Obral SP3 untuk Koruptor

Setelah penyidikan sejumlah kasus megakorupsi dihentikan, kali ini Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali menghentikan pengusutan dugaan korupsi penjualan kapal very large crude carrier (VLCC) milik PT Pertamina yang diduga merugikan keuangan negara hingga USD 56 juta.

Akhir-akhir ini, Kejagung memang terkesan mengobral surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Setidaknya, ada tiga SP3 yang telah dikeluarkan pada masa Hendarman Supandji. Yakni, SP3 terhadap Sjamsul Nursalim (BLBI), Tommy Soeharto (BPPC), dan Laksamana Sukardi (VLCC).

Tradisi SP3 itu dipopulerkan jaksa agung pada era pemerintahan Megawati, M.A. Rachman. Pada masa kepemimpinannya, hampir semua penyidikan kasus korupsi besar (17 kasus korupsi) yang melibatkan pejabat tinggi negara dihentikan.

Harus diakui, SP3 selalu didominasi kasus korupsi dengan nilai kerugian besar dan melibatkan pejabat tinggi negara atau elite politik serta bisnis. Walaupun SP3 bukanlah harga mati, pengalaman membuktikan bahwa Kejagung tidak pernah membuka kembali perkara-perkara yang sudah di-SP3.

Dasar Yuridis
Mencermati semakin maraknya penerbitan SP3, perlu kiranya melihat dasar yuridis yang digunakan. Menurut KUHAP, SP3 dapat dikeluarkan berdasar beberapa alasan. Pertama, tidak diperoleh alat bukti yang cukup untuk meneruskan perkara. Kedua, perbuatan yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana. Ketiga, penghentian penyidikan dilakukan demi hukum. Misalnya, alasan seseorang tidak dapat dituntut dua kali atas dasar perbuatan yang sama (nebis in idem), tersangka meninggal dunia, dan kedaluwarsa.

Selama ini, ada dua pertimbangan hukum yang selalu digunakan Kejagung. Yakni, tidak adanya alat bukti yang cukup dan tidak ditemukan kerugian negara.

Alat bukti merupakan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Sebab, SP3 dikeluarkan setelah adanya status ''tersangka'' yang telah melalui proses penyelidikan dan penyidikan. Artinya, menurut pasal 1 ayat (2) dan (5) KUHAP, telah ditemukan alat bukti yang cukup untuk menyatakan suatu peristiwa sebagai tindakan pidana.

Sementara, perihal kerugian negara, pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Korupsi menentukan bahwa ada tiga unsur penting dalam pidana korupsi. Yakni, unsur melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Kata ''dapat'' sebelum frasa ''merugikan keuangan atau perekonomian negara'' menunjukkan bahwa pidana korupsi merupakan delik formal. Yaitu, adanya pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.

Dengan demikian, kata ''dapat merugikan keuangan negara'' diartikan bahwa tindak pidana yang terjadi berpotensi merugikan keuangan atau perekonomian negara walaupun belum tentu ada kerugian negara secara nyata.

Bahkan, dalam standar internasional, kerugian negara secara nyata tidak lagi dijadikan pertimbangan utama. Sebagaimana aturan dalam United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang tidak lagi menggunakan unsur kerugian negara sebagai ukuran mutlak. Sebab, banyak tindak pidana korupsi yang tidak merugikan keuangan negara secara langsung, tapi berakibat secara tidak langsung.

Dengan demikian, alasan kejagung tidak dapat diterima dan dipertanggungjawabkan secara yuridis.

KPK Lalai
Produktivitas Kejagung dalam menerbitkan SP3 menyisakan satu pertanyaan untuk KPK. Apakah KPK tidak menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi terhadap kasus-kasus korupsi yang menyita perhatian publik? Bukankah kedua fungsi tersebut sudah diperintahkan UU KPK?

Pasal 7 UU No 30/2002 tentang KPK mengatur bahwa dalam rangka pelaksanaan fungsi koordinasi, KPK berwenang melakukan koordinasi dan menerapkan sistem pelaporan terhadap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani kepolisian dan kejaksaan.

Bahkan, dalam pasal 8 menegaskan bahwa dalam rangka supervisi, KPK berwenang mengawasi, menelaah, dan mengambil alih sebuah perkara korupsi.

Sebenarnya, kedua fungsi tersebut sudah dijalankan KPK melalui mekanisme surat pemberitahuan dimulainya penyelidikan (SPDP). Mekanisme itu mewajibkan kepolisian dan kejaksaan untuk mengirimkan surat pemberitahuan jika memulai penyelidikan perkara korupsi, sehingga memudahkan KPK dalam mengawasi. Namun, efektivitasnya dipertanyakan manakala keluarnya SP3 tanpa diketahui KPK.

Upaya hukum yang dapat dilakukan KPK adalah menelaah ulang perkara yang sudah di-SP3. Pintu masuknya adalah kewenangan supervisi dan mengambil alih sebuah perkara korupsi. Pasal 9 dan 68 UU KPK membuka pintu intervensi tersebut.

Hal itu dilakukan bukan untuk mengintervensi kejaksaan, tapi mengintervensi penegakan hukum antikorupsi. Sebab, bagaimanapun, selain memiliki tanggung jawab hukum, KPK memiliki tangung jawab moral untuk memberantas korupsi.

Karena itu, jika ada kasus korupsi besar yang menjadi perhatian masyarakat secara tiba-tiba dihentikan, tentunya KPK berhak menyelidiki. KPK patut mempertimbangkan untuk menelaah kembali perkara korupsi yang telah di-SP3 oleh Kejagung dan mengambil alih kasus tersebut.

Oce Madril, sedang menempuh Master Program, Law and Governance Studies di Nagoya University, Jepang (2008-sekarang). Juga peneliti di Pusat Kajian AntiKorupsi, Fakultas Hukum UGM (2007-sekarang).

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 24 Februari 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan