Narkotika dan Korupsi
Wednesday, 10 August 2016 - 00:00
Pada 20 Januari 2015, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa Indonesia berada dalam status darurat narkotika. Kondisi darurat ini disebabkan karena pengguna narkotika di Indonesia saat itu telah mencapai 4,5 juta orang di seluruh Indonesia. Selanjutnya, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa tidak ada maaf bagi pelaku kejahatan narkotika di negeri ini.
Darurat narkotika juga diperkuat dengan data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) pada November 2015, yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah salah satu pangsa pasar narkotika terbesar di Asia. Bahkan disebut-sebut telah menjadi salah satu produsen narkotika di dunia. Jumlah pengguna narkotika di Indonesia hingga November 2015 terdata 5,9 juta orang. Dari seluruh penjara yang ada di Indonesia, sekitar 60 persen dihuni oleh narapidana atau pelaku kejahatan kasus narkotika.
Karena alasan kondisi darurat, di Indonesia narkotika telah ditetapkan menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Regulasi anti narkotika memberikan ancaman hukuman penjara yang berat-bahkan hukuman mati-bagi pengedar narkotika. Indonesia telah melakukan eksekusi hukuman mati terhadap sedikitnya delapan orang karena terlibat dalam jaringan kejahatan narkotika.
Faktor praktik korupsi
Meski sudah banyak pelaku yang dijebloskan ke penjara, bahkan dihukum mati, hal ini belum sepenuhnya mampu membendung peredaran narkotika yang semakin masif di Indonesia. Ironisnya, peredaran narkotika juga terjadi di dalam penjara.
Salah satu faktor penyebab maraknya peredaran narkotika adalah karena ada praktik korupsi, khususnya suap yang dilakukan oleh bandar narkotika kepada oknum aparat hukum.
Selama 10 tahun terakhir, dalam catatan Indonesia Corruption Watch terdapat sedikitnya 20 aparat hukum yang diduga menerima suap dari bandar atau terlibat dalam peredaran narkotika. Sebagian di antaranya telah diproses secara hukum dan dijebloskan ke penjara.
Aparat hukum yang terlibat mulai dari oknum polisi, jaksa, hakim, tentara, hingga kepala penjara. Motif penyuapan adalah agar pelaku dilindungi selama beroperasi, dilepaskan dari proses hukum, diberikan pengurangan hukuman, dan atau dibiarkan mengendalikan bisnis narkoba selama di penjara.
Contoh terbaru praktik suap dalam perkara narkotika yang melibatkan penegak hukum terjadi di Jakarta dan Sumatera Utara. Pada 29 Februari 2016, Pentus Napitupulu, Kepala Subdirektorat I Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri, dijatuhi hukuman 4 tahun 8 bulan penjara karena menerima suap sebesar Rp 5 miliar dari pengusaha yang juga bandar narkotika.
Terakhir, pada April 2016, BNN menangkap Kepala Satuan Narkotika Polres Belawan, Sumatera Utara, Ajun Komisaris Ichwan Lubis karena menerima uang suap sebesar Rp 2,3 miliar dari bandar narkotika. Ia juga diketahui memiliki rekening keuangan yang tidak wajar senilai lebih dari Rp 8 miliar.
Realitas adanya oknum aparat yang terima suap dari bandar narkoba tidak saja terjadi di Indonesia, tetapi juga dialami oleh negara lain seperti Meksiko. Pada tahun 2011, pasukan keamanan Meksiko menangkap 18 pejabat kepolisian yang diduga menerima suap sebesar 2.000-10.000 peso per bulan dari kartel narkoba Zetas agar mereka bisa bebas beroperasi. Sebelumnya, pada tahun 2008, Noe Ramirez selaku Kepala Polisi Unit Satuan Khusus Anti Kejahatan Terorganisasi Meksiko ditangkap pihak berwenang karena menerima uang suap senilai Rp 5,4 miliar dari kartel narkoba Sinaloa. Ramirez juga mendapatkan pembayaran bulanan dari menjual informasi tentang hasil penyelidikan kepolisian kepada pimpinan kartel.
Selama ini, Kepolisian Meksiko sering kali dituding terlibat dalam perdagangan narkotika sehingga perang melawan narkotika tidak berjalan maksimal. Oleh karena itu, Presiden Meksiko Felipe Calderon mengambil kebijakan bahwa perang melawan narkotika di Meksiko diikuti dengan operasi pembersihan di tubuh lembaga penegak hukum yang disinyalir menjadi pelindung dari mafia narkotika. Operasi ini bahkan harus melibatkan marinir dan tentara sehingga berhasil menjerat sedikitnya 30 pejabat dan anggota kepolisian unit khusus narkotika karena berhubungan dengan kartel narkoba ataupun melakukan korupsi.
Bentuk tim pencari fakta
Suap yang melibatkan bandar narkotika dengan aparat hukum di Indonesia dalam beberapa minggu terakhir kembali menjadi isu nasional, menyusul munculnya kesaksian dari Freddy Budiman. Freddy adalah seorang bandar narkotika yang telah dijatuhi hukuman mati pada awal Agustus lalu. Kesaksian Freddy, yang kemudian diungkap oleh Haris Azhar, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), menyebutkan bahwa selama menjadi bandar narkotika, Freddy telah banyak melakukan penyuapan terhadap oknum pejabat di BNN, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara RI, hingga lembaga pemasyarakatan.
Langkah Haris Azhar mengungkap permainan kotor aparat penegak hukum di balik peredaran narkotika perlu ditindaklanjuti secara serius oleh pemerintah. Dalam kondisi darurat narkotika dan korupsi, Presiden tidak perlu ragu membentuk tim investigasi independen atau tim pencari fakta dalam membongkar korupsi dan keterlibatan aparat hukum dalam peredaran dan pengendalian narkotika.
Dalam sejarahnya, Indonesia pernah memiliki tim pencari fakta untuk mengungkap kematian Munir, aktivis hak asasi manusia (HAM). Juga pembentukan tim independen yang dikenal dengan sebutan Tim Delapan untuk melakukan investigasi terhadap kriminalisasi yang menimpa Bibit Samad dan Chandra Hamzah, pimpinan KPK. Kedua tim ini bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan cukup berhasil memberikan sejumlah rekomendasi, yang kemudian ditindaklanjuti ke ranah hukum.
Jika disetujui, Tim Pencari Fakta Pemberantasan Mafia Narkotika dan Hukum ini terdiri atas figur-figur yang tepercaya dan berasal dari berbagai latar belakang, seperti kepolisian, TNI, praktisi hukum, intelijen, dan masyarakat sipil. Ibarat pepatah "sekali mendayung dua tiga pulau terlampui", maka tim yang dibentuk nantinya tidak saja bertugas untuk memerangi praktik mafia narkotika, tetapi juga sekaligus membersihkan institusi penegak hukum dari oknum aparatnya yang korup.
Emerson Yuntho anggota badan pekerja Indonesia Corruption Watch
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Narkotika dan Korupsi".