Nilai Jual Century Rendah, LPS Rawan Rugi Rp 5 T

Audit investigatif terhadap penanganan PT Bank Century Tbk terasa makin urgen. Pasalnya, manajemen Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pun tidak yakin apakah dana bailout Rp 6,7 triliun ke Bank Century bisa kembali utuh.

Kepala Eksekutif LPS Firdaus Djaelani mengatakan, pihaknya hanya bisa mengoptimalkan pembenahan Bank Century agar nilai perusahaan meningkat saat harus dilepas pada November 2011. Saat ditanya apakah LPS siap merugi jika harga penjualannya di bawah Rp 6,7 triliun, dia menjawab singkat. ''Iya, undang-undang juga sudah memperkirakan begitu,'' ujarnya seusai konferensi pers di Kantor LPS kemarin (30/8).

Berdasar undang-undang, LPS harus menjual atau mendivestasikan seluruh saham Bank Century paling lama tiga tahun terhitung setelah Bank Century diserahkan kepada LPS, atau pada November 2011. Namun, masa penjualan bisa diperpanjang dua kali masing-masing 1 tahun. Dengan demikian, paling lambat, berapa pun nilai jual Bank Century, LPS harus melepas seluruh saham pada November 2013.

Menurut kalkulasi ekonom yang juga anggota Komisi XI DPR Dradjad H. Wibowo, dengan ekuitas Bank Century yang saat ini di kisaran Rp 500 miliar, jika kinerja perusahaan bisa meningkat pun, nilai ekuitas pada November 2011 hanya sekitar Rp 1,5-2 triliun. Angka tersebut jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan dana bailout Rp 6,7 triliun yang sudah disuntikkan LPS. Artinya, LPS berpotensi merugi hingga Rp 4,5-5 triliun.

Dimintai komentar terkait proyeksi nilai aset Bank Century saat harus didivestasikan yang hanya mencapai Rp 2 triliun, Firdaus menjawab diplomatis. ''Sekarang, bank ini sedang ditingkatkan. Mudah-mudahan nanti (nilai jualnya) tidak segitulah,'' katanya. Namun, saat ditanya apakah optimistis bisa menjual Bank Century hingga balik modal atau Rp 6,7 triliun, Firdaus hanya menghelas napas. Dia tidak berani menjawab.

Menurut Firdaus, dalam UU LPS disebutkan, saat harus mendivestasikan Bank Century pada November 2011, LPS hanya bisa melepas jika penawaran pembeli sekurang-kurangnya Rp 6,7 triliun atau sebesar dana yang sudah disuntikkan. Dengan demikian, LPS balik modal. Namun, jika memang tidak ada yang menawar harga minimal Rp 6,7 triliun, LPS bisa memperpanjang penawaran 2 kali 1 tahun.

''Jika sampai melewati tahun kelima dan tetap tidak ada yang menawar minimal Rp 6,7 triliun, kita lihat penawaran tertinggi. Misalnya, ada yang menawar Rp 4 triliun dan Rp 5 triliun. Nah, kepada penawar tertinggi itulah kita lepas. Jadi, dana yang sudah disuntikkan tidak lagi diperhitungkan,'' terangnya.

Meski demikian, lanjut Firdaus, bukan berarti LPS akan pasrah menanggung rugi. Selain berupaya meningkatkan kinerja perseroan, LPS terus mengejar aset-aset pemilik lama Bank Century, terutama Robert Tantular. ''Yang di Hongkong ada aset senilai USD 1 miliar. Itu bukan hanya milik Robert Tantular, tapi juga aset beberapa pemilik lain. Ini yang dikejar secara intensif,'' paparnya.

Dalam pengejaran aset tersebut, LPS berkoordinasi dengan Polri, kejaksaan, Depkum ham, Deplu, Depkeu, Bank Indonesia (BI), serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Namun, LPS juga tidak bisa berharap banyak dari aset-aset lain milik Bank Century yang berbentuk surat berharga. Sebab, banyak di antaranya yang ternyata aset bodong alias palsu. ''Memang, ada beberapa surat berharga yang tidak bisa dicairkan,'' ujarnya.

Sementara itu, saat ditanya terkait pernyataan Wapres Jusuf Kalla yang mengaku tidak dilapori soal suntikan dana yang membengkak, Firdaus mengatakan, sesuai undang-undang, LPS memang diwajibkan melaporkan kinerjanya kepada presiden RI. ''Tapi, bentuknya laporan rutin tahunan. Jadi, tidak harus setiap kebijakan kami laporkan saat itu juga,'' katanya.

Firdaus juga kembali menegaskan bahwa suntikan modal ke Bank Century Rp 6,7 triliun tidak akan membuat cash flow LPS seret. Sebab, lanjut dia, kekayaan LPS per 31 Juli 2009 sudah menyentuh angka Rp 18 triliun. ''Dana yang disuntikkan ke Bank Century juga kami hitung sebagai aset,'' jelasnya.

Firdaus menambahkan, dana Rp 6,7 triliun tersebut tidak seluruhnya habis untuk membayar dana nasabah (deposan) yang sudah jatuh tempo. Menurut dia, Rp 2,2 triliun masih ada di bank dalam bentuk surat utang negara (SUN) dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). ''Yang digunakan untuk membayar deposan Rp 3,8 triliun,'' sebutnya.

Terkait audit investigatif yang dilakukan BPK, Firdaus mengaku tiga pekan lalu BPK memulai pe­meriksaan pendahuluan yang selesai pada pekan lalu. Ditanya soal pernyataan BPK yang menyebut ada indikasi penyalahgunaan, Firdaus menjawab singkat. ''Itu baru audit pendahuluan. Jadi, sebenarnya belum ada hasilnya,'' ujarnya.

Sementara itu, wakil ketua KPK Bibit mengakui bahwa pihaknya telah menelusuri dugaan penyimpangan terkait kebijakan penye­lamatan Bank Century oleh LPS. "Ya sedang lid (penyelidikan) seka­rang," ucap Bibit kemarin.

Langkah KPK saat ini, terang Bibit, adalah memintakan audit in­vestigatif terkait soal kucuran dana (bailout) Rp 6,7 triliun oleh LPS kepada Badan Pemeriksa Ke­uangan. Surat disampaikan KPK sejak Juni lalu. Kasus itu, kata dia, berasal dari direktorat peng­aduan masyarakat. Namun, dia tak menyebutkan siapa pihak yang mengadukan kasus itu ke lembaga antikorupsi. "KPK menerimanya dari dumas (pengaduan masyarakat)," jelas Bibit.

Di KPK memang ada bidang khusus yang menerima laporan dari masyarakat soal dugaan ketidakberesan. Dalam sebulan, direktorat tersebut bisa menerima ratusan laporan penyimpangan dari berbagai wilayah. Penanganan kasus dugaan korupsi pembagian cek perjalanan kepada sejumlah anggota DPR dalam pemenangan Deputi Gubernur Senior (DGS) BI juga berawal dari laporan bidang tersebut. Direktorat itu juga mengkaji laporan sejumlah LSM dalam pengadaan IT di KPU.

Menurut data yang dihimpun, De­sember lalu seorang nasabah Bank Century, George Freddy, Di­rut Utama PT Balai Lelang Sura­baya, melaporkan dugaan penyimpa­ngan Bank Century ke KPK. Na­mun, laporan Freddy menyangkut du­gaan kerugian negara dalam pen­jualan commercial paper PT BNI Tbk atas suruhan Robert Tantular, mantan pemilik Bank Century yang saat ini mendekam di tahanan Mabes Polri.

Wakil Ketua KPK Haryono Umar mengungkapkan, untuk memperjelas masalah itu, KPK akan menggandeng kepolisian.

"Kami akan mencoba koordinasi dengan kepolisian untuk masalah ini," jelasnya kemarin. (owi/git/iro)

Sumber: Jawa  Pos, 31 Agustus 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan