Negara seperti Sangat Rapuh

Kasus dugaan mafia pajak yang melibatkan mantan pegawai pajak Gayus HP Tambunan menunjukkan sikap aparat penegak hukum di negeri ini yang mudah sekali dipengaruhi oleh uang. Penegakan hukum di negara ini seperti sangat rapuh.

Penilaian itu dikatakan mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, Kamis (20/1) di Kantor Konferensi Waligereja Indonesia Jakarta. ”Yang jelas, negara ini sudah di bawah Gayus karena begitu rapuhnya negara ini,” ujar Syafii Maarif.

Di tempat yang sama, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengakui, langkah pemerintah dalam menangani kasus Gayus itu lambat. Putusan yang diberikan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kepada Gayus, Rabu lalu, juga sangat rendah, hanya tujuh tahun penjara (Kompas, 20/1).

Din menyarankan agar penanganan kasus Gayus diselesaikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Nuansa korupsi pada kasus Gayus sangat kuat sehingga KPK harus mengambil alih. ”Namun, ketika saya usulkan masalah ini kepada Presiden, dia bilang kalau KPK diberi sesuai porsinya. Saya kecewa,” ucapnya.

Langkah ini, menurut dia, menunjukkan pemerintah tak tegas dalam menuntaskan kasus Gayus yang sudah merembet ke segala penjuru.

Koordinator Indonesia Corruption Watch Danang Widoyoko mengatakan, harapan publik untuk mengungkap kasus mafia pajak di balik perkara Gayus tinggal pada KPK. ”Rendahnya vonis terhadap Gayus bukan kesalahan hakim semata, melainkan kesalahan sejak proses penyidikan dan penuntutan yang belum menyentuh perusahaan-perusahaan lain. Satu-satunya harapan tinggal KPK,” katanya.

Advokat senior Bambang Widjojanto mengingatkan agar penegak hukum tidak hanya fokus kepada Gayus. ”Apakah Gayus main sendiri di pemeriksaan? Pasti dia punya teman. Pasti Gayus juga punya pimpinan. Ini pimpinannya Gayus terlibat atau tidak. Apakah kelakuan Gayus ini ada di dalam lembaga perpajakan atau hanya kelakuan personal Gayus dan temannya?” ujarnya.

Namun, Wakil Ketua KPK M Jasin di Jakarta, Kamis, mengatakan, KPK tetap mengumpulkan informasi tentang kasus Gayus. Namun, ada kendala sehingga KPK terkesan lambat.

”Pidana perpajakan bukan kewenangan KPK dan Gayus bukan penyelenggara negara. Karena itu, sedang ditelusuri keterkaitannya dengan penyelenggara negara,” katanya.

Sesuai dengan Pasal 2 Undang- Undang No 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, pegawai penelaah pajak dan banding, seperti Gayus, tak termasuk penyelenggara negara.

Akan tetapi, dengan segala keterbatasan itu, Ketua KPK Busyro Muqoddas menegaskan, KPK tengah mendalami aliran dana dari dan ke Gayus. KPK tidak terpengaruh vonis Gayus.

Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin menambahkan, KPK seharusnya turun tangan mengambil alih penanganan kasus mafia pajak. Pasalnya, kasus yang menjerat Gayus hanya pintu pertama untuk menguak mafia pajak yang lebih besar.

Lukman berharap, KPK bisa melihat kasus Gayus secara substansial dan komprehensif. KPK seharusnya menggunakan Undang-Undang Pencucian Uang untuk menjerat para mafia pajak sehingga bisa menggunakan pembuktian terbalik.

Inventarisasi keterangan
Secara terpisah, seusai rapat kabinet di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jaksa Agung Basrie Arief menyatakan, Kejaksaan menginventarisasi kesaksian Gayus setelah divonis di pengadilan. Kesaksian itu akan dijadikan salah satu dasar bagi Kejaksaan untuk menindaklanjuti pemeriksaan terhadap kasus mafia hukum dan mafia pajak Gayus.

Namun, Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo memastikan, Polri tetap berpegang pada kesaksian pertama Gayus, bukan yang disampaikan seusai pembacaan putusan, Rabu lalu.

Adapun tentang pemeriksaan 151 perusahaan wajib pajak yang pernah ditangani Gayus, Basrie mengatakan, hingga saat ini Kejaksaan masih menunggu hasil penelusuran dari Polri. Setelah hasil penyelidikan Polri selesai, baru disampaikan ke Kejaksaan.

Terkait pengusutan 151 perusahaan yang disinyalir ditangani Gayus, Polri menyatakan memfokuskan pada 44 perusahaan, terutama yang memenangi kasus pajak di Pengadilan Pajak.

Sementara itu, Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum yang semula akan memberikan laporan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Sidang Kabinet Paripurna, Kamis, akhirnya tidak jadi.

”Tak sempat sebab Pak Denny Indrayana (Sekretaris Satgas) ada talkshow sehingga diganti penjelasan oleh Kepala Polri,” kata Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng.

Di Kejaksaan Agung, Jaksa Agung Muda Pengawasan Marwan Effendy mengatakan, Kejagung juga tengah mempelajari pernyataan Gayus soal kaitan antara pengungkapan keterlibatan jaksa Cirus Sinaga dalam kasus Gayus dan hubungannya dengan kasus Antasari Azhar.

Jangan berhenti
Di Jakarta, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar, Priyo Budi Santoso, menyatakan, pengusutan kasus mafia pajak seharusnya tidak hanya berhenti pada kasus yang menjerat Gayus Tambunan. Penegak hukum juga harus mengusut dokumen 151 perusahaan lain yang juga diduga melakukan penggelapan pajak.

Terkait pernyataan Gayus soal Satgas, anggota Komisi III DPR, Bambang Soesatyo, mengatakan, sudah terbukti Satgas lebih memprioritaskan agenda politiknya serta bukan memerangi mafia hukum dan mafia pajak. ”Karena itu, sudah cukup alasan bagi Presiden untuk membubarkan Satgas,” ujar Bambang.

Menurut dia, bukti bahwa Satgas lebih memprioritaskan agenda politiknya terungkap dari pengakuan dan keluh kesah Gayus. Gayus mengeluh dan minta kasusnya tak dijadikan alat politik.

Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPR Romahurmuziy menilai, vonis terhadap Gayus adalah pelecehan terhadap Presiden. Sebab, vonis itu dikeluarkan hanya dua hari setelah Presiden mengeluarkan 12 instruksi guna mempercepat penuntasan kasus mafia hukum dan mafia pajak yang melibatkan Gayus.(aik/ano/NTA/NWO/FAJ/WHY/HAR)

Sumber: Kompas, 21 Januari 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan