Obat Korupsi Bukan Salep Panu
Penyakit korupsi konon tambah angot sekarang. Bisa jadi betul. Di sepanjang jalan masih ada mobil patroli polisi minta uang rokok. Kasus korupsi-kolusi-nepotisme kerah putih masih bermunculan hari-hari ini. Layanan publik tersandung pungutan liar. Padahal tekad Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengobati korupsi sudah tegas dan bulat. Kasihan melihat keseriusan Jaksa Agung seperti kehilangan target tembaknya.
Kendati peluru sudah di tangan pembidik delik korupsi, hukum dengan penembak jitu pun masih gamang mentarget sasaran. Misalkan seringnya tidak ditemukan bukti kuat. Yang sudah terpojok oleh bukti kuat pun masih punya peluang berkelit, lihat-lihat siapa dulu orangnya, kalau bukan penyidik sendiri yang silau melihat duit sekoper.
Seperti menyembuhkan penyakit, mengobati korupsi pun mesti mencari dulu penyebabnya. Kanker tak sembuh diberi salep panu. Cuma koreng tak perlu obat jantung. Lalu apa kausa orang doyan korupsi?
Semua tahu motivasi korupsi kelas teri tak sama dengan niat koruptor kakap. Apa pun motivasinya, sama-sama hina-dinanya. Jawaban terhadap stereotipik pertanyaan kalau gaji tak cukup kenapa tidak memilih kerja yang halal, lantaran tidak semua orang tergolong pejuang kehidupan. Tidak setiap orang punya superego. Tidak setiap siapa menyimpan polisi batin dalam nuraninya yang menjaga kita tetap hidup lempeng.
Superego bukan dilahirkan, melainkan dibentuk. Untuk itu sejak kecil sekolah iman harus terus naik kelas, dan kursus moral perlu rutin naik tingkat. Tapi apa mau dikata, kendati setiap hari Minggu dan Jumat jalan-jalan tak kurang-kurang macetnya, koruptor tidak berkurang. Tekun beragama belum jaminan orang takut Tuhan kalau iman tak naik kelas. Hukuman instan tembak mati, misalnya, lebih membumi ketika iman lemah dan moral lesu. Hari-hari ini di Cina rata-rata sepuluh koruptor dihukum mati setiap harinya. Dengan cara begitu kasus korupsi susut, dan hati calon koruptor ciut.
Kalau agama tumpul dan moral lumpuh, barangkali hukuman mati yang bisa menumbuhkan efek jera. Percuma memasang tampang koruptor di televisi kalau orangnya sudah jadi buron. Sia-sia gerakan pemberantas korupsi bila hukum buat koruptor masih macan kertas.
Hukum juga harus bikin jera koruptor teri. Kalau koruptor tingkat mencuri waktu, menjual kertas kantor, atau minta komisi proyek kecil-kecilan dipelihara, bukan mustahil kelak bakal menjadi koruptor kakap juga. Dosa mencuri tak mengenal kelas. Mencuri serupiah atau semiliar sama perlu bertobatnya.
Maka, untuk menyiangi aparatur pemerintah dan aparat negara dari candu korupsi, tak cukup bikin jera pelakunya semata. Perlu upaya pula agar tikus-tikus kecil tidak menjadi besar. Deng Xiaoping dulu bilang, Dengan sistem, orang paling jahat pun tak bakal berlaku jahat. Namun, tanpa sistem, orang baik bisa berlaku tidak baik atau malah menjadi jahat.
Di negara kita, sistem belum penuh bekerja, sehingga selalu saja ada celah, ada peluang pegawai negeri bikin serong. Selain itu, upaya kita membangun hukum masih bagai menegakkan benang basah. Karena itu, dari dulu KKN kita sudah mirip kanker, nyaris tak ada obatnya. Pengawasan melekat tak jalan, sebab nyatanya melihat gaji memang benar tak cukup, atasan tutup mata, atau sudah tahu sama tahu saja.
Gagasan Kwik Kian Gie menaikkan gaji pegawai negeri dengan catatan hukum harus punya gigi ada benarnya. Tujuannya agar tak ada celah alasan lagi untuk korup. Sampai sekarang agaknya ini masih satu-satunya obat agar penyakit KKN pelayan publik tidak kambuh.
Membiarkan pegawai negeri hidup tak cukup dari gaji tapi mengganjar hukuman berat bila melakukan KKN bukan obat yang cespleng. Maka sebuah sistem perlu dibangun agar mampu menjadi pil penawar kecanduan hidup mereka yang sudah telanjur keenakan ber-KKN. Sebab, yang terbiasa korup jadi gelisah kalau tidak berbuat serong.
Dari perspektif ekonomi, korupsi dipilih untuk mencari tambahan lantaran hitung-hitungan cost-benefit-nya masih condong lebih banyak untungnya ketimbang ongkosnya. Artinya, kalau ongkos berbuat korup lebih enteng (kecil ganjarannya) dibanding manfaatnya (mendapat duit dan harta berlebih), orang akan tetap memilih korup (Barlev Nicodemus, Brussels).
Selain itu, moralitas manusia berkelas-kelas. Ditilik dari level moralitas, kebanyakan dari kita masih pada level baru mau berbuat baik kalau diawasi. Tetap serong kalau tidak ketahuan. Masih melanggar kalau tak dipelototi polisi atau penegak hukum.
Hukuman mati, hukum denda, dan ganjaran yang lebih membumi lainnya harus dipilih manakala rasa dipermalukan di depan umum sudah tak lagi mempan. Ketika diingatkan masuk neraka masih tak diindahkan. Untuk generasi muda, superego dibangun di awal pendidikan anak. Tugas sekolah membangun pagar moral, rantai etika, serta gembok tata krama dan budi pekerti.
Hukum tangan besi, suka tak suka, cara instan membangun superego pada mereka yang kelas moralnya masih taman kanak-kanak. Dengan cara itu dulu Singapura mendisiplinkan warganya. Memilih memakai mesin hukum yang tak kenal kompromi, masyarakat menjadi terbiasa (terkondisikan) berlaku tertib. Berdisiplin lama-kelamaan menjadi perbuatan yang otomatis, kendati tidak diawasi. Di benak kemanusiaan, cara kaku begini pun belum tentu sepenuhnya terasa sehat. Buat masyarakat kita, manakala disiplin masih kendur, dan rasa takut masih tak punya, ini sebuah alternatif.
Di hadapan sejumlah investor di mana-mana negara, ajakan Presiden SBY untuk lebih berinvestasi di Indonesia dikomplain antara lain karena korupsi masih bikin biaya ekonomi tinggi. Efek domino korupsi semakin bikin rakyat tambah sengsara. Celakanya, itu sudah menjalar sampai tingkat desa. Otonomi daerah membangun raja-raja kecil baru karena memanfaatkan limpahan kekuasaan.
Penyakit korupsi sudah jadi komplikasi. Ada yang sudah kanker, gagal ginjal, atau payah jantung. Ada juga yang baru koreng, keseleo, dan asma. Namun, itu semua menjadi batu sandungan negara kita yang gemah ripah tapi rakyatnya papa ini. Maka semuanya perlu diperiksa, diobati, tidak hanya agar sembuh, tapi juga supaya tak kambuh. Yang pasti, obatnya bukan salep panu. Mungkin sudah saatnya perlu masuk rumah sakit.
Handrawan Nadesul, Dokter, pengasuh rubrik kesehatan, penulis buku, kolom, dan puisi
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 7 November 2006