Negara Gagal Berikan Efek Jera Koruptor

Jakarta, antikorupsi.org - Pemerintah semakin loyo kinerjanya dalam memberantas korupsi. Hal ini dibuktikan dengan obral remisi besar-besar kepada 1.938 narapidana korupsi dalam momentum peringatan kemerdekaan 17 Agustus 2015 dan remisi dasawarsa 2015.

Seperti data yang dikutip dari okezone.com, bahwa dari jumlah narapidana korupsi yang mencapai 2.802 orang, 517 orang telah mendapatkan remisi dengan ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) No 28 Tahun 2006 dan 1.421 orang mendapatkan remisi dengan ketentuan PP No 99 Tahun 2012. Sisanya 848 koruptor masih dilakukan pendalaman pemberian remisi menurut perundang-undangan lainnya, sedangkan 16 orang terpidana tipikor telah ditolak.

Staf Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter, menyatakan bahwa berbicara penjeraan narapidana korupsi dan pelaku korupsi sama saja dengan keseluruhan penanganan korupsi. Artinya mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, sampai pada proses pemasyarakatan.

Selama ini, pemerintah berlindung di bawah berbagai alasan dalam memberikan remisi kepada terpidana korupsi, seperti misalnya telah over kapasitasnya lembaga pemasyarakatan. Jelas hal tersebut tidaklah relevan, karena jumlah narapidana korupsi tidaklah lebih banyak dari terpidana kasus lainnya.

Jika ditarik ke belakang, toh fenomena ‘sel mewah’ sampai saat ini juga masih terjadi. Kalaupun dengan alasan over kapasitas serta mau mengurangi budget negara, guna berkonsentrasi dalam pembenahan pendanaan negara agar tidak boros ke sektor pemasyarakatan. Caranya tentu bukan dengan gampang memberikan remisi, tapi memperbaiki tata kelola lembaga pemasyarakatan.

Dalam hal ini, pemerintah harus memberikan jaminan dan pengawasan yang ketat, sehingga masyarakat merasa tidak ditipu. Ketika seorang terpidana kasus korupsi masuk ke hotel prodeo, seharusnya tidak ada treatment yang istimewa, sekalipun misalnya narapidana yang bersangkutan mampu membayar.

Melihat tren vonis korupsi semester I tahun 2015, rata-rata putusan pidana hanya 2 tahun 1 bulan. Rendahnya putusan pidana tidak terlepas dari jatah remisi yang diterima terpidana korupsi. Jika mereka bisa menerima empat kali jatah remisi seperti remisi Hari Raya Idul Fitri, remisi 17 Agustus, remisi tahun baru, dan remisi lainnya dengan rata-rata pengurangan hukuman 1 sampai 2 bulan. Bisa dibayangkan akan sangat mungkin seorang terpidana korupsi tidak menjalani separuh vonis pidana yang diterima di dalam proses persidangan.

Dari sisi peradilan disparitas hukuman masih terus terjadi saat ini. Disparitas terjadi karena kerugian yang ditimbulkan cukup berbeda namun hukuman yang diberikan sama. Sebaliknya, ada juga hukuman yang berbeda meski kerugian yang ditimbulkan nyaris sama. Hal ini disebabkan tidak adanya pedoman pemidanaan di lingkungan pengadilan. Baik pedoman untuk hakim ketika menjatuhkan vonis hukuman maupun pedoman tuntutan bagi jaksa dalam memberikan dakwaan.

Inilah potret komitmen pemerintahan Joko Widodo yang katanya akan melakukan pemberantasan korupsi secara lebih masif. Hal ini menjadi pertanyaan bagi publik, apakah benar pemerintah menganggap korupsi sebagai tindak pidana luar biasa atau kejahatan biasa? (Ayu-Abid)

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan