NGO Terjebak Struktur Oligarkis [05/06/04]

Staf pengajar Fisipol UGM AAGN Ari Dwipayana MSi mengatakan, selain mitos Ratu Adil, Non Govermen Organization (NGO) juga seharusnya membebaskan diri dari parangkap ambiguitas yang membelenggu dirinya. Ambiguitas pertama, antara demokrasi dan feodalisme. Di satu pihak NGO berbicara tentang demokrasi, terutama pada negara, di sisi lain secara internal membangun feodalisme.

“Banyak NGO yang terjebak pada struktur oligarkis di mana kekuasaaan hanya dikuasai oleh segelintir orang,” ujar AAGN Ari Dwipayana, belum lama ini, dalam seminar ‘Reposisi Peranan NGO dalam Gerakan Sosial’ dan peluncuran Majalah ‘Siar Demokrasi’ yang diselenggarakan Korp Mahasiswa Ilmu Pemerintahan (Komap) kerjasama dengan Forum LSM se-Indonesia.

Dalam seminar di Ruang Seminar Fisipol UGM ini AAGN Ari Dwipayana menyebutkan, ambiguitas kedua, antara organisasi yang terbuka dengan hierarkis dan birokratisme. Ambiguitas ketiga, formalitas versus konsistensi keberpihakan. Banyak NGO yang mempromosikan dirinya membangun pendekatan partisipatif dan berpihak. Namun dalam implementasi programnya, sama sekali tidak terlihat metode partisipatif dan keberpihakannya.

Dengan demikian NGO bisa terjebak pada penyakit formalisme. Ambiguitas ini harus diakhiri karena akan mengurangi kepercayaan masyarakat pada NGO. Karena itu harus berbenah diri dengan melakukan kritik, auto kritik terhadap dirinya sendiri, NGO harus merumuskan standing position ideologinya dan konsisten menjalankan hal itu, secara internal maupun eksternal.

“Mitos Ratu Adil juga harus diakhiri dan NGO dengan kekuatan sosial yang lain membangun peradaban yang lebih baik,” kata AAGN Ari Dwipayana MSi, peneliti pada IRE.

Menurut staf pengajar Fisipol UGM Dr Suharko, bila ada agenda di kalangan NGO di Indonesia untuk melakukan reposisi dan reformulasi peran, maka ketiga problem mendasar dan sejumlah rekomendasi yang diformulasikan oleh Edwards mungkin bisa menjadi semacam ‘warning’ dan sekaligus ‘arah penunjuk’ bagi NGO untuk melihat sisi-sisi mana yang dihindari dan yang harus segera dibenahi.

“Dalam hemat saya, reformasi dalam komunitas NGO sendiri merupakan prasyarat terpenting untuk berhasilnya reposisi dan reformulasi peran. Cukup beralasan masa depan eksistensi dan peran NGO akan sepenuhnya bergantung kepada keberanian NGO sendiri untuk melakukan reformasi pada tubuhnya sendiri,” ujar Dr Duharko.

Dikatakan Ketua Dewan Pengurus Forum LSM se-DIY Damar Dwi Nugroho, platform perjuangan politik NGO menjadi hal yang realitis untuk dibicarakan, di mana dengan kesadaran atas bacaan kondisi sosial dan ekonomi NGO harus mampu menjadi bagian integral dalam perjuangan garis masanya. Bukan menjadi sesuatu yang berada di luar dan masuk membawa sesuatu di luar realitas politiknya, tetapi menjadi penyusun dan pelancar dari upaya menuju pemenangan.(Asp)-c.

Sumber: Kedaulatan Rakyat, Selasa, 08 Juli 2003

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan