Negeri Surga bagi Koruptor [16/07/04]

Betulkah Indonesia surga bagi koruptor? Betapa tidak. Para koruptor, terlebih yang terkait dengan kekuasaan dan konglomerat, saat diproses terkesan formalitas, sekadar memenuhi tuntutan rakyat.

Bila tidak dihentikan di tengah jalan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan, prosesnya sengaja ditarik ulur dengan beragam alasan yang tidak rasional agar rakyat melupakannya. Kalaupun ada yang lolos ke pengadilan dan dijatuhi pidana, mereka hanya koruptor kelas teri, sedangkan koruptor kelas kakap lebih banyak divonis bebas. Malah ada yang lucu, terdakwanya keburu kabur ke luar negeri setelah dijatuhi vonis bersalah atau diberi izin berobat ke luar negeri saat perkaranya dalam proses sidang.

KASUS korupsi yang sedang hangat saat ini adalah dugaan korupsi Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Abdullah Puteh atas pembelian helikopter senilai Rp 12 miliar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menetapkan Puteh sebagai tersangka, bahkan KPK telah menyurati Presiden Megawati selaku atasan tersangka dengan memerintahkan agar Puteh dinon-aktifkan sementara dari jabatannya-Pasal 12 Huruf e Undang-Undang (UU) No 30/2002 tentang KPK. Namun, apa tanggapan Presiden Megawati?

Saat ditanya wartawan (Media Indonesia, 13/7/2004), presiden mengatakan tak ada istilah status non-aktif bagi kepala daerah. Yang ada hanya diangkat atau diberhentikan. Rupanya ia mengacu pada UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang memang tak mengatur soal non-aktif bagi kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota).

Sikap Presiden Megawati ini bisa ditafsirkan lain, tidak serius, tidak memiliki komitmen kuat memberantas korupsi. Padahal, saat debat calon presiden 30 Juni lalu, ia setuju Gurbernur NAD dinonaktifkan untuk melapangkan proses hukum. Lebih memprihatinkan kalau persoalan hukum ini dibawa ke ruang politik untuk kepentingan putaran kedua. Misalnya, karena Puteh kader Golkar, Megawati segan bertindak tegas. Bukankah Golkar sedang diincar dukungannya?

UU Pemda yang mengatur pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah, termasuk aturan umum bagi UU KPK. Keduanya tidak boleh dipertentangkan karena asas hukum menempatkan UU KPK-khusus bagi kepala daerah yang ditetapkan tersangka korupsi oleh KPK-sebagai aturan khusus yang harus didahulukan pemberlakuannya. Tak dikenalnya non-aktif dalam UU Pemda tidak berarti seorang kepala daerah tidak bisa dinon-aktifkan. Karena UU KPK sebagai aturan khusus, seorang pejabat negara (termasuk kepala daerah) bisa dinon-aktifkan atas perintah KPK. Hal ini diperkuat Pasal 46 Ayat 1 UU KPK, setelah KPK menetapkan seseorang sebagai tersangka, prosedur khusus dalam pemeriksaan tersangka yang diatur dalam perundang-undangan lain tidak berlaku.

Perintah KPK agar tersangka sebagai kepala daerah diberhentikan sementara dari jabatannya tidak boleh dihalangi UU Pemda dengan alasan tidak mengatur pemberhentian sementara (non-aktif). Tujuan perintah KPK agar proses penyidikan dan penuntutan berjalan lancar. Bila hakim memutuskan tuduhan itu tidak terbukti dan terdakwa dibebaskan, nama yang bersangkutan direhabilitasi dan diaktifkan kembali selaku kepala daerah sampai akhir masa jabatannya.

Perintah KPK bukan tanpa alasan. Panggilan pertama KPK dalam status tersangka tidak diindahkan Puteh-meski panggilan kedua dipenuhi pada Rabu (14/7/2004)-yang menurut penasihat hukumnya, KPK tidak berwenang menetapkan seseorang menjadi tersangka. Hanya polisi selaku penyidik dan kejaksaan yang berwenang menetapkan seseorang dalam status tersangka. Bila mengacu KUHAP atas tindak pidana di luar korupsi, itu memang benar. Namun, khusus korupsi, KPK selaku penyidik (Pasal 46 Ayat 1 UU KPK) berwenang menetapkan seseorang sebagai tersangka.

Adakah sanksi bagi presiden yang tidak mengabulkan perintah KPK? UU KPK tidak mengatur sanksi bila seorang atasan mengabaikan perintah KPK. Inilah salah satu kelemahan perundang-undangan Indonesia yang tidak tegas bila berkait dengan kekuasaan. Yang jelas, wibawa presiden akan jatuh karena terkesan tidak serius memberantas korupsi bila terkait dengan pejabat negara. Megawati bisa kena sanksi sosial dari rakyat. Bila lolos ke putaran kedua pemilu presiden-wakil presiden 20 September 2004, ia akan sulit meraih dukungan dari pemilih rasional untuk menambah perolehan suara putaran pertama. Bahkan, pemilih yang memilihnya di putaran pertama bisa berpikir seribu kali mengulang pilihannya.

KASUS korupsi pertama yang ditangani KPK akan menjadi ujian berat bagi langkah berikut. Kasus ini menjadi tonggak pembentukan sejarah bagi KPK dalam upaya menumpas korupsi yang sudah begitu ruwet. Kasus ini tidak boleh tersendat seperti kasus korupsi lain, apalagi tidak sampai ke pengadilan atau KPK tidak mampu membuktikan kesalahan terdakwa yang akhirnya divonis bebas. Bila prosesnya tak berujung dan hilang begitu saja, maka akan kian memperkuat tudingan dunia luar bahwa Indonesia surga para koruptor.

Wewenang yang begitu besar diberikan UU kepada KPK daripada wewenang kepolisian dan kejaksaan dalam melakukan penyidikan dan penuntutan harus dipertanggungjawabkan. Tidak boleh ada keraguan di dalamnya. Itu sebabnya, KPK menurut Pasal 40 UU KPK tidak diberi wewenang menghentikan penyidikan dan penuntutan. Bila seseorang ditetapkan sebagai tersangka, kasusnya harus sampai pengadilan karena wewenang yang besar itu dianggap maksimal bagi KPK untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

Ada sembilan kewenangan dalam Pasal 12 UU KPK yang diberikan kepada KPK. Satu di antaranya adalah memerintahkan kepada atasan agar tersangka diberhentikan sementara dari jabatannya. Memerintahkan bank atau lembaga keuangan lain untuk memblokir rekening tersangka; meminta data kekayaan dan perpajakan tersangka pada instansi terkait (perpajakan); menghentikan sementara transaksi keuangan, perdagangan, dan perjanjian lain yang dilakukan tersangka; dan berbagai kewenangan lain.

Tidak ada alasan lagi bagi KPK untuk surut langkah, termasuk pemerintah, dengan mengabaikan sifat kejahatan korupsi yang merugikan orang banyak. Korupsi sebagai salah satu bentuk kejahatan kaum berdasi dengan korban yang tidak kentara tidak boleh dilepaskan dari maknanya sebagai bentuk pelanggaran kepercayaan yang diberikan rakyat. Perkara korupsi harus didahulukan pemeriksaannya dari perkara lain agar penyelesaiannya lebih cepat.

Menon-aktifkan sementara dari jabatan seorang tersangka akan mempercepat proses penyelesaian kasus korupsi. Hal ini pun ditegaskan Pasal 25 UU No 31/1999 yang diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya. Kita tidak ingin negeri ini terus dicap dunia luar sebagai surga bagi koruptor. Indonesia harus menjadi surga bagi kebenaran dan keadilan.

(Penulis adalah Marwan Mas, Analis dan Dosen Fakultas Hukum Universitas 45 Makassar; Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin

Tulisan ini diambil dari Kompas, 16 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan