Nasionalisme Pemberantasan Korupsi

Langkah pemerintah untuk memberantas korupsi selam 30 tahun sejak kemerdekaan mendadak terhenti sejenak dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 069/PUU-II/2004, pada 15 Februari 2005. Banyak pihak menyesalkan isi putusan yang memberikan pendapat bahwa KPTPK tidak dapat mengambil alih kasus korupsi yang terjadi sebelum terbentuknya KPTPK (tanggal 27 Desember 2002) akan tetapi hanya berwenang mengambil alih kasus korupsi sejak 27 Desember 2003 (sesuai Pasal 70 UU No 30 Tahun 2002) sampai 27 Desember 2002 (sesuai Pasal 72 UU No 30 Tahun 2002). Putusan MK adalah bersifat final dan mengikat sehingga tidak ada upaya hukum lagi untuk menggugat putusan itu sekalipun secara substansial inkonsisten, menimbulkan ketidakpastian hukum, bahkan juga bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat luas.

Oleh :
Begitu sangat berkuasa MK sehingga kesembilan anggota hakimnya merupakan ''malaikat'' penentu nasib bangsa dan NKRI. Di tengah kegamangan masyarakat tentang asas nonretroaktif, kita patut memberikan apresiasi terhadap ketua Mahkamah Agung yang telah memberikan pernyataan bahwa asas tersebut dapat diterobos sepanjang untuk menegakkan keadilan. Pernyataan progresif ini merupakan angin segar dan sinyal kepada KPTPK untuk tidak berhenti menangani kasus korupsi yang tidak diselesaikan sebelum terbentuknya KPTPK.

Seyogyanya pernyataan itu ditanggapi positif oleh seluruh jajaran pengadilan khusus yang menangani perkara korupsi. Pernyataan ini juga memberikan harapan kuat dalam upaya menegakkan keadilan sekalipun harus diberlakukan surut suatu UU khususnya dalam pemberantasan korupsi. Konstitusi yang dijadikan landasan MK untuk berpijak, dan lemah atau kuatnya MK berpijak sangat tergantung dari pengetahuan, pengalaman, dan kedewasaan dalam menampung, mengolah, dan memilah sejauh manakah pertentangan antara substansi suatu UU dengan semangat, jiwa, dan substansi UUD 45 dan perubahannya, serta menemukan justifikasi baik secara filosofis, yuridis, dan sosiologis yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari karakteristik dan jati diri bangsa Indonesia sebagai one nation.

Pendekatan komprehensif
Posisi MK sedemikian sudah tentu sangat berat bahkan sangat lebih berat dari posisi Mahkamah Agung (MA). Boleh disebut posisi MK sebagai supra national court atau mahkamah tertinggi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Posisi MK sebagai demikian seharusnya memiliki pendekatan hukum yang bersifat komprehensif, progresif, dan strategis dalam menentukan arah dan perkembangan hukum di Indonesia ke depan dengan satu prakondisi bahwa NKRI dan bangsa Indonesia berada dalam posisi sebagai negara hukum, secara ekonomis merupakan negara miskin, dan secara politis sebagai negara Dunia Ketiga. Pendekatan komprehensif adalah mencermati dan mempertimbangkan seluruh Pembukaan UUD 1945 dan Penjelasannya dan kaitan dampak kasus-kasus yang dihadapi terhadap sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam konteks ini sesungguhnya asas legalitas bukanlah satu-satunya asas hukum primat yang dijadikan landasan berpijak MK. MK harusnya menjadi the guardian of the nation, bukan hanya the guardian of the Constitution apalagi the guardian of the articles. Masih dianutnya asas keadilan dan kemanfaatan dari fungsi dan sekaligus menjadi tujuan untuk apa hukum itu dibentuk, sudah diakui pula secara universal memiliki kesederajatan dengan asas legalitas itu sendiri.

Dalam kaitan ini seharusnya MK memahami bahwa dalam pengujian UU terhadap UUD tidak boleh dianut pendekatan satu asas hukum saja (kepastian hukum) melainkan juga harus mempertimbangkan asas-asas hukum lainnya (keadilan dan kemanfaatan). Apalagi sudah diketahui bahwa asas legalitas murni sudah tidak dianut secara absolut dalam sejarah perkembangan hukum (pidana) di dunia; terhadap berbagai kasus kejahatan yang merupakan kejahatan dan ancaman terhadap kemanusiaan, perdamaian, dan keamanan masyarakat internasional, penerapan asas ini telah dikecualikan.

Secara esensial dari sudut hukum internasional, setiap negara dan bangsa memiliki kedaulatan atas kehidupan negara dan bangsanya sekalipun harus membatasi hak-hak asasi warganya ataupun bahkan menghilangkan hak hidup seseorang warganya sepanjang ketentuan tersebut diatur dalam UU. Suatu UU adalah produk politik yaitu sebagai hasil dari wujud kesepakatan pemerintah dan DPR untuk memelihara ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat dan bangsanya. Tidak boleh ada sedikitpun campur tangan atau intervensi dari negara lain atau bangsa lain terhadap kedaulatan suatu negara.

Adagium bahwa runtuhnya asas legalitas merupakan keruntuhan suatu negara hukum hanyalah merupakan mitos semata-mata yang dibangun untuk memperkuat cengkraman pandangan (ideologi) individualistik dan memperluas pengaruhnya ke dalam kehidupan bangsa dan negara yang secara historis menganut paham kolektivisme, termasuk bangsa dan negara Indonesia sendiri. Jati bangsa Indonesia berada dan terletak pada pandangan kolektivisme itu, bukan pada individualisme.

Dalam konteks negara (kebangsaan) maka ideologi kolektivisme adalah kekuatan untuk seluruh warga memahami dan merasakan menjadi menjadi ''satu bangsa''. Seharusnya ideologi dan jati diri bangsa inilah yang dianut dan didalami oleh seluruh elemen warga bangsa Indonesia termasuk yang bertugas di eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tidak terkecuali hakim majelis MK. Dalam konteks penegakan hukum dalam arti luas termasuk upaya pengujian peraturan perundang-undangan terhadap UUD maka paham kolektivisme bangsa Indonesia dalam masa transisi memasuki kehidupan global seharusnya menjadi landasan ideologi untuk berpijak di samping landasan konsititusional.

Diawali nasionalisme
Pemberantasan korupsi yang sudah berlangsung lebih dari 30 tahun dalam konteks langkah dan upaya bangsa Indonesia keluar dari kemiskinan jelas merupakan misi bangsa dan sekaligus mencerminkan ideologi kolektivisme. Kaum kapitalis yang menganut individualisme tidak berkepentingan pada kemiskinan melainkan hanya berkepentingan dan bertujuan mempertahankan dan memelihara akumulasi kekayaan pada segelintir kelompok orang yang disebut konglomerat dunia atau transnational corporation (TNC). Pengamat pakar politik internasional melihat bahwa misi TNC adalah mengeruk sebanyak-banyaknya kekayaan alam negara Dunia Ketiga dengan keuntungan yang bersifat multivalues dan signifikan bagi kelompoknya dengan melemahkan aktivitas produktivitas nasional. Di dalam referensi globalisasi sering disebut sebagai predatory globalization (Falk, 1999; Gelinas, 2000).

Dalam kaitan ini maka strategi nasional pemberantasan korupsi secara tidak langsung termasuk juga mencegah sekuat-kuatnya intervensi dan dampak konglomerasi global. Keberhasilan pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia merupakan modal awal yang strategis, dan berdampak terhadap awal kebangkitan ekonomi nasional dan kepercayaan sebagai one nation. Kebangkitan nasional merupakan kekuatan besar yang tidak terkirakan (menakutkan) bagi bangsa-bangsa penganut paham individualisme, baik secara geopolitik, geoekonomi, maupun secara kultural, dan hukum.

Keberhasilan pemberantasan korupsi di Indonesia mencegah kekuatan asing berpaham individualisme memasuki wilayah hukum, sosial, politik, dan budaya kehidupan bangsa Indonesia. Jika selama bertahun-tahun Indonesia telah menjadi stigma sebagai negara terkorup se-Asia dan nomor tiga terkorup sedunia, maka kebangkitan nasional (bukan hanya dari seorang presiden) untuk memerangi korupsi harus dimulai dengan menemukan jati diri bangsa yang mengedepankan ideologi kolektivisme itu, bukan terhanyut ke dalam persepsi indeks yang disusun dan dilontarkan oleh penganut paham individualistik yang sudah terbukti sering menganut standar ganda dalam peta politik internasional.

Standar ganda akan terjadi di dalam bidang investasi asing di dalam negeri. Kekuatan penganut paham neoliberalisme akan memaksa pemerintah Dunia Ketiga untuk mengeluarkan perundang-undangan yang memasung hak-hak sosial, hak ekonomi, dan hak politik rakyat demi menyelamatkan kepentingan konglomerasi global yang melakukan aktivitas di negara itu. Berkaitan dengan hal ini, maka pencabutan larangan kepemilikan saham 100 persen oleh orang asing dalam perundang-undangan yang berlaku, bukan tidak mungkin suatu saat pemberantasan korupsi akan berhadapan secara nyata dengan atau bersentuhan dengan kepentingan konglomerasi global, termasuk juga dalam kasus ketenagakerjaan di bawah PMA atau perusahaan joint venture.

Sedangkan dalam waktu bersamaan, terhadap kasus Monsanto, salah satu konglomerat global berkebangsaan Amerika yang mengakui telah menyuap pejabat Indonesia dan telah nyata melanggar Foreign Corrupt Practices Act dan Securities Exchange Act, justru diberikan ''pengampunan sementara'' untuk tidak dilakukan penuntutan setelah Monsanto membayar uang jaminan 1,5 juta dolar AS. Kebijakan hukum AS dalam pemberantasan korupsi justru menunjukkan ketidakpastian hukum. Bahkan sulitnya memperoleh nama-nama 140 pejabat Indonesia yang telah menerima uang suap menunjukkan standar ganda pemerintah AS dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Atas dasar pertimbangan di atas maka strategi nasional pemberantasan korupsi di Indonesia bukan hanya kompilasi langkah-langkah tindak lanjut semata-mata akan tetapi seharusnya diawali, diikuti, serta dijiwai kebangkitan nasionalisme yang secara sistematis, berkesinambungan, dan meluas keseluruh lapisan birokrasi dari pusat sampai ke daerah. Upaya ini hanya akan dapat diakomodasi jika pemerintah dan DPR menyamakan persepsi, misi untuk membangkitkan ideologi nasional yang berlandaskan kolektivisme dengan melaksanakan langkah-langkah koordinatif serta sinergis. Pancasila harus dijadikan ideologi nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945.

Kebangkitan nasional dalam mengembangkan paham kolektivisme Indonesia seharusnya menjadi milik seluruh penyelenggara negara termasuk aparatur penegak hukum terendah sampai tertinggi. Strategi nasional pemberantasan korupsi lima atau sepuluh tahun ke depan tidak hanya mengedepankan strategi di bidang legislasi semata-mata dan bidang birokrasi melainkan juga harus parelel dengan strategi pembudayaan antikorupsi dan strategi pendalam wawasan kebangsaan Indonesia. Tanpa kedua strategi tersebut maka strategi bidang legislasi dan politik hanya akan sangat bergantung kepada perkembangan pemerintahan dan politik yang rentan terhadap perubahan zaman. Kebangkitan nasional dalam pemberantasan korupsi ini sekaligus merupakan firman Allah dalam Surat An Anfaal ayat 27 yang berbunyi: ''Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul, dan janganlah kami mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu sedangkan kamu mengetahuinya.''(Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad dan Ketua Forum 2004)

Tulisan ini diambil dari Republika, 6 Mei 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan