Negara dalam Jaringan Mafia

MAFIA-dominated states. Istilah ini digunakan Susan Rose-Ackerman (1999) untuk menggambarkan keberadaan negara yang tak bisa berdaya lantaran berada di bawah kendali jaringan mafia. Pihak penyelenggara negara memperoleh bagian dari hasil kerja mafia itu sehingga tidak memiliki kepentingan untuk mengendalikan berbagai pengaruh kejahatan yang terorganisasi itu.

Praktik mafia, akibatnya, berlangsung aman-aman saja dan berkelanjutan, karena secara langsung maupun tidak langsung memperoleh perlindungan dari pihak penguasa negara.

Tampaknya, istilah itu juga yang tepat untuk menjelaskan kondisi Indonesia dengan kian banyaknya terungkap berbagai praktik kejahatan terorganisasi dalam pengelolaan negara ini yang dilakukan atau melibatkan jajaran eksekutif, di legislatif, kerja sama di antara keduanya, dan termasuk melibatkan orang-orang luar.

Indikasi beroperasinya jaringan mafia itu antara lain ditunjukkan dengan secara perlahan mulai tersingkapnya mafia peradilan yang sekaligus dicurigai melibatkan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, kasus calo anggaran di DPR dengan dalih memperjuangkan perolehan/tambahan anggaran untuk daerah yang kini tengah dicoba ditelusuri bahkan telah dimintakan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusutnya secara tuntutas, terungkapnya kasus penyeludupan BBM yang diduga melibatkan para pejabat di lingkungan BUMN itu dan diperkirakan merugikan negara hampir sembilan triliun per tahun, dan kasus illegal logging yang kecuali menghancurkan hutan juga merugikan negara dengan melibatkan para oknum pejabat terkait (termasuk oknum aparat keamanan).

Praktik mafia yang ada dalam birokrasi dan lembaga penyelenggara negara seperti itu, kalau mau jujur diakui, sudah berlangsung cukup lama. Para pelakunya adalah mereka terdiri dari pihak dalam lembaga/institusi itu dengan pihak luar, baik sesama aparat ataupun pejabat pemerintahan (termasuk di legislatif dan jajaran yudikatif) maupun dengan pihak swasta yang berbisnis dalam bidang terkait, termasuk broker-broker perorangan. Misalnya, dalam kasus percaloan anggaran di DPR, pastilah yang terlibat adalah oknum anggota DPR yang berhubungan dengan pejabat pemerintah daerah dan instansi yang terkait di Jakarta termasuk pihak Departemen Keuangan. Semua atau di antara pelaku kejahatan itu niscaya sudah saling mengetahui dan saling pengertian. Kalaupun ada oknum pejabat baru (seperti kepala daerah yang baru saja terpilih) yang berupaya masuk dalam jaringan mafia itu, sudah pastilah tak akan memiliki kesulitan, karena akan ada saja yang berupaya untuk menunjukkan jalan ke arah itu.

Keberadaan mafia seperti itu memang seakan-akan terasakan ironis, bahkan boleh jadi dianggap sebagai bagian dari gagalnya semua elemen bangsa ini dalam mengawal dan mewujudkan agenda reformasi. Kita semua tahu bahwa salah satu tuntutan utama reformasi adalah melakukan pemberantasan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).

Pergantian pimpinan bangsa ini dari rezim otoriter Soeharto ke sistem yang lebih demokratis, dalam konteks ini, sebenarnya diharapkan bisa menjadi proses yang bersamaan dengan upaya mewujudkan agenda utama reformasi itu. Memang sekarang ini kita pun patut berbangga dengan keberadaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang hampir setiap kesempatan berbicara di publik selalu mewacanakan pemberantasan korupsi, termasuk di dalamnya tentu saja terkait dengan upaya pemotongan atau penghilangan jejaring mafia dalam pemerintahan itu.

Pertanyaannya kemudian, mengapa praktik mafia toh masih terus berlangsung seolah-olah apa yang diungkapkan SBY tak berarti apa-apa? Hemat saya, setidaknya ada dua penjelasan yang saling terkait terhadap hal ini. Pertama, adanya jaringan yang sudah mapan dan solid di antara para pelakunya. Presiden dan jajaran kabinetnya bisa berganti, tetapi perilaku birokrasi yang dipengaruhi oleh kebiasaan para aktor di internnya masih belum berubah, karena mereka masih tetap menikmati atau mau menikmati kebiasaan warisan yang menguntungkan secara materi, kendati dengan cara-cara yang tidak halal.

Andai pun seorang menteri punya niat baik untuk melakukan perubahan ke arah terciptanya budaya birokrasi yang bersih, tetapi niat itu akan selalu terbentur oleh perilaku birokrasi di internnya. Soalnya orang-orang dalamnya masih itu-itu saja, dengan jaringan mereka yang sudah sangat saling memahami. Karena itu tak perlu heran kalau tender-tender proyek di intern instansi pemerintahan yang belum lama ini dan atau sedang berlangsung sekarang ini tak bisa menghindari masih bekerjanya jaringan mafia proyek.

Kedua, kalaupun terjadi pergantian, mulai dari menteri, gubernur, bupati/wali kota, hingga jajaran eselon di intern instansi mereka itu, bukan berarti semuanya memiliki niat baik untuk memberantas mafia. Bahkan pada tingkat tertentu memanfaatkan kesempatan menduduki jabatan itu untuk ikut larut dalam arus atau jaringan mafia yang sudah mapan. Para pendatang baru yang menggantikan posisi-posisi lama barangkali juga berkata dalam hati: dulu Anda berkuasa dan menikmati segala fasilitas yang ada, sekarang giliran kami yang menggantikan (suatu sikap balas dendam) dengan niatan untuk memperoleh materi dengan memanfaatkan jaringan mafia yang sudah ada dan mapan itu, atau sekalian membangun jaringan mafia baru dengan modus operandi yang sama seperti sebelumnya. Semua ini menunjukkan masih sulitnya mendapatkan para pemimpin atau pejabat yang benar-benar memiliki integritas dalam mengisi formasi di birokrasi pemerintahan.

Kondisi seperti itu tentu saja juga terjadi di jajaran penegak hukum di era SBY sekarang ini. Kendati di wilayah yang paling menentukan ini pimpinannya sudah ditempatkan oleh SBY dua orang kunci yang dikenal memiliki integritas tinggi, yakni Jaksa Agung Abdurrahman Saleh dan Kapolri Jenderal Sutanto, namun bukan berarti jajaran di bawahnya sudah mampu atau berhasil dibersihkan jaringan mafianya.

Apalagi pada tingkat daerah, kalau sudah terjadi konspirasi untuk saling mengamankan dan memberi keberuntungan materi antara pihak eksekutif (pemda) dengan kepolisian dan kejaksaan, maka kejahatan penggerogotan uang negara berapa pun jumlahnya, atau penyelewengan apa pun yang dilakukan oleh pihak-pihak yang hendak diamankan, niscaya akan sulit untuk diungkap ke publik.

Akibatnya, tidak perlu heran kalau hanya sangat sedikit kasus penyimpangan anggaran atau penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi di daerah terungkap ke publik dan ditindaklanjuti secara serius oleh para penegak hukum. Soalnya, sang pimpinan yang memiliki integritas itu sedang duduk di kursi empuk di Jakarta, sementara para mafia di bawahnya masih tetap leluasa beroperasi, jauh dari sentuhan untuk dibersihkan.

Barangkali memang Presiden SBY saat ini masih dalam tahapan upaya memberantas jaringan mafia itu. Tetapi siapa yang bisa meyakini suatu langkah atau agenda operasional pemberantasan mafia kalau tidak secara baik ditopang oleh instrumen yang ampuh untuk segera mewujudkan itu. Soalnya, dan inilah kesulitan utama selama setahun pertama pemerintahannya, SBY sangat miskin dengan pembantu yang bisa langsung mengeksekusi mulai dari Jakarta hingga ke daerah-daerah. Padahal kalau kondisi seperti ini terus berlangsung, bukan mustahil suatu ketika SBY akan dikatakan sebagai 'Presiden yang kakinya tak menyentuh bumi'. Karena itu, sekali lagi, tak perlu heran kalau jaringan mafia akan tetap menguasai negara ini.

* Laode Ida Wakil Ketua DPD

Tulisan ini disalin dari Media Indonesia, 11 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan