Nakhoda Baru Kapal Retak
Di tengah badai kritik atas pemberian grasi dan remisi bagi sejumlah koruptor, hasil seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjelma menjadi setitik air dalam gelombang badai panas yang amat panjang. Meski tidak sepenuhnya dapat menutup luka yang timbul dari pemberian grasi dan remisi, sosok Bambang Widjojanto dan Busyro Muqoddas menghidupkan kembali asa memberantas korupsi yang telah lama memudar.
Hasil seleksi saat ini persis sama dengan prediksi dan harapan banyak kalangan yang concern atas nasib KPK dan kelanjutan agenda pemberantasan korupsi. Karena itu, untuk tahap berikutnya, para penggiat antikorupsi bisa lebih santai menghadapi fit and proper test di DPR. Siapa pun yang terpilih, hampir dapat dipastikan akan membawa dan menyalurkan energi baru di KPK.
Hasil kerja Panitia Seleksi menjadi amat penting untuk masa depan KPK. Sebagaimana pernah dikemukakan dalam ”Mencari Nakhoda Kapal Retak” (Kompas, 23/6), KPK bak sebuah kapal retak yang sedang mengarungi samudra luas. Perjalanannya menjadi semakin berat karena di tengah amukan badai, sang nakhoda terlempar ke laut luas. Untuk bertahan meraih tanah tepi, KPK harus mendapat nakhoda baru yang andal. Kini calon nakhoda baru itu telah ditemukan.
Terobosan
Meskipun disadari, menelisik dan memeras 287 pendaftar hingga akhirnya menjadi dua orang bukanlah pekerjaan ringan. Hampir dapat dipastikan, kekeliruan dalam memilih berpotensi menambah monumen kegagalan agenda pemberantasan korupsi.
Dalam pengertian itu, banyak kalangan percaya, semangat keberpihakan pada agenda pemberantasan korupsi yang dimiliki Panitia Seleksi menjadi faktor yang paling menentukan dalam menemukan calon nakhoda KPK. Dengan semangat itu, semua kepentingan yang dapat mengancam masa depan KPK dan sekaligus menjadi ancaman kelangsungan agenda pemberantasan korupsi mampu dikelola secara bijak.
Tanpa semangat itu, Panitia Seleksi pasti akan kesulitan menemukan karakter calon nakhoda yang benar-benar diperlukan guna menyelamatkan KPK mencapai tanah tepi. Dalam posisi ibarat sebuah kapal retak, yang diperlukan tidak hanya nakhoda yang hanya sekadar mampu mengendalikan arah kapal, tetapi juga mempunyai kemampuan ekstra membangun motivasi semua penghuni kapal untuk mewakafkan waktu mereka bekerja secara kolektif menambal dan memperbaiki kapal dari dalam.
Di atas itu semua, terobosan besar yang dilakukan Panitia Seleksi adalah mematahkan ”tafsir keliru” yang dianut sebagian kalangan selama ini, yaitu pimpinan KPK mencerminkan perwakilan setiap lembaga penegak hukum. Sekiranya Panitia Seleksi gagal keluar dari tafsir itu, nama Bambang dan/atau Busyro sangat mungkin tereliminasi. Karena itu, pada tempatnya publik memberikan apresiasi khusus kepada Panitia Seleksi. Tidak terbantahkan, capaian dan terobosan itu menjadi hadiah istimewa di tengah ketidakpastian agenda pemberantasan korupsi di negeri ini.
Tidak kompromi
Menilik performance KPK dalam beberapa tahun terakhir, calon nakhoda baru (Bambang dan Busyro) harus menghindari segala macam bentuk kompromi dengan kekuatan-kekuatan luar yang tidak terlalu peduli dengan perbaikan KPK. Harapan besar yang tumbuh setelah Panitia Seleksi mengumumkan nama Bambang dan Busyro jangan sampai digadaikan demi kepentingan mendapatkan dukungan DPR.
Begitu pintu kompromi dibuka, cara tersebut akan menjadi kesalahan besar yang berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi, terutama pengungkapan atau penyelesaian sejumlah skandal korupsi yang sejauh ini masih terbengkalai. Bambang dan Busyro pasti paham bahwa membuka ruang untuk berkompromi dengan DPR berpotensi menjauhkan upaya penyelesaian skandal korupsi yang masih terbengkalai tersebut.
Tidak hanya untuk DPR, ruang kompromi juga harus ditutup dengan pihak- pihak lain yang berkepentingan dengan KPK. Misalnya, sampai sejauh ini mayoritas publik masih menunggu KPK menuntaskan skandal Bank Century. Membuka ruang kompromi bagi pihak- pihak yang terkait dengan skandal Bank Century dapat memperpanjang masa penantian publik. Kalau hal itu terjadi, nakhoda baru hanya akan memperparah keretakan kapal KPK.
Sebagai figur yang dihasilkan dari sebuah proses panjang dan mendapat apresiasi besar, Bambang dan Busyro tidak perlu khawatir bahwa tanpa kompromi mereka akan ditolak DPR. Dalam hal ini, Pasal 30 Ayat (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menyatakan bahwa DPR wajib memilih dan menetapkan dari calon yang diajukan dalam waktu paling lambat tiga bulan terhitung sejak tanggal diterimanya usulan Presiden. Hal itu berarti, satu dari dua nama yang dihasilkan Panitia Seleksi pasti akan dipilih dan ditetapkan DPR.
Yang harus dipikirkan dengan serius, bagaimana dengan satu nama yang tersisih? Usul menarik yang ada sejauh ini, nama tersebut disimpan untuk seleksi tahun depan dengan cara hanya ikut proses fit and proper test di DPR. Namun, usul semacam ini tentu akan mengundang perdebatan panjang. Melihat kebutuhan dan potensi yang dimiliki kedua calon, jika Presiden memang punya keinginan kuat memperbaiki kejaksaan, jauh lebih bermanfaat jika nama yang tersisih diangkat menjadi Jaksa Agung.
Selain membuka peluang untuk membangun pola hubungan yang lebih positif dalam penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi, situasi di kejaksaan tidak lebih baik daripada KPK. Jika KPK ibarat kapal retak, secara jujur harus diakui bahwa kejaksaan ibarat kapal yang nyaris tenggelam. Untuk itu, diperlukan nakhoda baru yang integritasnya tidak lebih rendah dibandingkan dengan nakhoda KPK. Bagaimana Tuan Presiden...?
Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Tulisan ini disalin dari Kompas, Senin, 30 Agustus 2010 | 03:13 WIB