Nawacita Tak Bertuan

Salah satu daya pikat pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla saat kampanye pemilu presiden lalu adalah janji mereka membangun Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan memiliki pribadi yang kuat sebagai bangsa.

Janji kampanye itu dikemas dalam dokumen setebal 24 halaman dengan nama Nawacita atau sembilan cita-cita utama. Salah satu program aksi utamanya adalah penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

Disebutkan lebih lanjut, salah satu masalah utama bangsa Indonesia yang menghambat kemajuan adalah wibawa negara yang rendah karena tidak mampu menegakkan hukum. Tulisan ini coba mengkritisi spirit dari program aksi Nawacita pada sektor penegakan hukum dan pemberantasan korupsi dengan mengacu pada kenyataan politik-hukum yang ada.

Tentu saja, melakukan kritik atas program aksi jangka panjang Nawacita pada saat pemerintahan berkuasa baru berjalan dalam hitungan bulan bisa dianggap tidak adil. Namun, strategi pengelolaan kekuasaan, kualitas kepemimpinan, dan keberanian Presiden dan Wakil Presiden terpilih selama periode berkuasanya dapat menjadi patokan akan ke mana nasib penegakan hukum dan pemberantasan korupsi berakhir, apakah akan kembali mundur beberapa langkah, bertahan, ataukah melesat jauh untuk merealisasikan mimpi Nawacita itu.

Rapuhnya kuasa Presiden
Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial seperti di Indonesia idealnya memiliki kekuasaan besar untuk mengendalikan, mengontrol, dan menggerakkan semua sumber daya yang ada untuk menggapai tujuan. Namun, kenyataan politik sering mengecohnya.

Jokowi dalam periode awal pemerintahan tampak gagap menggunakan otoritas yang dimilikinya, terganggu oleh berbagai manuver politik lingkarannya sendiri, dan terbelenggu jejaring kepentingan ekonomi-politik yang tersambung dengan kepentingan elite penegak hukum. Akibatnya, salah satu lembaga negara yang lahir dari semangat reformasi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lumpuh dalam hitungan bulan sejak Jokowi berkuasa.

Para pendukung KPK pun satu per satu mengalami situasi yang paling pahit, di era di mana publik semestinya dapat berharap lebih kepada Jokowi-Kalla daripada penguasa sebelumnya.

Penegakan hukum yang saat ini tengah berjalan tampak seperti zombie yang tidak memiliki jiwa, terutama jiwa keadilan. Motif politis lebih kental mengendalikan aksi penegakan hukum dibandingkan dengan cita-cita luhur untuk memastikan hadirnya negara dalam memberikan perlindungan dan rasa aman bagi warganya.

Teror oleh negara dalam bentuk kesewenang-wenangan penegak hukum untuk membungkam daya kritis publik dalam melawan korupsi dan melumpuhkan berbagai institusi kuasi negara yang menjadi ciri utama dari negara demokrasi modern justru dilakukan atas nama penegakan hukum. Modus operandi yang digunakan secara logis dapat dicerna dengan mudah oleh masyarakat awam sekalipun.

Membabi buta
Merencanakan aksi penegakkan hukum dengan membabi buta melalui berbagai elemen pendukung yang mendapat akses luas untuk melaporkan pihak-pihak yang disasar demi pembalasan dendam berjalan dengan sangat rapi dan leluasa.

Titah Jokowi untuk menghentikan semua bentuk kriminalisasi tak mampu menembus telinga dan nurani penegak hukum. Sebab, pada saat yang sama, suara Presiden dan wakilnya tidak pada frekuensi yang sama.

Dalam politik Indonesia, banyak anomali terjadi. Presiden, karena bukan ketua umum partai politik, tak sanggup mengendalikan partainya sendiri. Alih-alih memberikan dukungan politik, justru partai yang mengusung Jokowi menjadi presiden menggembosi dan menggerogoti wibawa Presiden dengan pemicu sederhana: karena "gula-gula" yang diminta tak diberikan.

Presiden yang bukan ketua umum parpol, setinggi apa pun derajat dan kekuasaannya, tetap petugas partai. Pada saat yang sama, ada titik temu kepentingan karena elite partai, pengacara kotor, pengusaha korup, dan elite penegak hukum yang selama ini menikmati kekuasaan dan hidup senang dalam sistem yang korup harus diadili oleh KPK.

Mereka sadar bahwa KPK adalah kekuasaan lain yang dapat mengancam keberlangsungan sistem kemaruk yang sering disebut oligarki. Dalam realitas politik seperti ini, masih dapatkah kita bermimpi untuk mewujudkan koalisi politik tanpa bagi-bagi kursi?

Sepertinya ide untuk memisahkan jabatan politik dengan jabatan publik untuk menghindari konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan belum dapat berjalan dalam konteks Indonesia. Untuk bisa berkuasa dan kuat, seorang presiden tampaknya perlu secara langsung mengendalikan partai.

SBY versus Jokowi
Refleksinya ada pada mantan Presiden SBY dan Jokowi sekarang. Mereka berdua memiliki masalah yang hampir sama dalam isu penegakan hukum. Pada era SBY, kriminalisasi terhadap KPK terjadi, tetapi tidak sampai merembet hingga kepada para pendukungnya.

Kekuasaan SBY yang berlapis, yakni sebagai Presiden sekaligus Ketua Umum Partai Demokrat, memberinya ruang yang lebih besar untuk menyelesaikan kriminalisasi dengan lebih cepat. Sebab, pada saat yang sama, kursi Demokrat di parlemen juga cukup besar sehingga dapat mengamankan keputusan yang diambilnya.

Jokowi berada pada situasi yang berbeda. Ia bukan Ketua Umum PDI-P. Komposisi kekuasaan di parlemen relatif lebih berat bobotnya sebagai oposisi kepada dirinya, meskipun bukan sesuatu yang permanen, sehingga memberikan beban dan tekanan yang lebih besar.

Kemampuan, kemahiran, dan kematangan dalam politik pada akhirnya akan menentukan bagaimana negosiasi politik terbangun, khususnya demi kepentingan publik yang luas.

Masyarakat tentu tidak mau tahu apa yang menjadi hambatan Presiden dalam mengusung agenda perubahan. Masyarakat hanya tahu bahwa sebagian besar dari mereka, karena semangat kerelawanannya yang tinggi, telah mengantarkan Jokowi sebagai presiden.

Wujudkan Nawacita
Tugas selanjutnya berada sepenuhnya di tangan Presiden untuk mewujudkan Nawacita sebagai program aksi yang memukau banyak pemilih. Ketika KPK dan para pendukungnya dikriminalisasi, tentu sulit bagi siapa pun untuk tidak mengarahkan telunjuk kepada Presiden sebagai aktor yang paling bertanggung jawab menghentikannya. Hal ini perlu kita kembalikan pada aksioma bahwa Presiden adalah penguasa tertinggi di republik ini.

Realitas politik nasional dengan berbagai cabang kekuasaan yang telah membangun jejaring oligarki adalah masalah pokok bangsa ini menuju perubahan. Hal ini yang luput diidentifikasi dalam Nawacita.

Absennya negara untuk melindungi warganya, lemahnya sendi perekonomian bangsa, dan krisis kepribadian bangsa adalah akibat dari pengelolaan kekuasaan negara yang hanya berpusat pada kepentingan segelintir orang, yang menemukan titik temu dengan kepentingan pemodal.

Saat ini, bisa dikatakan bahwa satu-satunya yang dimiliki Presiden adalah dukungan publik yang relatif masih kuat. Jokowi tampaknya perlu menggerakkan lagi semangat kerja relawan dan berbagai elemen pendukungnya yang tidak berharap imbal jasa dengan memberikan ruang komunikasi politik yang lebih intens dengan mereka sekaligus bersikap lebih terbuka atas apa yang dihadapinya.

Jati diri Jokowi ada pada mereka yang tertindas, dimiskinkan, dianiaya, dan dikriminalisasi, bukan pada elite politik-bisnis yang berselingkuh dengan aparat penegak hukum.

Nasib Nawacita dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi tentu saja akan banyak ditentukan oleh sikap Jokowi sebagai presiden. Publik tentu ingin melihat bahwa Nawacita memiliki harapan untuk tetap hidup.

Adnan Topan Husodo, Koordinator ICW
----------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 April 2015, di halaman 7 dengan judul "Nawacita Tak Bertuan".

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan