan rasa cemas, mereka akan menjauhi fasilitas publik atau membeli gembok besar dan teralis untuk menjaga rumah mereka. Ya, kita bersama-sama sedang membangun masyarakat yang tidak sehat.

Jadi jangan pura-pura tidak tahu apalagi ikut-ikutan mendukung sistem pendidikan yang tidak adil ini.(DAN SATRIANA, Ketua Umum Lembaga Advokasi Pendidikan Kota Bandung dan Ketua Badan Pengurus Yayasan KalyANamandira)

Tulisan ini diambil dari Pikiran Rakyat, 21 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan