Nasib Pengadilan Korupsi
Nasib pengadilan tindak pidana korupsi berada di ujung tanduk.
Usianya tinggal beberapa bulan, berakhir 19 Desember 2009, sesuai tenggat waktu yang diberikan MK tahun 2006. Namun, lonceng kematiannya bergema 30 September 2009 saat DPR periode 2004-2009 berakhir. Hal itu akan berdampak serius terhadap proses pemberantasan korupsi. Pemeriksaan yang sedang dilakukan KPK dan pengadilan korupsi bisa terhenti karena kehilangan dasar hukum.
Saat ini perkara korupsi diadili di pengadilan umum dan tipikor. Pengadilan tipikor mengadili perkara korupsi dari KPK, sedangkan pengadilan umum mengadili perkara korupsi dari kejaksaan. Sejauh ini pengadilan umum tidak berhasil memberi efek jera bagi koruptor.
Penelitian ICW menunjukkan, terjadi peningkatan putusan bebas kasus korupsi 2005-2008. Dari 1.421 terdakwa, 659 terdakwa divonis bebas dan 291 divonis amat rendah atau kurang dari dua tahun. Rata-rata vonis dari tahun ke tahun amat rendah. Sementara, hingga kini tidak satu pun terdakwa korupsi dibebaskan pengadilan tipikor.
Berdasarkan laporan KPK (2007), semua perkara korupsi (59) yang dilimpahkan ke pengadilan tipikor divonis bersalah. Rata-rata diganjar 4,4 tahun. Juga tahun 2008. Atas 34 kasus yang diproses, tak satu pun divonis bebas. Rata-rata divonis 4,5 tahun. Dibandingkan pengadilan umum, pengadilan tipikor memiliki keunggulan. Pertama, majelis hakim yang memeriksa perkara terdiri hakim karier (dua orang) dan hakim ad hoc (tiga orang).
Kedua, adanya limitasi waktu. Waktu seluruh pemeriksaan perkara dari tingkat pertama, banding, dan kasasi adalah 240 hari (delapan bulan). Ini lebih terukur dibanding waktu penyelesaian perkara di pengadilan umum yang tidak jelas, bahkan baru selesai hingga bertahun-tahun.
Ketiga, konsistensi putusan dari tingkat pertama hingga kasasi. Bahkan, tak jarang terdakwa yang mengajukan banding mendapat hukuman lebih berat dari sebelumnya. Hal ini berbeda dengan pengadilan umum yang memiliki kecenderungan kian tinggi tingkatan peradilannya, maka semakin rendah hukumannya atau bahkan divonis bebas.
Perppu?
Berlarut-larutnya pembahasan RUU pengadilan tipikor di DPR membuat banyak pihak mendesak agar presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Secara konstitusional, perppu merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan. Eksistensinya dapat dibaca dalam Pasal 22 UUD 1945. Lalu dipertegas dalam ketentuan Pasal 1 Angka 4 UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PUU) yang menjelaskan, perppu merupakan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan presiden dalam hal kegentingan memaksa. Alasan yang dijadikan prima causa dikeluarkannya perppu adalah hal kegentingan yang memaksa.
Namun, dalam UU PUU tidak dijelaskan apa definisi atau prasyarat kegentingan yang memaksa itu. Pada praktiknya, penerapan alasan ”kegentingan yang memaksa” mengalami perubahan berdasar subyektifikasi presiden yang dapat diobyektifikasi DPR melalui mekanisme persetujuan perppu menjadi UU.
Melihat keterbatasan waktu, solusi penetapan perppu merupakan opsi terbaik pengadilan tipikor. Perppu bukan hal baru pada masa pemerintahan SBY. Ada beberapa perppu yang telah ditetapkan di bidang ekonomi dan politik (pemilu) sehingga tidak ada alasan untuk menolak menetapkan perppu pengadilan tipikor. Terkait alasan konstitusional, presiden bisa menggunakan logika hukum MK.
Dalam putusannya, meski Pasal 53 UU KPK dibatalkan, MK tidak membubarkan pengadilan tipikor. MK sadar hal itu akan berdampak terhadap penanganan perkara korupsi yang sedang berjalan dan mengganggu pemberantasan korupsi. MK malah memperkuat keberadaan pengadilan tipikor dengan memerintahkan untuk membuat UU tersendiri dalam jangka waktu tiga tahun.
Dengan demikian, jika keberadaan pengadilan tipikor kembali terancam akibat kelalaian DPR, logika hukum MK dapat digunakan presiden. Bahwa demi menjaga eksistensi pengadilan tipikor dan menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi serta menjalankan amanat MK, perppu perlu ditetapkan. Tindakan itu diperlukan agar para mafioso korupsi tidak kegirangan karena tandem KPK hilang.
Oce Madril Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM; Graduate Student Law and Governance Program, Nagoya University, Jepang
Tulisan ini disalin dari Kompas, 17 Juni 2009