Mutlak Perlu Reformasi MA
Tudingan adanya mafia peradilan sudah menjadi kenyataan dengan keberhasilan Komisi Pemberantasan Korupsi mendeteksi dan menangkap beberapa petugas Mahkamah Agung RI dan sebelumnya petugas Pengadilan Tinggi Jakarta menerima suap dari oknum advokat.
Sering kali pimpinan Mahkamah Agung (MA) RI menolak digunakannya istilah mafia peradilan karena bukan termasuk kategori kejahatan terorganisasi (organized crime). Apa pun namanya, bagi masyarakat khususnya para pencari keadilan (yustisiabel), itu tidak penting. Yang penting, ditegakkannya hukum dan keadilan bagi masyarakat karena kepada siapa lagi para pencari keadilan minta keadilan jika bukan kepada lembaga peradilan. Apalagi Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) yang dijamin dalam UUD 1945.
Dalam negara hukum, hukum adalah panglima (supreme). Semua persoalan harus dapat diselesaikan dengan hukum dan sama sekali bukan melalui kekuatan apalagi kekerasan. Namun, kenyataan di Indonesia kini banyak putusan pengadilan yang mengecewakan. Alasannya, gaji hakim dan pegawai pengadilan yang kecil sampai pada kurangnya bukti. Benarkah? Fakta menunjukkan, gaji kecil bukan alasan untuk korupsi.
Menurut seorang raporteur PBB, Datuk Param Cummaraswamy, dari Malaysia beberapa tahun lalu di Kamboja, hakim bergaji sekitar 100 dollar AS per bulan tidak korup.
Persoalannya, karena pembangunan selama era Orde Baru mementingkan ekonomi dan fisik telah menciptakan masyarakat yang materialistis, konsumeristis, hedonistis, dan koruptif. Pembangunan moral diabaikan. Pendidikan mundur, tidak didanai dan ditata secara modern dan efisien. Akhirnya akhlak masyarakat umumnya terpengaruh dan ini memengaruhi moral para penegak hukum.
Dalam situasi seperti ini, korupsi yudisial menjadi marak dan sering terdengar keluhan para pencari keadilan bagaimana putusan pengadilan dijadikan permainan para calo, petugas pengadilan, hakim, advokat, dan lainnya yang menjadikan putusan pengadilan sebagai lahan bisnis.
Keadilan sudah dipermainkan di bumi pertiwi. Padahal, putusan pengadilan selalu atas nama Tuhan, dengan judul Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Indonesia mungkin satu-satunya negara yang membawa-bawa nama Tuhan dalam putusan pengadilan.
Keadilan bagi manusia
Mengenai keadilan, Immanuel Kant mengatakan, If justice is gone, there is no reason for a man to live longer on earth.
Betapa pentingnya keadilan dalam kehidupan manusia. Keadilan sudah menjadi komoditas. Sering terdengar bagaimana eksekusi putusan yang sudah berkekuatan hukum dijadikan ajang permainan. Dengan segala cara yang dikalahkan mencoba menggagalkan eksekusi dengan bantahan perkara baru, menggugat lagi untuk mementahkan putusan berkekuatan hukum, dan segala cara termasuk suap guna mengganjal putusan pengadilan. Ini terjadi di salah satu pengadilan negeri di Jakarta. Dan ini bukan yang pertama, tetapi sudah sering terjadi, menyebabkan ketidakpastian hukum.
Tertangkapnya lima staf anggota MA dan seorang advokat baru-baru ini menguatkan, mafia peradilan itu ada. Untuk itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Yudisial harus bekerja keras.
Jika demikian, dari mana reformasi hukum harus dilakukan? Jelas dari lembaga peradilan. Kalau saja para hakim jujur, bersih, efisien, dan menolak disuap, permainan para calo dapat dikurangi.
Reformasi internal ini sebenarnya bisa dilakukan karena MA sudah membuat cetak biru reformasi institusional. Kini hanya tinggal melaksanakan. Jika MA berhasil mereformasi diri, maka 5.000-an hakim di bawahnya akan terpengaruh dan mencontoh perilaku seniornya.
Kehormatan dan martabat para hakim agung akan mengucur ke bawah sebagaimana prinsip trickle down effect dalam bidang ekonomi.
Penulis mengusulkan agar Ketua MA tidak terlibat pemeriksaan perkara di tingkat kasasi. Dengan demikian, dia bisa fokus melakukan reformasi internal MA.
Maka, setelah kasus MA ini selesai, sebaiknya Bagir Manan memimpin langsung pembersihan diri MA. Seluruh sistem harus diperbaiki, mulai dari rekrutmen, budget, akuntansi, manajemen perkara, manajemen badan peradilan, penggajian, pelatihan, dan lain-lain.
Sistem diubah
Hanya bermodalkan kejujuran, seorang MA tidak bisa memperbaiki keadaan. Bagir Manan yang dikenal jujur sebagai birokrat ketika bekerja di Departemen Kehakiman tidak bisa berbuat banyak jika sistem tidak diubah. Kejujurannya inilah yang membawa Bagir Manan unggul dari pesaingnya saat dilakukan fit and proper test pemilihan Ketua MA.
Kelihatannya dia tidak didukung bawahannya untuk mereformasi benteng terakhir keadilan ini. Dalam skandal lima staf MA dan seorang advokat baru- baru ini, kemungkinan besar Bagir dijadikan korban fitnah oleh orang-orang yang terlibat praktik mafia peradilan. Semoga kebenaran yang menang dalam skandal yang memalukan ini.
Namun, Bagir Manan harus terbuka dalam menghadapi masalah ini dan harus bersedia diperiksa KPK serta Komisi Yudisial. Selama pemeriksaan, sebaiknya Bagir Manan tidak aktif sebagai Ketua MA dan mengambil keputusan penting sampai persoalannya clear.
Dissenting opinion Bagir adalah modal penting untuk membuktikan dia tidak terlibat skandal itu. Ini bisa saja merupakan jebakan terhadap seorang yang jujur yang tidak mau berkompromi terhadap ajakan berkolusi. Maklum, korupsi sudah begitu merasuk ke dalam kehidupan bangsa sehingga tiap orang, terutama mereka yang memegang jabatan yang penting, selalu dicurigai melakukan korupsi.
Untuk memperbaiki kebobrokan di MA diperlukan reformasi institusi yang dijalankan secepatnya mengingat cetak biru reformasi MA sudah ada.
Frans H Winarta Advokat; Anggota Komisi Hukum Nasional (KHN)
Tulisan ini disalin dari Kompas, 18 November 2005