Negara Gagal Mengelola Sumber Daya Alam!

Siaran Pers Bersama Seknas FITRA – ICW – ICEL

Konferensi Nasional Tata Kelola Hutan dan Lahan yang dihelat pada tanggal 17 – 19 Desember 2013 adalah hajat besar masyarakat sipil untuk mendorong perbaikan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Acara ini diikuti oleh 170 orang peserta yang juga menghadirkan narasumber seperti Mas Ahmad Santosa (UKP4 – RI), Ali Masykur Musa (BPK - RI), Eva Kusuma Sundari (BAKN DPR RI), Sudjanarko (PJKAKI – KPK RI), Komariah Emong (Mantan Hakim Agung), Prof Ahmad Erani Yustika, Prof. Hariadi Kartodiharjo (Akademisi). Pada acara penutupan yang dikemas dengan Orasi Anti Mafia Hutan dan Lahan juga dihadiri oleh Teten Masduki, Sandra Moniaga (Komnas HAM), Hetifah Saifudin (DPR RI), Abetnego Tarigan (WALHI), Usman Hamid (change.org) dan Oppie Andaresta (Musisi).

Kegiatan ini bertema “Memperkuat Gerakan Sosial dalam Akselerasi Perbaikan Tata Kelola Hutan dan Lahan”. Tema ini diambil karena masyarakat sipil menganggap pemerintah telah gagal melakukan pengelolaan sumberdaya alam yang menimbulkan kerugian Negara yang sangat besar dalam satu decade terakhir.

Kegagalan negara dalam mengelola sumber daya alam tersebut ditengarai dengan adanya gejala-gejala sebagai berikut:

KEBIJAKAN ANGGARAN MEMICU EKSPLOITASI SUMBER DAYA ALAM
Berdasarkan hasil kajian FITRA terhadap APBN dan APBD tahun 2009 – 2012 ditemukan bahwa Kebijakan Anggaran yang salah menjadi pemicu terhadap kerusakan lingkungan hidup. Kebijakan penerimaan Negara memiliki semangat yang besar untuk mengeksploitasi hutan dan tambang melalui skema Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Adapun redistribusi anggaran melalui kebijakan belanja Negara hanya mengalokasikan 1 persen untuk fungsi lingkungan hidup yang mengindikasikan bahwa pemerintah sengaja mengabaikan resiko kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktifitas industry kehutanan dan pertambangan.

  • Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang sebagian besar bersumber dari aktivitas eksploitasi sumber daya alam menanggung 27 persen dari beban Belanja Negara.
  • Penerimaan Negara dari sektor kehutanan hanya berkontribusi sebesar 2,5 persen terhadap PNBP, tetapi kerusakan hutan yang ditimbulkan setiap tahun adalah seluas 1,5 juta hektar. Hal ini menunjukkan adanya kerugian yang cukup besar akibat buruknya pengelolaan sumber pendaspatan Negara oleh pemerintah
  • Ironisnya kebijakan belanja negara dan belanja daerah untuk melakukan perbaikan tata kelola hutan dan lahan hanya mendapatkan alokasi rata-rata 1 persen, yang menunjukkan bahwa pemerintah hanya berniat untuk MENGURAS ALAM, tapi tidak bertanggung jawab untuk memperbaiki.

SUMBER DAYA ALAM JADI LAHAN KORUPSI DAN PENDANAAN POLITIK
Indonesia Corruption Watch pada tahun 2013 melakukan Penelitian Patronase Politik-Bisnis Alih Fungsi Lahan:  Studi Kasus di Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur dan Ketapang Kalimantan Barat. Dari penelitian tersebut ditemukan fakta menarik bahwa di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur dan di Kabupaten Ketapang, Kalimantan  Barat, elit politik mengandalkan pendanaan pada industri yang terkait alih fungsi lahan. Aktor utamanya diduga melibatkan kepala daerah. Salah satu sumber uang atau dana politik adalah uang pelicin atau suap dalam pengurusan perizinan untuk usaha perkebunan dan atau pertambangan. Untuk mendapatkan  konsesi dibutuhkan cukup banyak perizinan dan untuk  mendapatkan setiap izin, diperlukan biaya  yang tidak sedikit.

Pada sisi lain korupsi yang terjadi disektor SDA juga masih marak terjadi disejumlah daerah. ICW bersama Koalisi Anti Mafia Hutan melakukan investigasi terhadap 5 kasus korupsi di SDA pada 3 provinsi yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan. Korupsi pada sektor sumber daya alam tesebut yang terbagi atas ; Dugaan Korupsi PTPN VII (cinta manis) di Sumatera Selatan; Dugaan korupsi Pemberian IUPHHK - HTI di kawasan Hutan Rawa Gambut Merang – Kepayang, Dugaan gratifikasi proses penerbitan izin usaha pertambangan di Kota Samarinda; Dugaan korupsi Alih Fungsi Kawasan Hutan Lindung menjadi Perkebunan Sawit Di Kabupaten Kapuas Hulu; dan Dugaan korupsi penerbitan izin IUPHHK-HTI PT di Kalimantan Barat.

Dari lima kasus tersebut sekurangnya terjadi potensi kerugian negara mencapai Rp 1.92 Triliun. Dari 5 kasus tersebut ditemukan 1 kasus bermodus dugaan suap, dengan besaran 4 miliar dan tercatat 16 aktor yang terindikasi terlibat dengan latar belakang sebagai berikut: Menteri/mantan menteri (3 orang), Kepala Daerah/mantan Kepala daerah (5 orang), pejabat kementrian (1 orang), pejabat dilingkungan Pemerintah Daerah (1 orang)  dan direktur perusahaan (6 orang).

KETERTUTUPAN INFORMASI MERUSAK TATA KELOLA HUTAN DAN LAHAN
Berdsarkan temuan ICEL melalui hasil studi IKHL (Indeks Kelola Hutan dan Lahan) di 9 Kabupaten pengelolaan hutan dan lahan saat ini masih dibayangi ketertutupan. Dampaknya akses publik untuk terlibat dalam perumusan kebijakan dan pengelolaan termarginalkan. Kebijakan yang dibuat pun minim akuntabilitas, sementara itu masyarakat tidak dapat melakukan kontrol sebab ketertutupan menghambat pengawasan oleh publik. Transparani hanya mendapatkan angka terendah dalam IKHL sebesar 11,36 dari skala 100. Angka ini merepresentasikan sulitnya masyarakat mengakses dokumen yang relevan dengan pengelolaan hutan dan lahan, tertutupnya informasi berkaitan dengan proses pengambilan kebijakan, dan ketiadaan infrastruktur kelembagaan yang mendukung keterbukaan informasi publik. Konsekuensinya, pengelolaan hutan dan lahan minim partisipasi serta menutup peluang publik untuk melakukan pengawasan. Skor partisipasi yang rendah sebesar 15,55 serta skor akuntabilitas sebesar 18,14 mengkonfirmasi hal tersebut.  

Meruntuhkan rezim ketertutupan dalam pengelolaan hutan dan lahan karenanya menjadi agenda penting untuk mendorong perbaikan dalam tata kelola hutan dan lahan. Transparansi adalah sebuah conditio sine qua non, prasyarat yang tidak boleh diabaikan oleh pemerintah dan harus diwujudkan dalam langkah-langkah konkret sesegera mungkin. Hanya dengan keterbukaan pemerintah dapat mendorong perbaikan tata kelola, dan hanya dengan tata kelola yang baik semua inisiatif penurunan emisi gas rumah kaca dari pencegahan deforestasi dan degradasi hutan dapat berjalan sesuai dengan harapan.

Oleh karena itu, atas nama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tata Kelola Hutan dan Lahan menyampaikan rekomendasi sebagai berikut:

  • Pemerintah harus mampu meningkatkan rasio pajak menjadi minimal 14 persen dari Produk Dimestik Bruto (PDB) agar tidak lagi melakukan eksploitasi sumberdaya alam sebagai sumber utama penerimaan Negara bukan pajak
  • Penegak hukum, khususnya KPK, harus memberikan perhatian pada sektor SDA khususnya pada proses alih fungsi lahan dan tender konsesi pertambangan. Maraknya praktik korupsi dalam proses perizinan membuat target pemerintah untuk mengurangi emisi pada tahun 2020 kelak terancam tidak tercapai. Penegakan hukum harus segera dilakukan karena sudah banyak informasi tentang korupsi dalam alih fungsi lahan. KPK harus menjadikan sektor SDA sebagai fokus pemberantasan korupsi baik dari aspek pencegahan maupun penindakan
  • Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berkewajiban untuk membuka akses informasi kepada masyarakat agar tata kelola hutan dan lahan kualitasnya dapat ditingkatkan

 
Jakarta, 19 Desember 2013

Hadi Prayitno – FITRA (081949653162) | Danang Widoyoko – ICW (08176050373) | Yustisia Rahman – ICEL (085697250540)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan