Musuh Pemberantasan Korupsi

Desakan beberapa anggota DPR merevisi UU KPK dan memotong kewenangan penyadapan adalah sebuah kemunduran.

Sadar atau tidak, wacana itu akan dilihat sebagai upaya melemahkan pemberantasan korupsi. DPR seolah menempatkan diri sebagai musuh, mencoba menggerogoti kewenangan KPK.

Delegitimasi

Kegerahan itu agaknya berangkat dari tindakan KPK yang menggunakan strategi ”prioritas sektor”. Dalam catatan Transparency International (TI) Indonesia, posisi legislatif dan partai politik sebagai sektor terkorup, selain penegak hukum, selalu bertahan sejak 2005-2007.

ICW melihat fenomena ini dari kinerja penindakan KPK jilid II. Setidaknya ada tujuh tersangka di sektor legislatif, atau sekitar 28 persen dari 25 tersangka yang sudah diproses sejak Desember 2007-Agustus 2008. Bahkan, satu per satu dari 52 anggota DPR, baik mantan atau masih aktif, ada pada posisi riskan karena diduga terkait kasus Rp 100 miliar aliran dana Bank Indonesia.

Upaya KPK itu mengancam kelompok koruptif DPR sehingga mudah mengargumentasikan, upaya pelemahan KPK berangkat dari kecemasan. Dalam Independent Report yang disampaikan koalisi NGO/LSM pada UN Convention Against Corruption (UNCAC) ke-2 Januari 2008 disimpulkan, pelemahan dan delegitimasi institusi merupakan faktor penting kegagalan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Delegitimasi lembaga antikorupsi, seperti KPK, merupakan pola berulang. Menurut catatan ICW, sudah tujuh institusi yang awalnya dibentuk untuk memberantas korupsi, tetapi akhirnya dibubarkan saat mencoba menyentuh kekuasaan.

Pertama, Keppres No 228/1967 membentuk Tim Pemberantas Korupsi. Kedua, 31 januari 1970 lewat Keppres 12/1970 dibentuk Tim Komisi Empat. Ketiga, pada tahun yang sama diusung nama baru Komite Anti-Korupsi (KAK). Keempat, tahun 1977 muncul Inpres 9/1977 Tim OPSTIB. Kelima, tahun 1982 Tim Pemberantas Korupsi diaktifkan kembali meski keppres yang mengatur tugas dan kewenangan tim ini tidak pernah diterbitkan. Keenam, melalui Keppres No 127/1999 dibentuk Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Ketujuh, berdasarkan PP No 19/2000 dikukuhkan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK).

UU KPK pun tercatat sebagai undang-undang paling sering diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Menurut ICW, telah tujuh kali pula UU itu di-judicial review. Salah satunya, menghasilkan pembatalan Pasal 53 tentang eksistensi Pengadilan Tipikor.

Aneka serangan balik koruptor, dimaksudkan mengancam fondasi pemberantasan korupsi yang sedang dibangun. Masalahnya, kali ini upaya delegitimasi KPK justru datang dari DPR, institusi yang semula berkomitmen mendukung pemberantasan korupsi.

HAM koruptor

Lebih dari sekadar rasa cemas, tindakan DPR sepertinya cenderung mengarah pada kepanikan. Argumentasi untuk mendorong revisi kewenangan penyadapan KPK pun saling bertentangan. Di satu pihak ingin memperkuat kewenangan KPK, di pihak lain suara ingin membubarkan KPK. Penolakan datang dari kelompok yang bisnisnya terganggu, takut disadap KPK.

Argumentasi lain yang dinilai salah kaprah, saat HAM digunakan sebagai alasan mendorong revisi. Salah seorang anggota komisi III DPR mengatakan, merupakan hak asasi tiap orang untuk tidak diganggu hak pribadinya, termasuk dalam berkomunikasi melalui surat, telepon. Argumentasi HAM seolah dihadapkan pada sisi berseberangan dengan pemberantasan korupsi.

Pasal 17 Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966) dan Pasal 8 Ayat 1 Konvensi Eropa untuk perlindungan HAM dan kebebasan fundamental (1958), memang mengatur demikian. Tetapi, sang anggota dewan tidak membaca lengkap rumusan konvensi itu. Pengecualian untuk privasi dapat dilakukan jika sesuai hukum nasional, diperlukan dalam masyarakat demokrasi demi kesejahteraan umum, dan melindungi hak-hak serta kebebasan orang lain yang lebih luas. Bukankah pemberantasan korupsi merupakan tindakan untuk melindungi hak asasi jutaan rakyat Indonesia demi kesejahteraan umum?

Maka, alasan HAM untuk melemahkan KPK merupakan argumentasi yang dicari-cari. Kewenangan penyadapan telah diatur pada Pasal 12 Ayat 1 UU KPK, Pasal 40 UU Telekomunikasi dan Peraturan Menkominfo No 11 tahun 2006. Selain itu, pembatasan HAM demi perlindungan hak asasi banyak orang dan kepentingan umum ditegaskan Pasal 28J Ayat 2 UUD 1945 dan Pasal 73 UU Hak Asasi Manusia. Maka, tindakan sebagian anggota DPR yang amat sangat dengan KPK patut dikecam.

Persekongkolan elite politik untuk melawan upaya pemberantasan korupsi harus dilihat sebagai ancaman terhadap demokrasi dan kepentingan rakyat. Jika DPR benar-benar memusuhi pemberantasan korupsi, artinya mereka sedang memosisikan diri melawan rakyat Indonesia.

FEBRI DIANSYAH Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Kompas, 16 September 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan