Operasi Caesar Penegakan Hukum

Korps hakim kita terserang paranoid solidarity. Kalau ada hakim yang diributkan terlibat penyuapan atau mafia peradilan, maka para hakim yang lain ramai-ramai melakukan pembelaan dengan mengatasnamakan independensi lembaga peradilan.

Itulah yang saya kemukakan kepada Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) ketika pimpinan organisasi profesi itu berkunjung ke Komisi III DPR pada tanggal 22 November 2005. Mereka berkunjung ke sana ketika sedang terjadi pro dan kontra tentang penggeledahan dan penyitaan adviesblaad kasus Probosutedjo di kantor ketua Mahkamah Agung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Normatifnya mereka mendukung pemberantasan KKN dan pembersihan dunia peradilan dari berbagai kolusi, tapi mereka menyesalkan tindakan KPK yang dianggapnya tak menghormati sesama lembaga negara, melanggar prosedur, dan mencederai independensi lembaga peradilan. Atas nama kemandirian lembaga peradilan dan keharusan prosedural, secara halus Ikahi memprotes tindakan KPK.

Paranoid penegak hukum
Saya katakan kepada mereka bahwa dalam situasi yang tidak normal bisa saja dilakukan tindakan yang secara prosedural tidak normal pula, asalkan dibuat alasan- alasan yang tepat. Sama halnya dengan orang yang mau melahirkan, jika tak bisa dilakukan secara normal, ya dilakukan bedah atau operasi caesar. Artinya, sang bayi tak harus dikeluarkan dari jalan yang biasa, melainkan dibuatkan lubang lain dengan pembedahan agar bayi dan ibunya sama-sama selamat.

Tampaknya upaya menegakkan hukum di Indonesia ini memang sudah memerlukan operasi caesar alias cara-cara yang tidak konvensional, bahkan untuk tahap tertentu dan dalam waktu yang ’sangat sementara’ mengabaikan prosedur-prosedur formal. Sebab, upaya memerangi mafia peradilan yang sudah sangat kronis selama ini selalu mental karena para pelakunya selalu berlindung di bawah prosedur-prosedur formal. Belantara mafia peradilan di negara kita sudah sangat sulit diperbaiki dengan prosedur-prosedur normal. Salah satu penyebabnya adalah berkembangnya paranoid solidarity atau solidaritas kalap di kalangan aparat penegak hukum.

Di dalam solidaritas paranoid yang seperti itu secara korps mereka selalu berusaha membela habis-habisan jika ada anggota korpsnya yang disorot karena terlibat penyuapan atau mafia peradilan. Mereka berteriak agar independensi lembaga peradilan tidak diintervensi oleh siapa pun. Mereka juga berteriak bahwa tuduhan-tuduhan untuk para hakim itu harus ada buktinya. Atas nama independensi dan pembuktian formal mereka membela anggota korps yang menurut rasa keadilan dan logika umum memang harus ditindak.

Kebebasan jadi kenekatan
Atas nama jargon-jargon itu pula mereka menghukum seseorang yang melaporkan adanya hakim agung yang menerima suap darinya. Dia dihukum dengan alasan tak punya bukti dan karenanya dikenakan pasal pencemaran nama baik. Sementara hakim-hakim yang dilaporkan dibebaskan tanpa pernah dikonfrontasi di suatu forum dengan si pelapor yang kemudian dihukum itu.

Mereka melakukan mafia dan mengumbar paranoid dengan berlindung di bawah jargon independensi dan pembuktian prosedural. Padahal, sebenarnya mereka ingin melindungi diri juga dari efek domino jika teman sejawatnya diadili karena kolusi. Dan kita tahu bahwa sekarang ini independensi yang sering diartikan sebagai kebebasan hakim untuk mengadili telah banyak dibelokkan menjadi kenekatan untuk berkolusi dan memperjualbelikan perkara.

Begitu pun soal bukti dan saksi. Mana ada hakim yang begitu bodoh memberi tanda terima (kuitansi misalnya) atau mau disaksikan orang ketika menerima suap? Yang banyak justru serah terima uang suap tersebut dilakukan melalui seseorang yang sangat dipercaya oleh hakim, tetapi jika transaksi itu bocor si hakim sendiri menyatakan tak tahu-menahu dan menyatakan tidak ada hubungan dengannya. Makanya, akan sangat sulit membuktikan secara formal-prosedural tentang penyuapan dan berbagai kolusi itu.

Keadaan ini membawa perkembangan sangat buruk pada dunia peradilan kita. Sekarang ini jika orang berperkara di pengadilan yang dicari bukan hanya dalil-dalil hukum untuk bisa mengungkap kebenaran, melainkan mencari uang untuk membayar hakim agar menang. Banyak juga pengacara yang dalam menangani perkara bukan hanya mengandalkan kepiawaian mengonstruksi argumen hukum, melainkan juga menyiapkan langkah lobi dan minta uang kepada kliennya untuk menyuap aparat penegak hukum. Situasi ini sungguh mengerikan.

Caesar untuk normalkan
Karena upaya menegakkan hukum yang terkait dengan kebejatan para penegaknya sangat sulit dilakukan melalui prosedur normal, maka tindakan caesar bisa dimaklumi. Yakni tindakan yang secara prosedural tidak normal tetapi terpaksa dilakukan karena jalan yang normal tak bisa digunakan untuk memperbaiki.

Tindakan caesar dalam dunia hukum bukanlah ahistorik. Dalam banyak babak perubahan ketatanegaraan dan kepemimpinan nasional kita pun banyak melakukannya melalui operasi caesar. Bahkan, pembentukan KPK dan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor) dilatarbelakangi oleh tak bisa bekerjanya dengan baik prosedur dan lembaga-lembaga reguler yang normal seperti kejaksaan dan kepolisian.

Meski begitu, langkah-langkah caesar harus dilakukan dalam keadaan yang sangat luar biasa dan dalam waktu yang sangat sementara. Sebab, tindakan caesar hanya dipakai untuk menormalkan keadaan. Banyak yang melihat bahwa kebobrokan dunia peradilan di Indonesia sekarang ini sudah sangat luar biasa sehingga diperlukan langkah-langkah caesar untuk mengatasinya.

Moh Mahfud MD Anggota Komisi III DPR dan Pengajar Ilmu Politik Hukum di Beberapa Universitas

tulisan ini disalin dari Kompas, 30 Desember 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan