Orang Kaya di Asia dan Indonesia

Asia masih jadi surga bagi profesional dan pekerja keras untuk bisa menjadi orang kaya raya. Pada 2008 ini, jumlah miliuner dari Asia diperkirakan melonjak lagi, meski angkanya belum pasti. Sosok orang kaya di Indonesia, misalnya, telah diungkap berbagai media seperti Forbes Asia, Swa, Tempo, Globe, dan Warta Ekonomi.

Asia mencatat, jumlah orang kayanya melonjak lebih dari 30 persen pada akhir 2007. Sejumlah taipan dari India dan Tiongkok menempati urutan puncak daftar 1.125 miliuner di seluruh dunia dengan total kekayaan US$ 4,4 triliun. Tahun sebelumnya, Forbes juga mencatat jumlah miliuner baru 946 orang dengan total kekayaan US$ 3,5 triliun.

Tercatat, sedikitnya 211 miliuner berasal dari Asia, meningkat dari 160 orang pada 2007. Sekitar 53 miliuner berasal dari India, meningkat dari 36 orang pada 2007. Sementara itu, miliuner dari Tiongkok melonjak dari 20 orang pada 2007 menjadi 42 orang pada 2008.

Miliuner asal Hongkong bertambah 5 orang, menjadi 26. Jika digabungkan dengan Beijing, jumlah miliuner asal Tiongkok menjadi yang terbanyak.

Jepang, yang pernah berada di puncak selama 20 tahun, mencatatkan hasil yang kontras dengan hanya menempatkan 24 taipan dalam daftar. Tidak berubah dibanding 2007 atau turun dari 27 orang pada 2006.

Kami melihat tren yang menunjukkan bahwa Tiongkok mungkin beberapa tahun di belakang Amerika Serikat (AS), kata Editor Senior Forbes Luisa Kroll.

India menempati urutan ketiga dalam jumlah miliuner, setelah AS yang memimpin dengan 469 miliuner, meningkat dari 415 miliuner pada 2007. Sementara itu, Rusia mencatat 87 miliuner.

Empat miliuner India yang berada pada 10 besar, antara lain, raksasa industri baja Lakshmi Mittal di posisi keempat dengan kekayaan US$ 45 miliar.

Diikuti taipan petro kimia Mukesh Ambani dengan kekayaan US$ 43 miliar serta saudaranya, Anil Ambani, dengan kekayaan US$ 42 miliar. Pemilik properti KP Singh berada di urutan kedelapan dengan kekayaan US$ 30 miliar.

Korea Selatan 12 miliuner dan Malaysia delapan. Taiwan menempatkan tujuh miliuner, Indonesia dan Singapura masing-masing lima miliuner, Thailand tiga orang, dan Filipina dua orang.

Tanggung Jawab Sosial
Keberadaan orang kaya raya di Indonesia yang dibeberkan Forbes Asia dari tahun ke tahun diharapkan memberi multiplier efek sekaligus mesin penggerak perekonomian nasional. Syaratnya, meminjam perspektif Indonesianis dari Australia Prof J.A.C. Mackie, mereka harus serius menjalankan tanggung jawab sosial untuk membangun kesejahteraan sosial dan menumbuhkan wirausaha muda, bukan sebaliknya.

Selama ini, ungkap Mackie, orang kaya di Indonesia terkesan eksklusif. Hanya mereka yang berada di lingkaran dalamlah yang bisa ikut tumbuh bersama dalam bisnis gaya konglomerasi itu.

Kini sudah 10 tahun reformasi dan sudah selayaknya kalangan berduit itu ikut mendorong tumbuhnya pengusaha baru untuk berperan dalam kancah bisnisnya.

Bila Anthony Salim, Syamsul Nursalim, Prajogo Pangestu, Ciputra, Sudhamek, Aburizal Bakrie, Chaerul Tanjung, Arifin Panigoro, dan lain-lain mampu menumbuhkan wirausaha muda dan memberdayakan masyarakat yang lemah, tentu nama mereka akan sangat terpatri dan berwibawa di mata masyarakat.

Artinya, mereka tetap berkomitmen pada urusan keadilan sosial dan kepentingan bangsa. Semestinya tanggung jawab sosial dan moral itu dioptimalkan mereka.

Para analis dan inteligensia sering menuding orang kaya era Orde Baru cenderung rent seeking dan tidak kreatif. Indonesianis dari Jepang Kunio Yoshihara (Toward A Prosperous Asia, 2000) menyatakan, kaum kaya (konglomerat) Indonesia itu telah membebani rakyat dengan skandal BLBI Rp 650 triliun, suatu kejahatan finansial terbesar di Dunia Ketiga dalam sejarah dunia modern pasca Perang Dunia II, yang tak ada bandingannya.

Orang-orang kaya tersebut bukan pebisnis yang merangkak dari bawah. Mereka dianggap cuma jago kandang dan punya hubungan baik dengan penyandang dana di luar negeri, tapi tak punya fondasi industri yang kukuh.

Kita ingin, pada tahun tikus ini, kebangkitan orang-orang kaya di Indonesia akan membawa berkah -bukan kutuk- bagi kehidupan kaum bawah agar bisa mendaki ke tingkat yang lebih baik.

Investasi kaum kaya itu seharusnya diperkuat untuk menciptakan lapangan kerja. Orang kaya harus bermakna bagi kaum papa. Sebab, tanah air ini milik semua warga dan tanggung jawab sosial orang kaya tentu lebih berat karenanya.

Pertanyaannya, kata Richard Robison, apakah golongan kaya yang merupakan bablasan oligarki Orde Baru itu masih memiliki hati nurani, moralitas, dan komitmen sosial? Sejarah kadang berbicara lain dan acap kita merasa ngilu dan nyeri jika merindukan hal-hal baik semacam itu, apalagi modal kapitalis memiliki logikanya sendiri. Cenderung kian jauh dari hati nurani dan komitmen sosial. Itulah masalah dan tantangan bagi orang-orang kaya di Indonesia, yang mayoritas rakyat masih memelihara ilusi atas kepedulian mereka.

Rendy Ahluwalia, peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina di Jakarta

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 11 Maret 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan