Opera Sabun Kasus BNI

Seperti opera sabun. Demikianlah kesan yang muncul jika mencermati perkembangan kasus pembobolan Bank BNI Cabang Kebayoran Baru senilai Rp 1,2 triliun oleh perusahaan Grup Gramarindo pada tahun 2002-2003.

Setelah sekitar tiga tahun pembobolan bank itu terjadi, perkara tersebut sudah menyebabkan setidaknya 13 orang dijatuhi hukuman penjara. Ada terpidana dengan hukuman maksimal, seperti mantan konsultan investasi perusahaan Grup Gramarindo Adrian H Waworuntu dan mantan Kepala Bidang Pelayanan Nasabah Luar Negeri Bank BNI Cabang Kebayoran Baru Edy Santosa yang divonis seumur hidup.

Namun, ada juga yang dihukum delapan tahun penjara, seperti Jane Iriani Lumowa. Jane merupakan adik kandung Direktur Kelompok Usaha Gramarindo Maria Pauliene Lumowa, yang sekarang masih buron.

Layaknya opera sabun yang salah satu cirinya melibatkan banyak tokoh, 13 terpidana agaknya masih kurang dalam kasus yang terjadi di saat sejumlah orang di negeri ini sibuk mempersiapkan mengikuti Pemilu 2004 itu. Buktinya, masih ada calon terpidana lain, seperti Direktur Utama (Dirut) PT Brocolin International Dicky Iskandardinata dan Komisaris Besar Irman Santosa. Keduanya sekarang masih diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Calon terdakwa perkara ini kemungkinan besar juga masih akan bertambah karena ada beberapa tersangka yang belum diadili. Mereka antara lain mantan Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komisaris Jenderal Suyitno Landung dan mantan Direktur Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Samuel Ismoko.

Seperti sebuah opera sabun yang di dalamnya terdiri dari banyak cerita, ada sejumlah sebab mengapa para terpidana, terdakwa, atau tersangka kasus ini menjalani proses hukum. Jika Adrian dan teman-temannya dari Grup Gramarindo didakwa dalam proses pencucian uang atau pembobolan bank, maka Irman Santosa dan dua orang atasannya karena menerima suap saat menangani kasus itu.

Apa yang dialami Irman, Ismoko, dan Suyitno Landung dalam kasus ini telah mengagetkan banyak pihak. Sebab, mungkin baru kali ini dalam sejarah kepolisian Indonesia seorang jenderal bintang tiga yang masih aktif diproses hukum karena melakukan kesalahan saat menangani suatu perkara.

Namun, apa yang dialami Suyitno sepertinya hanya sebuah klimaks kecil dari sejumlah klimaks lain yang telah dan akan muncul dalam opera sabun ini.

Masih ada klimaks-klimaks lain yang mungkin muncul. Dugaan ini terjadi antara lain saat mendengar kesaksian Siti Kumalasari, penyidik di Bareskrim Polri pada persidangan dengan terdakwa Irman Santosa 13 April 2006. Saat itu Kumalasari menyebut pernah melihat dua kuitansi senilai Rp 7 miliar untuk operasional di Bareskrim dan Rp 8,5 miliar untuk Trunojoyo I saat diperiksa di Bareskrim untuk tersangka Irman.

Sebelumnya, pada sidang 6 April 2006 Irman juga sudah mengemukakan soal kedua kuitansi ini dalam bentuk pertanyaan kepada saksi sekretaris PT Brocolin International, Anti Soenaryo. Hanya saja, pertanyaannya itu dijawab tidak tahu oleh Anti.

Kesaksian Kumalasari itu seperti entakan keras yang membangunkan sejumlah penonton opera sabun yang mulai jenuh. Mereka bertanya-tanya, apa arti Trunojoyo I itu. Secara harfiah, Markas Besar (Mabes) Polri berada di Jalan Trunojoyo. Namun, Jalan Trunojoyo nomor satu adalah alamat Sekretariat ASEAN. Dengan demikian, kurang masuk akal jika yang dimaksud dalam kuitansi itu adalah kantor Sekretariat ASEAN.

Namun lalu muncul dugaan jika Trunojoyo I merujuk pada Kepala Polri. Karena selain Mabes Polri ada di Jalan Trunojoyo, penguasa tertinggi di markas itu biasanya disebut dengan sebutan satu. Sebuah logika sederhana yang mengagetkan.

Saking mengagetkannya, Wakil Kepala Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Anton Bachrul Alam, yang selama ini dikenal murah senyum dan sangat sabar menghadapi wartawan, dibuat gusar dengan istilah Trunojoyo I dan logika sederhana yang dibangun.

Saking paniknya, Anton beranggapan istilah Trunojoyo I tersebut muncul di kalangan wartawan, bukan fakta di persidangan. Dia juga hendak menghadirkan Dirut PT Brocolin International Dicky Iskandardinata dalam jumpa pers rutin setiap hari Jumat di Mabes Polri untuk memberikan klarifikasi. Tunggu saja, nanti biar Pak Dicky yang menjelaskan. Tidak betul ada yang bilang soal itu (soal kuitansi), sergah Anton ketika itu.

Niat menghadirkan Dicky akhirnya memang batal karena tidak diizinkan kejaksaan. Namun seperti cerita dalam opera sabun, yakni siapa yang bermasalah dan siapa yang diselesaikan sering tidak nyambung, demikian juga dalam kasus ide Anton menghadirkan Dicky di atas. Jelas yang berbicara tentang Trunojoyo I adalah Irman dan Kumalasari, mengapa yang diminta klarifikasi adalah Dicky?

Meminta klarifikasi dari Kumalasari juga jauh lebih sederhana. Sebab, dia bukan tersangka, terdakwa, atau terpidana. Dia juga masih aktif di Bareskrim Polri.

Mantan Kepala Polri Jenderal (Pol) Da

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan