Nasib Pendidikan Pascaputusan MK
Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 49 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengenai frase gaji pendidik bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Karena itu, pemerintah wajib memasukkan gaji pendidik dalam anggaran pendidikan 20 persen. Putusan MK merupakan ancaman serius bagi masa depan pendidikan Indonesia.
Kamis, 06 Maret 2008
Opini
Dari sudut anggaran, akan terjadi ketimpangan dalam pembiayaan. Alokasi biaya rutin, terutama pembayaran gaji dan tunjangan penyelenggara pendidikan, pasti membengkak. Konsekuensinya, alokasi pelayanan dan peningkatan kualitas belajar-mengajar, seperti perbaikan dan perawatan gedung sekolah serta penyediaan buku pelajaran, berkurang secara drastis.
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, pengertian pendidik sangat luas. Pasal 1 angka 6 menyebutkan bahwa pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Artinya, komponen biaya rutin seperti gaji yang akan dimasukkan dalam anggaran pendidikan jauh lebih banyak daripada perkiraan sekarang. Sudah pasti, dalam proses penganggaran, pembayaran gaji akan menjadi prioritas. Adapun program untuk membuka akses bagi warga dan meningkatkan kualitas pelayanan tinggal menunggu sisa anggaran.
Sayangnya, sisa anggaran tidak akan banyak. Sebab, butuh dana yang besar untuk membayar gaji pendidik. Sebagai contoh, guru. Berdasarkan data Departemen Pendidikan Nasional, paling tidak jumlah mereka mencapai 2.783.321 orang, 1.528.472 berstatus sebagai pegawai negeri dan 1.254.849 nonpegawai negeri. Apabila gaji mereka dirata-ratakan Rp 2 juta, dalam sebulan anggaran hanya untuk gaji guru mencapai Rp 5,5 triliun atau dalam setahun Rp 55,6 triliun.
Padahal, dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 mengenai Guru dan Dosen, guru tidak hanya mendapatkan gaji. Pasal 5 ayat 1 menyebutkan bahwa penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru, yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.
Ambil contoh tunjangan profesi yang digulirkan melalui program sertifikasi guru. Jika semua guru memperoleh sertifikasi yang tenggatnya ditetapkan hingga 2015 dan jika rata-rata tunjangan yang diterima Rp 1,5 juta, paling tidak dana yang mesti disediakan Rp 41 triliun setiap tahun.
Jadi, hanya untuk membayar gaji dan tunjangan profesi guru, anggaran yang dibutuhkan hampir mencapai Rp 100 triliun. Jumlah tersebut belum termasuk tambahan lain seperti yang telah ditetapkan dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 mengenai Guru dan Dosen, misalnya maslahat tambahan. Selain itu, gaji dan tunjangan komponen pendidik lain, seperti dosen, tutor, instruktur, dan widyaiswara, belum dihitung.
Tanpa didukung anggaran, pelayanan pendidikan bagi warga akan lumpuh. Sebagai bukti, pada 2008 anggaran pendidikan di luar gaji pendidik Rp 48,3 triliun atau 12 persen dari total anggaran pendapatan dan belanja negara. Angka tersebut dianggap jauh dari memadai. Rencana strategis pendidikan 2005-2009 yang disusun Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa untuk membuka akses warga dan meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan, pada tahun tersebut dibutuhkan dana paling tidak Rp 136 triliun.
Apalagi sudah lama pendidikan nasional bergelut dengan banyaknya gedung sekolah yang tidak layak pakai. Begitu pula peralatan dan perlengkapan belajar-mengajar, seperti buku pelajaran dan alat peraga, yang masih sangat minim. Tanpa ada anggaran, kondisi pendidikan akan semakin terpuruk. Karena itu, keputusan MK membuat kualitas pelayanan pendidikan makin buruk.
Dari sudut biaya, warga akan mengambil alih beban penyelenggaraan pendidikan, yang tadinya menjadi tanggung jawab pemerintah. Padahal sebelumnya biaya yang mereka keluarkan untuk memperoleh pelayanan pendidikan sudah sangat besar. Pada tingkat sekolah dasar negeri, misalnya, berdasarkan hasil riset Indonesia Corruption Watch pada 2007, rata-rata mencapai Rp 4,7 juta per tahun.
Biaya pendidikan yang mahal akan menghambat warga, terutama kelompok miskin, memperoleh pelayanan pendidikan. Tingkat partisipasi pendidikan akan menurun, sedangkan angka putus sekolah makin bertambah. Target menyelesaikan program wajib belajar pada 2008 dipastikan tidak tercapai.
Dari sisi guru, putusan MK jelas akan merugikan. Sebab, walau terkesan seolah-olah ikut menikmati kenaikan anggaran pendidikan, yang terjadi justru sebaliknya. Ketika gaji mereka termasuk dalam anggaran pendidikan, sumber pendanaan untuk meningkatkan kesejahteraan seperti yang ditegaskan dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 makin dipersempit.
Tambahan pendapatan, seperti tunjangan profesi, hanya berasal dari alokasi anggaran pendidikan, yang pada saat bersamaan dibutuhkan untuk mengembangkan pelayanan bagi warga. Kenaikan pendapatan guru akan mengurangi alokasi pelayanan, begitu juga sebaliknya. Secara tidak langsung, guru dipaksa mengambil hak siswa dan warga. Tidak mustahil akan muncul konflik.
Kondisi buruk di atas tidak akan terjadi apabila pemerintah memiliki komitmen mengembangkan pelayanan pendidikan bagi warga. Caranya, porsi alokasi anggaran untuk sektor pendidikan dibuat sangat besar sehingga tersedia dana yang proporsional untuk membayar gaji dan tunjangan pendidik serta membiayai pelayanan pendidikan, termasuk mengurangi pemborosan dan menghilangkan korupsi yang merajalela di Departemen Pendidikan Nasional, dinas, dan sekolah.
Cara lain, pemerintah dapat mengabaikan putusan MK. Seluruh rakyat Indonesia pasti akan memaklumi, bahkan memuji, sikap pemerintah. Apalagi sebelumnya, selama bertahun-tahun pemerintah berani mengabaikan amanat UUD 1945 dan putusan MK agar menyediakan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari total APBN. Demi masa depan negara, pemerintah dapat melakukan hal serupa.
Ade Irawan, KEPALA DIVISI MONITORING PELAYANAN PUBLIK INDONESIA CORRUPTION WATCH, SEKRETARIS KOALISI PENDIDIKAN
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 6 Maret 2008