Obral Tanah ala Perumnas
ICW mengadukan direksi Perumnas atas dugaan korupsi sekitar Rp 338 miliar. Baru karyawan Perumnas yang diperiksa. Direksinya menyusul.
Sudah tak mampu memenuhi target pembangunan sejuta rumah untuk rakyat, juragan rumah pelat merah alias Perum Perumnas malah mengobral aset tanahnya. Hal itu terungkap dari laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), yang disampaikan pada Juli lalu kepada Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) Kejaksaan Agung. Akibat mengobral aset tanah di Cengkareng, Jakarta Barat, negara dirugikan Rp 338 miliar.
Adalah Serikat Karyawan Perumnas yang mengungkap praktik haram itu. Mereka melihat kejanggalan dalam sistem kerja sama pembangunan dan pemasaran (KSPP) yang dikembangkan Perumnas. Berdasarkan laporan itulah ICW kemudian menelusuri kasus tersebut. Hasilnya, sistem KSPP itu hanyalah bungkus dari upaya Perumnas mengobral aset tanah yang dimilikinya, kata Adnan Topan Husodo, Kepala Divisi Informasi dan Publikasi ICW.
Praktik KSPP tersebut muncul pada tahun 2002 ketika Direktur Utama Perum Perumnas, Latief Malangyudo, mengikat perjanjian KSPP dengan PT Bangun Cipta. KSPP itu menyangkut kaveling tanah matang di kawasan milik Perumnas di Bumi Cengkareng Indah, Jakarta Barat. Menurut Adnan, perjanjian kerja sama itu merupakan penegasan sekaligus revisi atas perjanjian kerja sama sebelumnya yang dibuat oleh Dirut Perumnas lama, Soeroto Martomidjojo.
Dalam kerja sama tersebut, masingmasing pihak menyertakan equity. Pihak Perumnas menyertakan lahan seluas 375.051 m2 sekitar Rp 97,5 miliar (70,2%). Sesuai dokumen rekapitulasi, kerja sama itu ditandatangani oleh Latief Malangyudo, Harry Jasa Slawat (Direktur Operasional II Perumnas), Asdin Siahaan (Direktur Keuangan Perumnas), dan Charles Onggowarsito (Direktur PT Bangun Cipta). Sementara, PT Bangun Cipta sendiri dalam kerja sama itu menyertakan modal sekitar Rp 43,2 miliar (29,7%) untuk membangun i 1.817 unit rumah.
Dari sebanyak 1.817 unit rumah tadi, harga total penjualannya diperhitungkan mencapai sekitar Rp 228 miliar. Dari hasil penjualan tersebut, berdasarkan masing masing penyertaan modal, Perumnas mendapat bagian sekitar Rp 160,2 miliar sedangkan PT Bangun Cipta memperoleh sekitar Rp 67,7 miliar.
Selain kerja sama itu, pada masa Dirut Perum Perumnas dijabat Harry Jasa Slawat (November 2003), pihak Perum Perumnas kembali melakukan KSPP dengan PT Karya Megah Permai. Dalam perjanjian itu, Perumnas menyertakan tanah di Bumi Cengkareng Indah seluas 274.682 m2 dengan nilai Rp 109,5 miliar (74,9%). Sedangkan PT Karya Megah menyertakan modal sekitar Rp 36,7 miliar (25,09%). Dari KSPP tersebut, Perumnas akan mendapat bagian keuntungan sekitar Rp 151 miliar, dan PT Karya Megah akan memperoleh laba sekitar Rp 47,9 miliar. Secara keseluruhan, nilai penyertaan Perumnas dalam dua KSPP tersebut mencapai Rp 311,3 miliar dengan total luas tanah yang dilepas sekitar 649.733 m2.
Mengingat equity yang diserahkan oleh pihak Perumnas kepada PT Bangun Cipta dan PT Karya Megah adalah tanah, Adnan mensinyalir bahwa praktik tersebut tidak lebih sebagai kegiatan penjualan tanah semata. Hal lain, dalam kontrak kerja sama itu disebutkan bahwa hak Perumnas berupa penerimaan dari kerja sama tersebut akan dibayar di muka. Namun, pihak Perumnas tidak berhak lagi atas suatu apa pun, baik menyangkut tanah, pendapatan dari pengelolaan perumahan, dan sebagainya. Itu kan sama artinya dengan menjual tanah saja, bukan mengelola bisnis perumahan, tutur Adnan.
Dalam usahanya menjual tanah itu pun, Perumnas sebenarnya merugi. Menurut Adnan, harga yang dihitung dalam penyertaan tanah tersebut berdasarkan patokan harga tanah pembelian tahun 1976. Kalau Perumnas menganggap tanah dalam KSPP itu dinilai dengan harga rata-rata sekitar Rp 450 ribu per meter persegi, jelas untung karena harga pembelian tanah pada tahun 1976 itu hanya sekitar Rp 100 ribu. Tapi kalau dihitung dengan patokan sekarang yang per meternya di Cengkareng mencapai Rp 900 ribu, nilai harga KSPP itu jelas merugikan, tutur Adnan.
Rendahnya harga yang dipatok Perumnas, tak lain karena permintaan Perumnas sendiri kepada Kantor Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Jakarta Barat untuk menurunkan nilai jual obyek tanah (NJOP) dari Rp 614 ribu per m2 menjadi Rp 335 ribu per m2. Permintaan itu berlangsung pada tahun 2000. Biaya untuk permintaan penurunan NJOP tersebut sebesar Rp 60 juta. Ketika dilakukan KSPP dengan PT Karya Megah (tahun 2003), nilainya dipatok Rp 394 ribu per m2. Padahal, NJOP di wilayah Bumi Cengkareng Indah saat itu mencapai Rp 916 ribu per m2. Sedangkan harga pasarnya saat itu mencapai Rp 3 juta per m2.
Jadi, berdasarkan patokan harga tahun 2000, dengan total penyertaan tanah seluas 649.733 m2 dan berdasarkan NJOP tahun 2000, nilai tanah Perumnas seharusnya Rp 398,9 miliar. Tapi karena disertakan dengan nilai di banah NJOP, maka kerugian negara mencapai Rp 87,5 miliar. Padahal, berdasarkan harga pasar saat itu, nilai yang seharusnya diterima Perumnas mencapai sekitar Rp 649,7 miliar. Itu berarti negara dirugikan sebesar Rp 338,3 miliar.
BOLEH KOK, PERUMNAS JUAL TANAH
Namun, semua tudingan ICW tadi dibantah oleh Harry Jasa Slawat. Menurut Harry-yang dihubungi TRUST melalui ponselnya ketika berada di Medan untuk mengikuti rapat kerja Menpera-masalah itu merupakan peninggalan direksi terdahulu. Dan ketika perjanjian itu dibuat, dirinya belum menjabat sebagai direktur. Saya menjabat sebagai direktur utama itu kan pada Februari 2004 yang lalu. Jadi, masalah itu adalah cerita lama, katanya.
Soal Perumnas tak boleh menjual tanah juga dibantah Harry. Alasannya, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No. 15 Tahun 2004 tentang Perum Perumnas, bisnis Perumnas sebagai badan usaha milik negara justru seputar rumah dan tanah. Menurutnya, yang namanya aset Perumnas itu adalah kantor Perumnas. Tapi kalau tanah itu dagangan kami, yang bilang enggak boleh menjual tanah itu siapa? katanya.
Begitu juga dengan KSPP-KSPP yang dilakukan Perumnas. Menurut Harry, KSPP itu sudah sesuai dengan PP No. 15 Tahun 2004 dan aturan mainnya sudah jelas. Dan kalau dibilang rugi, itu tidak benar, karena setiap tahun basil audit Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan untung terus, tuturnya. Harry secara tidak langsung mengaku belum pernah diperiksa Timtas Tipikor Kejaksaan Agung atas kasus tersebut. Lagi pula, apa yang ditudingkan ICW itu kan bukan kepada pribadi, melainkan institusi, tambah Harry.
Sementara itu, Ketua Timtas Tipikor Kejaksaan Agung yang merangkap sebagai Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Hendarman Supandji, mengatakan bahwa pihaknya sudah melakukan penelitian dan penyelidikan terhadap kasus dugaan korupsi di Perumnas itu. Namun, ia mengakui, pihaknya belum memanggil direksi untuk diperiksa. Sampai saat ini baru karyawannya saja. Selanjutnya, para direksi terkait pasti akan diperiksa, ujarnya. (Riza Sofyat, Budi Supriyantoro, dan Pringgo Sanyoto)
Majalah TRUST, No. 49 TAHUN III, 5-11 SEPTEMBER 2005
-------------
Perkiraan Kerugian Perum Perumnas
----------------
Harga Sesuai NJOP Harga Sesuai Pasar
Tahun 2000 Tahun 2000
Rp 614.000/m2 Rp 1.000.000/m2
398.936.062.000,00 649.733.000.000,00
87.576.886.885,00 338.373.824.885,00
Ketarangan: luas tanah yang dijual 649.773m2
-----------
position paper terkait:
Tanah Untuk Rakyat atau Tanah bagi Konglomerat? Dugaan Korupsi di Perum Perumnas Cengkareng