Opentender, Peluang Menekan Korupsi Pengadaan Pemerintah

Opentender.net adalah website yang ICW kembangkan untuk membantu masyarakat sipil mengecek dan mengawasi pengadaan barang dan jasa di daerah masing-masing, terutama proyek-proyek dengan resiko penyimpangan tinggi, termasuk korupsi. Dengan mengawasi jalannya proses pengadan lewat opentender.net, masyarakat memotong kompas untuk kembali ke salah satu akar permasalahan, yaitu celah terjadinya korupsi.

“Ada dua kemungkinan korupsi pengadaan barang dan jasa, yaitu untuk modal kampanye Pemilu 2014 dan individu-individu yang memang rakus,” tutur Tama S. Langkun, peneliti ICW bidang investigasi saat ditemui dalam konferensi pers di Cikini, Selasa (7/1).

“Banyak perkara-perkara korupsi pengadaan barang dan jasa terjadi di level pemerintah daerah,” ujar Tama. Kabar baiknya, menurut Tama, kepolisian dan kejaksaan makin lincah bekerja mengusut kasus-kasus ini.

Catatan ICW semester 2 tahun 2013 menunjukkan bahwa dari 267 kasus korupsi, 42,70% adalah kasus korupsi pengadaan barang dan jasa. Pada 2013, lalu, KPK pernah menyatakan bahwa 77% korupsi yang mereka tangani terkait pengadaan. Menurut Tama, di negara-negara berkembang, korupsinya memang soal mafia hukum dan pengadaan.

Total nilai kontrak pengadaan pemerintah seluruh Indonesia selama Januari hingga November 2013 berjumlah Rp 132 triliun dengan total paket 80.000 pekerjaan. Nilai besar ini turut mewajibkan adanya pengawasan ketat dalam proses pengadaan.

Sepanjang 2013, pejabat pemerintah daerah adalah aktor-aktor utama korupsi pengadaan. Sejumlah 39,03% adalah Pejabat Pembuat komitmen (PPK) dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK). Peringkat tertinggi kedua ditempati mereka dengan jabatan direktur, komisaris, konsultan, dan pegawai swasta.

“Angka orang yang jadi tersangka karena korupsi pengadaan barang dan jasa  itu tinggi sekali,” aku Tama.

Menurut Wakil Koordinator ICW Agus Sunaryanto, tren sekarang menunjukkan banyak birokrat tidak mau jadi panitia pengadaan. “Pada takut kena kasus,” ungkap Agus.

Peluang penyimpangan e-procurement

Berpindah dari model pengadaan tradisional ke pengadaan elektronik memang tidak serta merta menjamin pengadaan bebas penyimpangan. Peneliti ICW Lais Abid mengakui ada pergeseran potensi penyimpangan. Dalam pengadaan tradisional, peserta tender memberi penawaran dan bertemu dengan panitia pengadaan. Di sini, menurut Abid, rawan terjadi transaksi haram.

“Berkaca pada kenyataan itu, dibikinlah e-procurement. Ini diharapkan mengurang intensitas pertemuan peserta tender dengan panitia pengadaan,” kata Abid.

Namun, para pelaku kejahatan tetap berusaha mencari celah keuntungan ilegal. Misalnya, saat tenggat waktu pengumpulan dokumen penawaran, server* untuk dimatikan, atau bandwith dikecilkan sehingga para peminat proyek tidak dapat ikut memasukkan penawaram. 

Abid tidak menutup kemungkinan intervensi kepala daerah atau Unit Layanan Pengadaan. “Sekarang memain-mainkan proses tender ini di teknisnya,” kata Abid.

Inilah temuan ICW saat membimbing pemakaian opentender.net di beberapa daerah. Di Kota Blitar, panitia mengecilkan bandwith untuk menghalangi masuknya dokumen para bidder* saat tenggat mendekat. Setelah kantor Lembaga Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Blitar diduduki para aktivis yang marah, LPSE bersedia memberikan data yang dituntut para aktivis.

Dalam proyek pengadaan fasilitas komputer sekolah di Kota Banda Aceh, Panitia pengadaan dari Pemerintah Kota mematok Harga Perkiraan Sendiri (HPS) terlalu tinggi. Untungnya, para bidder membuat penawaran rendah, sehingga potensi kerugian negara berhasil diperkecil. Menurut Abid, penggelembungan harga oleh panitia masih menjadi salah satu modus populer penyimpangan dalam pengadaan.

Melatih masyarakat menggunakan opentender.net

Sejak dua tahun lalu, ICW telah melatih jaringan masyarakat sipil untuk  menguasai cara penggunaan opentender.net, yaitu: Makassar, Mataram, Kabupaten Kebumen, Kota dan Kabupaten Kebumen, Kota dan Kabupaten Madiun, Kota Tangerang Selatan, DKI Jakarta, Kota Banda Aceh, Kota Denpasar, dan Kabupaten Blitar. ICW juga menawarkan berbagai inspektorat di daerah untuk memanfaatkan opentender.net.

Setelah masyarakat mengerti cara operasi opentender.net, ICW melatih keterampilan investigasi kasus korupsi. Menurut Abid, pendidikan ini beguna agar masyarakat mampu menerjemahkan data hasil pemantauan.

“Apakah terjadi tindak pidana korupsi, misalnya apa ada mark-up atau penggelapan. Ini tergantung proses investigasinya,” jelas Abid.

Namun, opentender.net tidak dirancang untuk memastikan terjadinya korupsi. “Alat ini hanya berfungsi untuk memperkirakan kemungkinan penyimpangan, dan dalam hal ini, korupsi,” kata Abid.

Menggunakan opentender.net

“Pada prinsipnya, data dalam opentender.net adalah data pengadaan seluruh Indonesia. Perbedaannya dengan data dari LKPP adalah ICW menyiapkan instrumen pengawasannya, yaitu opentender.net.” Agus menjelaskan.

“Instrumen ini bukan untuk menunjukkan ada korupsinya, tapi mana pengadaan barang dan jasa di kabupaten kota yang paling bermasalah,” tutur Agus.

Di opentender.net, misalnya, publik dapat melihat sepuluh besar (top ten) proyek-proyek pengadaan di sebuah provinsi, kabupaten, dan kota,

hingga proyek-proyek mana yang paling beresiko menyimpang.

Desainer opentender.net Kes Tuturoong, menjelaskan lebih lanjut soal cara penggunaan opentender.net. “Dengan tabel top ten, masyarakat dapat melihat sepuluh proyek paling beresiko, serta mengetahui tingkat resiko suatu proyek lewat skala yang tertera di sebelah informasi proyek. Skala 1 menunjukkan paling tidak beresiko, skala 20 menunjukkan resiko terbesar,” jelas Kes.

Di sinilah, kata Agus, para aktivis LSM, masyarakat, dan wartawan dapat membantu mengawasi jalannya proses pengadaan, terutama yang beresiko. “Kalau kita mau memantau proyek pengadaan barang dan jasa di Indonesia, di DKI Jakarta saja ada 6.000-an paket. Kalau kita investigasi ‘kan banyak sekali, sementara sumber daya terbatas. Kita kasih menunya, mana yang paling beresiko,” tambah Agus.

Selain itu, publik juga bisa menyimpulkan ada tidaknya tindak pidana korupsi dari beberapa kriteria yang telah ICW susun, yaitu:

nilai kontrak relatif besar, umlah peserta sedikit dalam suatu tender, ada peserta yang menang berulang-ulang, kontrak proyek konstruksi yang dilakukan di kuartal ke 4 dalam suatu tahun, dan saving kecil padahal HPS atau nilai kontrak mendekati Rp 100 miliar.

“Kriteria ini kami masukan dalam sistem dan menjadi kriteria di opentender,” tambah Kes.

Unduh laporan ICW tentang Darurat Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

*Server adalah sistem komputer yang menyediakan layanan akses kepada pengguna melalui protokol komunikasi HTTP atau HTTPS

*Bidder adalah penawar (misalnya dalam proses lelang)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan