Noda Hitam Dana Kampanye [14/06/04]

Sejumlah lembaga pemantau menemukan keganjilan dalam laporan dana kampanye pemilu. Banyak celah untuk pencucian uang.

PAGI telah terang tanah saat mesin Fokker 28 menderum di Bandara Halim Perdana Kusuma, Selasa pekan silam. Burung besi itu siap melayang membawa rombongan Jenderal (Purn.) Wiranto berkampanye ke Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Calon presiden dari Partai Golkar itu, plus tim suksesnya, duduk nyaman di pesawat milik PT Pos Ekspress Prima. Di bagian belakang, para pengawal dan empat wartawan duduk di dua sofa empuk.

Itu memang bukan pesawat komersial biasa. Siapa berniat menyewa pesawat bermesin jet itu harus punya dompet buncit. Bayangkan, pesawat carteran itu mematok harga sekitar US$ 3.500 per jam. Harga itu belum termasuk biaya tambahan, ujar Heriyanto, bos PT Pos Ekspress Prima. Maksudnya, plus biaya pendaratan, biaya parkir pesawat, dan jasa bandar udara lainnya, ongkos yang dikeluarkan si penyewa akan lebih besar.

Menurut Heriyanto, Wiranto memang sering mencarter pesawat itu untuk wira-wiri ke daerah pelosok. Selama musim kampanye, dia sudah empat kali terbang dengan pesawat yang sama. Sampai pekan lalu saja, ongkos sewanya mulai melangit. US$ 50 ribu atau sekitar Rp 450 juta, kata Heriyanto kepada Dimas Adityo dari Tempo News Room. Menurut dia, bayaran sewa itu akan terus melipat. Soalnya, pesawat itu bakal disewa Wiranto sampai akhir masa kampanye nanti.

Kampanye memang perhelatan politik yang mahal. Sewa pesawat cuma salah satu contoh. Belum lagi kebutuhan iklan, atribut kampanye seperti poster, spanduk, dan kaus, plus biaya angkutan dan sebagainya. Rachmat Witoelar, anggota tim sukses pasangan kandidat Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, menaksir kebutuhan dana kampanye kandidat presiden mereka sekitar Rp 100 miliar.

Dana itu tentu tak jatuh dari langit. Dengan kata lain, berbagai sumur dana harus rajin ditimba. Heri Akhmadi, sekretaris tim kampanye Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, mengaku sudah menghimpun Rp 20-30 miliar. Jumlah itu akan terus bertambah. Setiap hari, kata dia, duit terus mengalir, baik dari perusahaan maupun individu. Saya duga sudah ada sekitar seratus orang pengusaha, ujar Heri. Semua data itu, katanya, tercatat rapi. Sayangnya, begitu ditanya detail nama satu atau dua pengusaha itu, Heri mengaku lupa.

Keterbukaan sumber dana kampanye memang menjadi isu penting. Saat ini dua lembaga pemantau dana kampanye, Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia, tengah aktif menelisik sumber dana para kandidat presiden. Sebuah upaya yang tak mudah, mengingat asal-usul dana di rekening khusus kandidat belum dilaporkan mendetail ke KPU.

Kami curiga ada yang melampaui aturan batas maksimal sumbangan, ujar Luky Djani, Wakil Koordinator ICW. Undang-undang pemilu menetapkan batas maksimal sumbangan adalah Rp 100 juta untuk individu dan Rp 750 juta bagi organisasi berbadan hukum.

Pada 31 Mei silam, menurut jadwal di KPU, para kandidat presiden itu memang telah melaporkan saldo awal di rekening khusus kampanye mereka. Saldo terbesar adalah pasangan Wiranto dan Salahuddin Wahid. Mereka membukukan saldo Rp 3,75 miliar di Bank BCA Cabang Fatmawati, Jakarta Selatan.

Sedangkan pasangan Hamzah Haz dan Agum Gumelar cuma punya modal awal Rp 1 miliar di Bank Mandiri Ratu Plaza. Dana sebesar itu berasal dari sepuluh nama, masing-masing menyetor Rp 100 juta. Para penyumbang antara lain adalah Hamzah dan Agum sendiri, serta Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Alimarwan Hanan.

Saldo awal pasangan Susilo dan Kalla Rp 1,5 miliar di Bank Mandiri Cabang Pancoran Pasar Minggu. Dari data yang ada, terdapat dua nama yang menyumbang Rp 500 juta: PT Hadji Kalla dan PT Bukaka Teknik Utama. Dua nama individu, Suhaeli dan Gatot Soewondo, menyetor dana masing-masing Rp 100 juta. Sebanyak Rp 300 juta lainnya berasal dari masyarakat, dengan nilai di bawah Rp 5 juta.

Dompet kampanye Megawati dan Hasyim juga lumayan tebal. Mereka punya saldo awal Rp 2,6 miliar di Bank Mandiri Cabang Imam Bonjol. Sumber dana seluruhnya berasal dari kas Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan. Lalu pasangan Amien dan Siswono punya saldo awal Rp 1,2 miliar. Pasangan itu, menurut KPU, menyerahkan laporan keuangan cukup lengkap.

Tapi, selama pekan pertama kampanye, survei kedua lembaga itu menemukan belanja kampanye yang besar pasak daripada tiang. Misalnya, kata Luky, terungkap bahwa pasangan kandidat PDI Perjuangan, Megawati-Hasyim Muzadi, membelanjakan dana iklan paling besar, sekitar Rp 4,5 miliar. Lalu pasangan Wiranto-Salahuddin total belanja Rp 3,9 miliar, Yudhoyono-Kalla Rp 3,7 miliar, dan Amien-Siswono Rp 1,5 miliar. Yang terkecil adalah belanja untuk pasangan Hamzah-Agum, Rp 1 miliar.

Survei yang dilakukan di 28 ibu kota provinsi dan kabupaten itu memantau total belanja iklan media cetak, radio, televisi, dan kegiatan kampanye luar ruang tiap kandidat presiden. Jumlah itu belum termasuk ongkos biro iklan, perjalanan, dan akomodasi tim kampanye kandidat. Kami mencatat dari tayangan iklan mereka di media, kata Luky.

Sebagian kandidat, menurut dia, mengaku baru menyusun daftar penyumbang teranyar. Sedangkan yang lain berkeras sudah melaporkannya ke KPU. Megawati dan Wiranto, misalnya, hanya mencantumkan bendahara partai dan kas partai sebagai satu-satunya penyetor dana. Kami kesulitan, karena penyumbang kepada partai tak bisa dilacak, kata Luky.

Bisa saja, memang, para kandidat mendapat limpahan uang setelah 31 Mei—tenggat para kandidat melaporkan dana kampanye mereka (lihat Main Bola Mendongkrak Citra). Tapi sulit membuat orang tak bersyak-wasangka: sebelum itu pasti para kandidat telah keluar uang untuk segala persiapan.

Kejanggalan inilah yang memancing curiga. Apalagi praktek kongkalikong begini bukan tak pernah terjadi. Ahsan Jamet dari Transparency mengungkapkan temuan menarik mereka seputar daftar penyumbang partai politik pada masa kampanye legislatif lalu. Meski tak melampaui batas setoran, kata dia, banyak penyumbang yang tak begitu jelas sosoknya.

Misalnya para penyumbang dari PDI Perjuangan. Hasil pantauan Transparency dan ICW menunjukkan sejumlah alamat rumah tak cocok dengan nama yang tertulis. Bahkan sejumlah alamat diduga ngawur karena sulit ditemukan meski tim pemantau itu sudah menjelajahi sampai gang kecil. Ada juga setelah dicek, ternyata bukan rumah melainkan wartel, ujar Ahsan.

Penelusuran wartawan TEMPO di lapangan juga mirip dengan temuan Ahsan. Misalnya Th. Butar-Butar, warga Jalan Perkutut, Slipi, Jakarta Barat. Butar-Butar, 60 tahun, adalah pensiunan kolonel TNI-AD. Dia mengaku simpatisan PDI Perjuangan. Dalam daftar sumbangan dana kampanye PDI Perjuangan DKI Jakarta, namanya ada pada nomor urut 91 dengan sumbangan Rp 70 juta. Angka itu lumayan besar bagi pensiunan perwira menengah.

Begitu daftar itu ditunjukkan kepadanya, Butar-Butar justru terkaget-keget. Dana sebesar itu saya cari sendiri saja belum tentu sanggup, ujar lelaki bertubuh ceking itu. Saya tak mau bohong, ujarnya lagi. Menurut dia, tak pernah ada uang tunai yang dia setor ke kantor Partai Moncong Putih itu.

Sebagai simpatisan PDI Perjuangan, dia mengaku memang pernah mengerahkan massa untuk kampanye pemilu legislatif lalu. Kata dia, mungkin pengurus Partai mengira sebesar itulah sumbangan dia untuk kampanye.

Wartawan TEMPO juga menelusuri nama lain, misalnya Sumaryono. Di daftar itu alamatnya tertulis Gang Syawal V Nomor 51 RT 13/03, Koja, Jakarta Utara. Setelah daerah Koja ditelusuri, alamat itu tak ditemukan. Sejumlah warga menyebut alamat itu besar kemungkinan keliru. Dalam daftar, Sumaryono disebut menyumbang Rp 75 juta.

Membuktikan kebenaran laporan dana kampanye partai memang tugas berat KPU. Menurut Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti, sesuai dengan ketentuan komisi itu, setiap partai politik wajib menyerahkan laporan dana kampanye pemilu legislatif paling lambat 1 Juli mendatang. Laporan itu akan diaudit oleh kantor akuntan publik, ujar Ramlan.

Jika pola penyumbang fiktif seperti dalam pemilu legislatif terjadi dalam kampanye presiden, tentu urusannya lebih gawat. Jika daftar penyumbang terbukti tidak benar, mereka bisa dituduh melakukan kebohongan publik, ujar Koordinator Bidang Pengawasan Panitia Pengawas Pemilu Pusat, Didik Supriyanto.

Menurut Didik, data itu akan lebih mudah terungkap jika semua laporan tim kampanye kandidat presiden sudah masuk ke KPU. Lembaganya tak bisa berbuat apa-apa kalau posisi saldo akhir di rekening khusus kampanye dan daftar penyumbang belum ada di tangan.

Sekretaris Jenderal Transparency Indonesia, Emmy Hafild, berpikir bahwa lebih bagus mencegah patgulipat dana kampanye ini dengan meminta semua pihak berwenang melakukan aksi jemput bola. Misalnya, meminta Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerja sama dengan KPU memeriksa daftar kekayaan calon presiden dan wakil presiden. Menurut Emmy, ketidakjelasan sumber dana bisa berakibat buruk pada kualitas pemilihan presiden. Kita tak mau presiden terpilih ternyata dibiayai oleh dana hitam, ujarnya.

Luky Djani melihat ada kelemahan dalam peraturan pemilu soal dana kampanye. Banyak celah yang bisa diterobos oleh dana gelap, ujar alumni University of Singapore yang pernah menulis tesis tentang dana kampanye itu. Salah satunya Pasal 6 poin 1 dari Undang-Undang Nomor 23 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Disebutkan, setiap kandidat presiden harus punya nomor pokok wajib pajak. Tapi itu saja tak cukup untuk membatasi sumber dana bagi seorang kandidat. Ada hibah dan utang pendapatan di luar pajak yang sulit diverifikasi. Ada celah bagi masuknya dana tak jelas, misalnya dari pencucian uang, ujarnya.

Soal kecemasan akan dana gelap itu tampaknya masuk akal. Coba simak temuan dari lembaga pemantau kejahatan ekonomi di Jakarta, Combating Counterfeit and Financial Crime, Jumat pekan silam. Menurut lembaga itu, peredaran uang palsu kini meningkat tajam, terutama pecahan Rp 100 ribu. Tahun lalu, uang palsu pecahan yang sama hanya Rp 74,3 juta. Dalam kampanye legislatif kemarin jumlahnya meningkat Rp 678,2 juta, kata Arsita Mutiara, juru bicara lembaga itu.

Nezar Patria, Darmawan S., Dimas Aditya, Istiqomatul H., Danto (TNR)

Sumber: Majalah Tempo, No.16/XXXIII/14-20 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan