Neloe Tersangka Lagi; Korupsi Aset PT Kiani Kertas, Rugikan Negara Rp 1,8 Triliun
Tiada tahun tanpa berurusan dengan hukum. Tiga mantan pejabat Bank Mandiri, yaitu E.C.W. Neloe (eks Dirut), I Wayan Pugeg (eks Wadirut), dan M. Sholeh Tasripan (eks direktur), kembali menjadi tersangka korupsi. Kali ini kasusnya pengambilalihan aset PT Kiani Kertas yang merugikan negara Rp 1,8 triliun.
Neloe dkk saat ini juga masih menjadi terdakwa kasus kredit macet PT Cipta Graha Nusantara (CGN) Rp 160 miliar yang berkas perkaranya sampai di tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA). Mereka sebelumnya dibebaskan dari PN Jakarta Selatan.
Neloe sendiri bisa dibilang memanen perkara. Tepat satu tahun lalu atau 18 April 2006, Mabes Polri menetapkan pria kelahiran Makassar itu menjadi tersangka pencucian uang (money laundering) atas deposito USD 5,3 juta pada sebuah bank di Swiss. Dengan demikian, Neloe terjerat hukum dalam tiga kasus berbeda.
Penetapan Neloe dkk sebagai tersangka kasus PT Kiani Kertas diumumkan di gedung Kejagung pukul 19.00 tadi malam. Direktur Penyidikan M. Salim didampingi Kapuspenkum Salman Maryadi membeberkan informasi tersebut. Plt JAM Pidana Khusus (Pidsus) Hendarman Supandji lebih dahulu meninggalkan Gedung Kejagung.
Saat mengumumkan, Salim tidak mengungkap nama lengkap Neloe dkk. Mantan wakil kepala Kejati Jawa Tengah itu hanya menyebut inisialnya, yakni ECW N (Neloe), MST (Tasripan), dan IWP (Pugeg). Setelah memeriksa 12 saksi, kejaksaan berkesimpulan ECW N, MST, dan IWP ditetapkan tersangka, kata Salim.
Penyidikan kasus korupsi pengambilalihan aset PT Kiani Kertas ditangani tim jaksa yang dikoordinasi Herdwi SH. Menurut Salim, Neloe dkk akan diperiksa sebagai tersangka mulai pekan depan. Kami berharap para tersangka dapat memenuhi pemanggilan, ujar Salim.
Tim penyidik telah memeriksa 12 saksi yang berasal dari kreditor (manajemen Bank Mandiri) dan debitor (PT Kiani Kertas). Dari catatan koran ini, para saksi tersebut, antara lain, Prabowo Subianto (Presdir PT Kiani Kertas dan direktur PT Nusantara Energi) dan M. Syahrial (Dirut PT Perusahaan Pengelola Aset/PPA).
Salim menepis kekhawatiran bahwa Neloe dkk akan lari. Dasarnya, mereka masih dicekal. Kami yakin Neloe dkk masih di Indonesia, jelas Salim. Status pencekalan dikeluarkan Kejagung saat Neloe dkk ditetapkan sebagai tersangka kasus kredit macet PT CGN pada 30 April 2005.
Selain memanggil Neloe dkk, tim penyidik menjadwalkan pemeriksaan beberapa saksi. Di antaranya, wakil manajemen PT Nusantara Energi (selaku konsorsium pembelian hak tagih alias cessie PT Kiani Kertas) dan Bank Mandiri. Semua akan dipanggil satu per satu secara berurutan, tegas Salim.
Menurut Salim, penetapan Neloe dkk sebagai tersangka tidak berarti terjadi nebis in idem (penetapan dua kali tersangka dalam kasus yang sama). Alasannya, kasus yang disidik saat ini berbeda dengan yang telah masuk ke pengadilan. Ini kasusnya lain, jelas Salim.
....
Selain itu, tim penyidik juga tidak perlu menunggu putusan kasasi kasus kredit macet PT CGN dari MA. Dia menjelaskan, dengan penetapan Neloe dkk sebagai tersangka lagi, justru diharapkan MA dapat mendalami kerugian negara atas berbagai kasus kredit macet di Bank Mandiri.
Ditanya kemungkinan penetapan tersangka lain, Salim menjawab peluang itu tetap terbuka. Itu dimungkinkan, katanya singkat. Yang pasti, semua bergantung hasil pengembangan penyidikan.
Salim juga menegaskan, kejaksaan masih menghitung kerugian negara dalam kasus PT Kiani Kertas. Tim penyidik akan menggunakan data dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Meski belum ada nilai pasti (kerugian negara), kami punya data untuk menetapkan mereka (Neloe dkk) sebagai tersangka, beber Salim.
Soal detail perbuatan melawan hukum oleh Neloe dkk dalam kasus Kiani Kertas, Salim menolak menjelaskan. Yang jelas, kasus pengambilalihan PT Kiani Kertas dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) terjadi pada 2002 silam.
Terpisah, pengacara Neloe, O.C. Kaligis, menegaskan kliennya seharusnya tidak dijadikan tersangka dalam kasus PT Kiani Kertas. Alasannya, selaku pimpinan, Neloe dkk tidak terlibat secara langsung proses pengambilalihan perusahaan milik Bob Hasan tersebut. Seharusnya, kejaksaan memeriksa para manajer yang menyetujui pengucuran dana (terkait pengambilalihan PT Kiani Kertas), jelas Kaligis yang dihubungi koran ini dari gedung Kejagung kemarin.
Selain itu, terkait proses pengucuran dana untuk pengambilalihan, Bank Mandiri telah menjelaskan secara terbuka dalam laporan keuangan audited. Bank Mandiri kan perusahaan terbuka, jelas Kaligis. Neloe dkk juga berani mengeluarkan kredit setelah mendapat persetujuan dari BPPN.
Soal kesiapan Neloe menjalani penyidikan, Kaligis menegaskan kliennya siap. Meski demikian, pengacara berkacamata itu tidak dapat memastikan keberadaan kliennya. Saya sudah lama tak berhubungan lagi dengan klien saya, ungkap Kaligis. Dia juga sudah memastikan kliennya tidak lagi berstatus cekal sehingga dapat bepergian ke luar negeri.
Terpisah, Komisaris Utama (Komut) PT Kiani Kertas Luhut Panjaitan menolak berkomentar soal penetapan Neloe dkk sebagai tersangka. Wah, saya nggak bisa berkomentar. Saya belum mendengar, kata Luhut kepada koran ini. Meski demikian, mantan Menperindag tersebut menegaskan, proses pengambilalihan PT Kiani Kertas telah memenuhi prosedur.
Dari catatan koran ini, kasus pengambilalihan hak tagih PT Kiani Kertas berawal pada November 1998. Saat itu, pemilik awal PT Kiani Kertas, Bob Hasan, menyerahkan perusahaan kertas itu kepada BPPN. Ini terkait penyelesaian utang Bank Umum Nasional (BUN), perusahaan milik Bob, senilai Rp 8,917 triliun.
Pada 2002, BPPN lantas memasukkan PT Kiani Kertas dalam program penjualan. Perusahaan bubur kertas tersebut lantas ditawarkan ke investor PT Vayola yang terkait dengan Prabowo dan membeli semua saham Kiani senilai Rp 7,106 triliun. Prabowo membeli PT Kiani Kertas setelah mendapat kredit Bank Mandiri Rp 1,8 triliun.
Sayang, di tengah perjalanan, PT Kiani Kertas mengalami kesulitan modal kerja dan membuat pabrik nyaris tak beroperasi.
Bank Mandiri lantas mendesak PT Vayola menggandeng investor baru untuk merestrukturisasi utang. Namun utang Kiani kemudian terkatung-katung dan membengkak menjadi Rp 2,2 triliun. Selanjutnya, bisa ditebak, kredit tersebut menjadi macet. (agm)
Sumber: Jawa Pos, 20 April 2007