Nyogok atau Tidak Nyogok?
Nyogok tapi dapat kepastian, tidak nyogok tapi tidak dapat kepastian, pilih mana? Itulah pertanyaan yang saya ajukan kepada banyak pengusaha belakangan ini. Tentu setelah mendengar keluh kesah mengenai lesunya perekonomian sejak dua tahun lalu. Kini banyak pengusaha memang takut nyogok. Ini seiring dengan semakin gencarnya usaha pemberantasan korupsi di kalangan pejabat pemerintah.
Akibatnya, banyak pejabat yang ragu-ragu atau pura-pura ragu-ragu, sehingga segala proses yang mestinya bisa cepat menjadi lebih lambat.
Apa jawaban mereka? Umumnya para pengusaha mengatakan lebih baik nyogok tapi ada kepastian. Bisnis memerlukan kepastian. Mulai perencanaan, penyiapan keuangan sampai ke komitmen kepada pembeli. Baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Katakanlah sekarang tidak perlu nyogok. Tapi, proses keputusan yang diperlukan amat lama. Maka, kalau dihitung, mungkin lebih hemat menyogok. Sebab, dengan tertunda-tundanya investasi, biaya uang menjadi lebih mahal. Baik uang sendiri maupun uang pinjaman. Belum lagi kalau di tengah proses yang panjang itu terjadi gejolak harga-harga. Maka, seluruh perencanaan menjadi berantakan. Perusahaan yang semula direncanakan bisa laba menjadi rugi. Nilai kerugiannya bisa jadi lebih besar daripada nilai seandainya harus menyogok.
Bahkan lebih buruk, masih ada perusahaan yang sudah mengeluarkan uang ekstra, tapi tetap juga tidak ada kepastian. Maka, dia ibarat orang pingsan yang masih dipukuli: matilah!
Kepastian adalah kata kunci bisnis. Soal yang lain-lain menjadi nomor buntutnya. Katakanlah soal upah buruh atau uang-uang sumbangan. Bukanlah yang terpenting. Dalam hal buruh, yang penting ada kepastian apakah kalau upahnya naik mereka bisa lebih produktif. Apakah ada kepastian tidak akan mogok dan demo.
Saya jadi ingat guyonan Pak Basofi Sudirman ketika masih jadi gubernur Jatim. Waktu itu toleransi terhadap uang sampingan masih besar. Tapi, beliau sudah mengatakan, Pejabat itu untuk mendapat uang tambahan bisa dengan dua cara. Pertama, menyenangkan pengusaha dalam pengertian pelayanannya baik, cepat, dan pasti. Lantas pengusahanya secara suka rela akan berterima kasih. Tidak usah diminta pun, tidak ada orang Indonesia yang tidak tahu berterima kasih.
Yang kedua, dengan cara menyulitkan pengusaha. Artinya, bikin saja sulit. Nanti mereka akan datang minta dipermudah. Tentu pakai uang. Nah, mana yang baik? Bagi pengusaha, yang pertamalah yang baik.
Kepastian adalah kelemahan pokok di bidang komitmen pemerintah kepada dunia usaha. Maka, kalau ekonomi seret selama ini, itulah sebabnya. Sebenarnya, sayang sekali. Banyak momentum yang lewat. Sekarang ini misalnya, banyak sekali perubahan sistem di Tiongkok yang bisa dimanfaatkan. Saya yang sekarang masih di Tiongkok, mencatat banyak perubahan kebijaksanaan belakangan ini. Semua perubahan itu mengarah ke semakin ketatnya peraturan, di bidang apa pun. Mulai keuangan sampai ke soal pembuangan sampah. Kemudahan-kemudahan yang dulu jadi keunggulannya mulai pelan-pelan dikurangi.
Termasuk upah buruh. Di Provinsi Guangdong, misalnya, mulai September nanti diberlakukan UMR baru yang sangat tinggi. Naik hampir 17,8 persen. Menjadi sekitar Rp 850 ribu (780 yuan) untuk kota Guangzhou. Kota-kota lain di provinsi itu bervariasi antara 690 yuan (Zhuhai, Foshan, Dongguan) sampai 810 yuan (Shenzhen).
Daerah-daerah lain pun akan menyusul naik. Dan, itu berarti upah buruh yang rendah bukan lagi senjata utama di Tiongkok. Hanya, produktivitas buruhnya memang sangat tinggi, sehingga jatuhnya mungkin masih lebih murah dibanding di Indonesia. Satu pekerjaan, misalnya, bisa diselesaikan seorang buruh saja di Tiongkok. Tapi, kalau pekerjaan yang sama dikerjakan buruh di Indonesia memerlukan dua buruh. Itu perbandingan rata-rata. Tentu ada juga pengecualian di sana-sini. Ada juga buruh di Indonesia yang lebih produktif.
Memang, akhirnya hukum pasar yang menentukan. Seperti Provinsi Guangdong tadi. Kalau tidak menaikkan UMR, provinsi itu akan kekurangan tenaga kerja. Sebab, sektor pertanian, dengan berbagai insentif pemerintah, kini juga cukup menarik pagi orang-orang desa. Padahal, Provinsi Guangdong memerlukan sekitar 23 juta tenaga kerja dari luar provinsi itu. Kalau UMR kurang menarik, mereka bisa tetap berada di desa atau ke provinsi lain yang lebih menarik. Misalnya Jiangshu atau Zhejiang.
Dengan UMR baru, tapi juga dengan kepastian tidak akan adanya pemogokan dan tidak ada penolakan untuk kerja lembur, tetap saja Tiongkok akan lebih menarik untuk investasi.
Jadi, kapan kita tidak nyogok tapi dapat kepastian?
Atau kembali harus nyogok agar dapat kepastian?
Sampai kapan pengusaha harus menunggu?
Oleh: Dahlan Iskan
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 17 Juli 2006