Nurdin Khalid dan Tiga Naga

Rabu, 30 Maret ini, perkara Nurdin Halid mungkin bisa diputuskan, setelah mendengar keterangan saksi ahli. Perkara ini tidak mudah, sebab kejatuhan atau kemenangannya secara tidak langsung terkait dengan kartel minyak yang terdiri dari konglomerat, BUMN (PT Perkebunan Negara) dan Badan Urusan Logostik (Bulog), serta pemerintahan Presiden BJ Habibie yang mencoba memberi peluang kepada usaha kecil menengah (koperasi). Ini bukan semata-mata soal hukum perdata tata niaga biasa, tapi telah memasuki wilayah politik.

Untuk kasus-kasus bisnis cengkeh yang mengaitkannya dengan BPPC, Puskud, KUD, dan petani cengkeh, Nurdin Halid berada dalam posisi lemah sebab dibawah kendalinya harga cengkeh jatuh, sehingga petani rugi. Dalam kasus ekonomi lainnya seperti impor gula dan beras, dia juga lemah, sebab secara teknis agak ilegal. Namun, dalam kasus bisnis minyak goreng ini kedudukannya agak lebih mendingan, sebab ia mampu menjalankan tugas negara untuk menurunkan dan menstabilkan harga minyak goreng, yang ketika dijalankan oleh kartel, alih-alih harga turun, malah naik sampai Rp 9 ribu per kilogram dari harga Rp 5 ribu yang ditetapkan pemerintah.

Ikut licin
Di tahun 1998, Nurdin Halid yang ketua Koperasi Distribusi Indonesia (KDI) itu berani-beraninya memasuki wilayah niaga minyak goreng yang selama ini dikuasai tiga naga: konglomerat, PTPN dan Bulog. Naga pertama, konglomerat pabrik minyak goreng Bimoli dan Filma yang juga menguasai perkebunan-perkebunan kelapa sawit yang sangat luas. Naga kedua adalah PT PN (BUMN) yg selain menguasai perkebunan juga memiliki beberapa pabrik minyak sawit di Pulau Batam. Dan naga ketiga yaitu Bulog sebuah lembaga bisnis seminegara yang menguasai distribusi kebutuhan pokok masyarakat yang difasilitasi Bank Indonesia (Pemerintah).

Dibandingkan tiga naga itu, KDI sebagai badan usaha bahkan kalau ditambah dengan Dekopin sekalipun mungkin sekedar ular sawah saja, yang tak mempunyai bisa sama sekali. Walaupun ular sawah, namun dengan wibawa UUD 45 (yang dahulu) dan campur tangan pemerintah Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri (Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita, Menteri Koperasi dan UKM Adi Sasono, dan Menteri Perindustrian Rahadi Ramelan), KDI bisa juga mencicipi licinnya bisnis minyak goreng. Berkat kelincahannya, Nurdin Halid mampu memperoleh wibawa pemerintah untuk ikut nimbrung santapan tiga naga itu tadi.

Alasannya sangat sederhana karena ketiga naga itu tadi tak mampu menurunkan, apalagi menstabilkan harga seperti yg ditetapkan pemerintah. Ketidakberdayaan pemerintah menjalankan kekuasaanya ini mungkin akibat kekuasaan monopoli para kartel tiga naga yang menguasai perkebunan sawit, pabrik pemrosesannya, dan juga jaringan distribusinya. Dan ketika itulah KDI hanya bermodalkan 'kondo' (kongko doang), atau lobi-lobi Nurdin mendapat kesempatan dari trio pendukung usaha pribumi Ginandjar Cs untuk turut dalam bisnis besar namun licin itu. Memang walaupun KDI tak mempunyai kebun dan pabrik, namun dengan kelincahan dan jaringan distribusi KDI yang tersebar luas diseluruh Indonesia konsumen mempunyai opsi untuk membeli dari kios-kios KDI dengan harga Rp 5 ribu per kilogram.

Memang secara spektakuler anak Bugis ini hanya dalam waktu kurang satu bulan harga dipasar sudah bisa turun sesuai dengan kehendak pemerintah yaitu Rp 5 ribu. Masyarakat diuntungkan sebab dengan penyertaan KDI itu harga bisa turun dan stabil bahkan terus turun sampai di bawah harga yang ditetapkan pemerintah. Secara prinsip dagang, dengan harga yang terus semakin menurun itu kartel belum tentu gembira. Bisnis adalah persaingan dan Bulog yang mendapat penugasan pemerintah setelah berjalan agak lama, tak juga mampu menurunkan harga. Ketika tugas itu diambil- alih Nurdin Halid dengan KDI-nya harga pun turun dan stabil bahkan bisa lebih rendah dari harga ketetapan pemerintah. Ternyata KDI lebih mampu dari Bulog dan organisasi koperasi ini tak kalah dalam persaingan dengan para naga minyak karena konsumen memilih penjual yang harganya lebih murah.

Tidak sederhana
Tapi sayang seribu sayang. Strategic planning-nya KDI kurang matang. Rupanya ia tak taat pada usaha minyak sebagai core bisnisnya. KDI tampaknya mulai melebarkan sayapnya kepelbagai usaha, sehingga uang pinjaman dari Bulog itu nyangkut dipelbagai rupa usaha yang mungkin kurang bagus. Akibat berikutnya sudah jelas mereka tak mampu membayar hutang-hutangnya tepat waktu kepada Bulog. Dengan kesalahan dan kelemahan itu, tidaklah mengherankan bila ular sawah tadi pingsan dan tinggal menunggu waktu saja untuk dikuliti, sebagai ganjaran dan pelajaran kenapa ia berani-beraninya ikut nimbrung dalam bisnis para naga itu.

Dan lagi-lagi berbagai usaha koperasi di negeri ini menunjukkan ketidakmampuannya untuk turut dalam bisnis besar di Indonesia, padahal oleh UUD 45 (sebelum amandemen) ia diidamkan sebagai sokoguru ekonomi Indonesia. Sampai hari ini perkara Nurdin Halid masih belum selesai. Dia bisa dihukum berat, ringan, percobaan atau dibebaskan, tergantung kesimbangan antara tuntutan para jaksa dan rasa keadilan para hakim. Mereka tentu saja akan merujuk kepada rasa keadilan masyarakat. Artinya apakah para jaksa dan para hakim dianggap adil ketika menghukum atau membebaskan Nurdin Halid.

Karena peliknya perkara tuduhan korupsi terhadap Nurdin Halid, persidangan sampai Rabu yang lalu masih belum bisa selesai. Ia akan dilanjutkan sampai Rabu tanggal 30 Meret ini. Jaksa Arnold Angkow yang berfungsi sebagai penuntut, masih memerlukan dua saksi ahli dari universitas di Yogyakarta dan Bandung. Saya tidak tahu apakah dua saksi ini akan memberatkan atau meringankan KDI dan Nurdin Halid sebagai pelaksananya.

Perkara ini tidaklah sederhana karena melibatkan Pemerintah Habibie yang melalui the gang of three itu tadi yang memberi penugasan kepada KDI untuk terjun dalam bisnis distribusi minyak akibat ketidakmampuan Bulog untuk menstabilkan harga. Dan kedua adanya upaya pemerintah untuk mengurangi kekuasaan kartel minyak, yang sedikit banyak KDI mampu melawan sehingga harga turun terus bahkan melampaui batas bawah yg ditentukan pemerintah, suatu hal yang tak mampu dilakukan Bulog. Ketiga masuknya usaha koperasi dalam bisnis raksasa kebutuhan pokok, sedikit banyak mencerminkan kehendak founding fathers seperti tertuang dalam UUD 45 (sebelum diubah). Dan last but not least lemahnya sikap penegak hukum (jaksa, hakim, dan polisi) terhadap para pencoleng ratusan triliun uang negara yang dahulu maupun yang mutakhir oleh para konglomerat hitam yang melibatkan skandal pengelolaan dana BLBI dan BPPN.

Walaupun market-share KDI dalam distribusi minyak tidak lebih dari 20-30 persen, artinya KDI yang sampai dengan 31 Desember 1998 menguasai 100-an juta kilogram minyak, di pasar terdapat hampir 500 juta kilogram minyak goreng yang seandainya tak ada KDI rakyat akan membeli sekitar Rp 8-Rp 9 ribu tiap kilogram. Konsumen bisa berhemat sekitar Rp 1,5 triliun, suatu hal yang ketika itu mustahil bisa terjadi tanpa partisipasi KDI. Hal-hal ini saya kira akan dipertimbangkan saksi ahli dan pengadilan apakah Nurdin dengan KDI-nya akan dihukum berat, ringan, percobaan ataukah bebas? Kita tunggu saja keputusan pengadilan, Rabu, tanggal 30 Maret.(Eki Syachrudin, mantan Anggota Komisi IX DPR RI)

Tulisan ini diambil dari Republika, 29 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan