Novanto, Menyerahlah!

Ilustrasi Setya Novanto
Ilustrasi Setya Novanto

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk tersangka korupsi pengadaan KTP-El, Setya Novanto. Dini hari lalu tim penyidik KPK juga telah mendatangi kediaman Novanto untuk melakukan penangkapan, namun yang bersangkutan tidak diketahui keberadaannya sampai saat ini.
 
Perintah penangkapan ini dilakukan menyusul Novanto yang tidak kunjung hadir ketika dimintai keterangan oleh KPK, baik sebagai saksi maupun tersangka. Sedikitnya sudah 11 kali Novanto dipanggil oleh penyidik maupun Jaksa KPK dalam perkara korupsi KTP-El namun dari total keseluruhan Novanto hanya memenuhi sebanyak lima panggilan sebagai saksi: tiga kali di penyidikan dan dua kali di persidangan.
 
Maka berdasarkan Pasal 17 UU No 8 tahun 1981 tentang KUHAP dijelaskan bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Dengan status Novanto sebagai tersangka dan kerap tidak menghadiri panggilan dari KPK maka unsur dari Pasal tentang penangkapan sudah terpenuhi.
 
Terdapat 2 (dua) dalil hukum yang kerap digunakan Novanto untuk mangkir dari pemeriksaan KPK. Pertama, Novanto tidak bisa diperiksa oleh KPK karena memiliki hak imunitas sebagai anggota DPR. Argumen ini sama sekali tidak tepat untuk digunakan. Hak imunitas memang merupakan sebuah hak yang melekat dalam diri anggota DPR, ini tercantum dalam Pasal 20 A ayat (3) UUD 1945. Namun mengenai tindakan apa saja yang dilindungi oleh hak imunitas tentu harus merujuk pada peraturan turunannya. Jelas tertera dalam Pasal 224 ayat (1) UU No 17 tahun 2014 (UU MD3) bahwa anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR. Sudah barang tentu jika seorang diduga melakukan tindak pidana tidak ada kaitan dengan kerja legislasi, anggaran maupun pengawasan.
 
Kedua, pemeriksaan Novanto harus atas izin Presiden. Untuk kali kedua argumen ini pun dapat dibantah secara tegas. Sudah jelas tertera dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.  Lalu kemudian Pasal tersebut dianggap inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK), melalui putusan Nomor 76/PUU XII/2014 MK berpandangan bahwa frasa “Mahkamah Kehormatan Dewan” harus diganti menjadi “Presiden”.
 
Akan tetapi memaknai konstruksi Pasal 245 ayat (1) tersebut tidak tepat untuk dijadikan dalil bagi Novanto untuk mangkir dari pemeriksaan KPK. Alasan yang paling jelas adalah Novanto sedang diperiksa sebagai saksi untuk tersangka korupsi KTP-El, Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo. Merujuk ke Pasal 1 angka 26 KUHAP mengatakan bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, lihat, dan alami. Frasa “diduga melakukan tindak pidana” dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 sebenarnya dimaksudkan untuk seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka, bukan saksi.
 
Menarik untuk mencermati Pasal tersebut lebih jauh, pertanyaannya adalah: lalu apakah seorang anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana korupsi  harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden jika ingin dimintai keterangan oleh KPK?. Pasal 245 ayat (3) huruf c UU MD3 secara gamblang menyebutkan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR disangka melakukan tindak pidana khusus.
 
Tindak pidana khusus merupakan tindak pidana yang pengaturannya diatur di luar KUHP, akan tetapi undang-undang tersebut merupakan undang-undang yang secara khusus dibuat untuk mengatur tindak pidana yang dimaksud. Sudah barang tentu bahwa kejahatan korupsi termasuk yang dikategorikan sebagai tindak pidana khusus. Ini terbukti dengan adanya UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang berada diluar aturan umum KUHP. Jadi sudah jelas jika KPK ingin memanggil seorang anggota DPR yang berstatus sebagai saksi atau tersangka dengan dugaan melakukan tindak pidana korupsi tidak memerlukan izin dari Presiden.
 
Maka menanggapi isu Novanto yang melarikan diri dari upaya penangkapan KPK, kami Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi, menuntut agar:
 
1.    KPK segera tetapkan Setya Novanto sebagai Daftar Pencarian Orang
Langkah ini menjadi penting untuk segera dilakukan agar proses penanganan perkara korupsi KTP-El tetap berjalan. Berdasarkan Pasal 31 ayat (1) Peraturan Kapolri No 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana dijelaskan bahwa tersangka yang telah dipanggil untuk pemeriksaan dalam rangka penyidikan perkara sampai lebih dari 3 (tiga) kali dan ternyata tidak jelas keberadaannya, dapat dicatat di dalam Daftar Orang (DPO) dan dibuatkan Surat Pencarian Orang
 
2.    Setya Novanto menyerahkan diri ke KPK
Sebagai pimpinan lembaga negara sudah seharusnya Novanto memberikan contoh yang baik kepada masyarakat. Menghindar dari pemeriksaan lalu menghilang ketika dilakukan penangkapan hanya akan memperlambat proses penanganan perkara korupsi KTP-El dan akan semakin memperburuk citra dirinya sendiri.
 
3. KPK Segera Menahan Setya Novanto

Manakala keberadaan SN sudah diketahui atau yang bersangkutan menyerahkan diri, KPK harus segera menahan SN. Penahanan ini sangat diperlukan, mengingat besarnya potensi SN sebagai tersangka menghilangkan barang bukti, melarikan diri, atau mangkir dari pemeriksaan. Penahanan terhadap yang bersangkutan juga akan mempercepat dan mempermudah proses hukum di KPK.
 

Jakarta, 16 November 2017
 
 
Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi
 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan