Nasib KPK pada Hari Antikorupsi

Hari Antikorupsi 2015 adalah masa terberat bagi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Beragam ancaman datang silih berganti, dan ancaman datang dari segala penjuru. Mulai dari jerat-jerat kriminalisasi, maju mundur seleksi calon pimpinan KPK, sampai ancaman pelemahan lewat revisi Undang-undang KPK.

Bentuk ancaman terhadap KPK memang tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Bedanya, tingkat ancaman pada tahun ini jauh lebih berat. Misalnya dalam tragedi Cicak lawan Buaya Jilid I, hanya pimpinan KPK yang dikriminalisasi.

Kini, semuanya "dipolisikan", mulai dari pimpinan, penyidik, sampai dengan pendukung KPK ikut dikriminalisasi.

Proses hukum terhadap pimpinan dan penyidik KPK seolah tidak berujung. Padahal, Presiden sudah meminta Polri (Kepolisian Negara Republik Indonesia) untuk segera menghentikan kriminalisasi terhadap semua unsur dan pendukungnya. Tapi tampaknya, perintah itu benar-benar diabaikan.

Upaya kriminalisasi terhadap Novel Baswedan (penyidik KPK) masih berjalan. Celakanya Novel harus kembali menjalankan pemeriksaaan, ketika seluruh perhatian gerakan pemberantasan korupsi tercurah untuk memperingati Hari Antikorupsi Internasional di Bandung.

Meskipun proses pemeriksaan tidak berakhir pada penahanan, nafsu penyidik Polri untuk menjerat Novel sudah pasti sangat mengganggu kerja penyidikan di KPK. Karena saat ini, Novel sedang menangani beberapa kasus besar di KPK.

Nasib serupa tengah dialami dua pimpinan KPK, Abraham Samad, dan Bambang Widjojanto. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara masing-masing. Sampai saat ini, upaya kriminalisasi terhadap Bambang Widjojanto dan Abraham Samad tidak berhenti. Berkas perkara atas nama Bambang Widjojanto misalnya, sudah dilimpahkan dari Bareskrim Polri Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) ke Kejaksaan Agung.

Dampak kerusakan akibat kriminalisasi sangat luar biasa. Pada saat kriminalisasi berlangsung, KPK sempat mengaktifkan crisis center. Situasi krisis memaksa aktifitas penanganan perkara sempat terhenti. Selama krisis berlangsung, KPK hanya disibukkan oleh rapat koordinasi.

Sebenarnya, kondisi serupa pernah terjadi pada periode Juli sampai dengan Oktober 2009 silam. Akibat penetapan tersangka terhadap Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, KPK hanya mampu memproses empat pelaku korupsi ke tingkat penyidikan. KPK dapat memproses delapan tersangka pada bulan berikutnya, setelah Plt pimpinan KPK resmi bertugas.

Seleksi capim KPK

Ancaman lain terhadap KPK yang tak kalah dahsyat datang dari parlemen. Para wakil rakyat terus tarik ulur proses seleksi capim (calon pimpinan) KPK. Mereka beberapa sempat menunda proses seleksi pimpinan KPK dengan bermacam alasan. Mulai Dari dari alasan yang biasa sampai alasan yang "mengada-ngada".

Misalnya, mempermasalahkan capim KPK karena tidak ada yang berasal dari unsur Jaksa. Padahal tidak ada satu pasal pun dalam UU KPK yang menyebutkan bahwa pimpinan KPK harus ada yang berasal dari Jaksa.

Bahwa UU KPK menganugerahkan pimpinan KPK kewenangan sebagai penyidik dan penuntut umum, tapi perlu diingat bahwa KPK memiliki sederet penuntut umum berkualitas. Sejarah membuktikan, tidak sedikit pimpinan KPK yang tidak berlatar belakang jaksa namun andal dalam melakukan kerja penindakan.

Penundaan yang dilakukan DPR sebenarnya tidak boleh ditoleransi. Mengingat pada 16 Desember 2015, masa jabatan pimpinan KPK yang tersisa akan segera berakhir. Sehingga apapun alasannya, penundaan seleksi capim KPK berdampak buruk bagi KPK.

Penting juga untuk dicatat, bahwa penundaan seleksi capim KPK yang melewati batas 90 hari sejak diserahkan oleh Pemerintah, adalah bentuk pembangkangan terhadap undang-undang.

Ancaman dibalik revisi

Belum selesai urusan capim, parlemen sudah kembali menyerang dengan jurus lama, revisi UU KPK.

Jika ingin diukur menggunakan pendekatan dampak, maka potensi risiko lewat revisi UU KPK ini paling berbahaya. Berbagai macam hal yang berhubungan dengan kelembagaan KPK, diatur di sana. Sehingga ancaman lewat revisi undang-undang merupakan cara paling efektif untuk mengebiri kewenangan KPK.

Menurut catatan ICW, sepanjang 2015 usaha untuk merevisi UU KPK terjadi beberapa kali, pada Juni 2015, dan Oktober 2015.

Banyak alasan mengapa revisi UU KPK ini harus ditolak. Di antaranya karena secara substansi, revisi UU KPK versi DPR yang sekarang beredar berpotensi melemahkan KPK.

Bentuk-bentuk pelemahan tersebut di antaranya adalah hilangnya kewenangan penuntutan KPK, pembatasan masa kerja KPK hanya 12 tahun, dan KPK hanya bisa menangani perkara korupsi dengan potensi kerugian negara Rp50 miliar ke atas.

Alasan lainnya, pengusulan revisi UU KPK dilakukan tanpa naskah akademis. Jika merujuk pada ketentuan pembentukan peraturan perundang - undang, revisi UU tanpa adanya naskah akademis bisa mengakibatkan prosesnya cacat secara prosedural.

Untuk menjaga keberadaan KPK, dibutuhkan dukungan nyata dari semua pihak. Khususnya dukungan secara politik dari Presiden. Tidaklah sulit bagi Presiden untuk segera menghentikan kriminalisasi, mendorong mempercepat seleksi calon pimpinan KPK, dan menolak revisi undang-undang KPK.

Jika saja Presiden benar - memiliki komitmen dalam pemberantasan korupsi.

Semoga saja eksistensi KPK tetap terjaga, dan mudah-mudahan peringatan Hari Antikorupsi kali ini bukan Hari Antikorupsi terakhir bagi KPK.

Tama S. Langkun, adalah Koordinator Divisi Kampanye dan Publikasi Indonesia Corruption Watch (ICW)

Published at http://beritagar.id/artikel/telatah/nasib-kpk-pada-hari-antikorupsi

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan