Netralitas Birokrasi

Administrasi negara tidak banyak mendapat perhatian di negara ini. Namun, reformasi birokrasi menjadi salah satu tawaran dalam pembenahan sistem penyelenggaraan negara. Meskipun tidak sama, keduanya memiliki keterkaitan. Administrasi negara tidak akan baik tanpa adanya sistem birokrasi yang efektif dan efisien.

Sebaliknya, birokrasi yang cenderung gemuk dan korup akan membentuk sistem administrasi negara yang tidak dapat melayani masyarakat. Untuk mudahnya, administrasi negara adalah salah satu organ birokrasi.

Di beberapa negara, Jerman misalnya, administrasi negara menjadi lembaga negara profesional, terpisah dari fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Administrasi negara di sini memegang fungsi administratif dalam penyelenggaraan negara. Secara legal, administrasi negara bertindak atas nama konstitusi. Untuk operasionalisasi, administrasi negara memiliki Undang-Undang Prosedur Administrasi Negara (Verwaltungsverfahrensgesetz). Dasar hukum yang kuat mampu membentuk sistem administrasi (negara) Jerman yang profesional dan pro kepada rakyat.

Berbeda halnya dengan Amerika. Administrasi negara merupakan bagian dalam sistem pemerintahan eksekutif. Meskipun tidak tercantum tegas dalam konstitusi, hal ini dengan tegas diatur dalam Administrative Procedure Act. Eksekutif selaku implementator undang-undang membutuhkan fungsi administratif dalam mengurus dan mengelola negara. Kodifikasi hukum dalam negara ini memberi kekuatan. Sistem hukum Amerika mengatur sistem pemerintahan secara komprehensif, baik dalam fungsi eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Dengan demikian, netralitas dalam menjalankan administrasi negara tetap terjaga.

Adapun administrasi negara di Belanda hampir mendekati sistem di Jerman. Namun, dalam beberapa hal, kondisi faktual yang tergambar dalam The General Administrative Act (Alegemene wet Bestuursrecht) mereka cenderung mirip dalam konteks negara Indonesia. Sebab, dalam beberapa aturan hukum, Indonesia memang masih banyak berpedoman pada Negeri Kincir Angin tersebut.

Terlepas dari berbagai bentuk prosedur administrasi negara, Indonesia masih belum memilih bentuk administrasi negara. Selama ini administrasi negara selalu identik dengan keputusan tata usaha negara. Belum ada aturan hukum yang tegas mendeskripsikan administrasi negara. Maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia belum memiliki standar dalam menyelenggarakan administrasi negara.

Jika kita akan menerapkan sistem seperti Jerman, Amerika, ataupun Belanda, harus ada dasar hukum yang kuat. Terlebih sistem kelembagaan Indonesia dirancukan oleh sistem kepartaian dan sistem kepegawaian. Namun, meskipun dilakukan amendemen, tidak ada jaminan akan terwujud administrasi negara yang ideal. Sementara itu, untuk membentuk sistem di tengah jalan, akan membentur banyak aturan hukum yang belum tertata. Artinya, bukan masalah pendekatan apa yang digunakan dalam membentuk administrasi negara, melainkan sejauh mana Indonesia dapat menjaga netralitas penyelenggara negara dari berbagai kepentingan. Jika selama ini netralitas hanya menyentuh ruang-ruang politis, sudah saatnya netralitas memisahkan antara ruang pemerintah dan ruang negara.

Netralitas birokrasi

Undang-undang yang mengatur soal birokrasi di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (selanjutnya disebut UU Kepegawaian). Dalam hukum Indonesia memang tidak dikenal istilah birokrasi. Namun, dalam UU Kepegawaian, birokrasi identik dengan pegawai negeri sipil.

Pemisahan yang tidak tegas antara fungsi negara dan fungsi pemerintah sebenarnya dimulai dari konstitusi. Kita lihat saja istilah kekuasaan pemerintahan negara yang dipegang oleh eksekutif, dalam hal ini presiden. Padahal secara umum pemerintahan diselenggarakan oleh semua lembaga negara, yang menyelenggarakan fungsi-fungsi negara, termasuk di dalamnya eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga negara lain.

Terlepas dari kelemahan konstitusi, kedudukan birokrasi semakin diperlemah oleh UU Kepegawaian. Secara sengaja pegawai negeri sipil ditempatkan sebagai alat pemerintah (eksekutif), bukan alat negara. Dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya, pegawai negeri sipil tunduk pada aturan pemerintah. Bagaimana mungkin pegawai negeri sipil dapat menjalankan roda birokrasi secara netral jika kebijakan dan aturan yang digunakan tunduk serta patuh kepada pemerintah. Kesalahan berikutnya adalah negara sering kali diidentikkan dengan pemerintah. Peran masyarakat tidak menjadi tolok ukur dalam penyelenggaraan negara. Masyarakat cenderung menjadi obyek penyelenggaraan negara.

Secara ideal, penyelenggaraan negara pasti melibatkan masyarakat. Dengan demikian, pada tingkat implementasi diperlukan instrumen khusus dengan standardisasi prosedur. Singkatnya, hubungan eksternal pemerintah dengan masyarakat membutuhkan birokrasi. Korelasi tersebut membutuhkan prosedur administrasi negara yang telah disepakati oleh semua elemen negara.

Jika konsep netralitas birokrasi dalam penyelenggaraan negara dapat diterapkan, otomatis akan terbentuk sistem administrasi (negara) Indonesia yang netral. Dalam konteks Indonesia yang belum memiliki fondasi yang kuat untuk membentuk sistem administrasi negara, ada beberapa proses yang dapat dijalankan. Pertama, mempertegas pemisahan antara negara dan pemerintah. Selain menempatkan ketentuan ini dalam amendemen konstitusi berikutnya, konsep ini harus mulai dimasyarakatkan dan diterapkan dalam setiap bentuk penyelenggaraan negara. Pemerintah bukan negara dan negara pun tidak semata dikelola oleh pemerintah.

Kedua, mempertegas fungsi dan tanggung jawab negara terhadap rakyat. Salah satu unsur utama pembentukan sebuah negara adalah kedaulatan. Sistem negara modern yang menempatkan perwakilan rakyat dalam penyelenggaraan negara tidak serta-merta menghapus fungsi dan tanggung jawab negara atas rakyat. Penyelenggaraan negara harus berorientasi menjalankan pelayanan terhadap publik dalam mewujudkan tujuan negara. Tidak lagi negara berjalan tanpa kehendak rakyat. Tidak ada lagi rakyat tanpa perlindungan dan jaminan dari negara.

Ketiga, memperkuat fungsi-fungsi lembaga negara. Penguatan kedudukan, fungsi, dan tanggung jawab negara harus diimbangi dengan penguatan fungsi lembaga negara. Lembaga negara di sini adalah setiap organisasi yang berfungsi dan berwenang dalam penyelenggaraan negara, termasuk di dalamnya lembaga negara yang memiliki fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Selama ini Indonesia lebih sering menggunakan pendekatan kekuasaan daripada pendekatan fungsi. Maka pembentukan organisasi dilakukan berdasarkan adanya kekuasaan semata, tidak berdasarkan kebutuhan untuk menyelenggarakan fungsi tertentu dalam negara. Akibatnya, kekuasaan eksekutif, selain memiliki fungsi eksekutif, memiliki fungsi legislatif dan yudikatif.

Proses di atas mau tidak mau harus dilewati. Jika tidak, Indonesia akan semakin terjajah oleh salah satu pemegang kekuasaan negara. Sementara itu, rakyat selaku pemegang kedaulatan hanya menjadi obyek dalam kegamangan fungsi negara dengan pemerintah.

Ida Syafrida Harahap, PENELITI MASYARAKAT TRANSPARANSI INDONESIA

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 1 Agustus 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan