Mustahil, Aparat Tidak Tahu Cukong Kayu Liar

Suatu saat, republik ini memiliki Departemen Kehutanan tetapi tidak memiliki hutan. Kementerian ini lalu hanya mengurusi kawasan hutan yang sudah tidak memiliki tegakan, alias tidak berpohon. Peristiwa aneh bin ajaib ini akan terjadi apabila bangsa ini tidak mampu menghentikan laju kerusakan hutan yang menurut Badan Planologi Departemen Kehutanan sudah mencapai 3,8 juta hektar per tahun. Padahal, kawasan hutan berdasarkan hasil padu serasi tata guna hutan kesepakatan-rencana tata ruang wilayah provinsi (TGHK-RTRWP) tahun 1999 luasnya sekitar 120.353.104 hektar, dan 101,79 juta hektar di antaranya dinyatakan rusak.

PENGHANCUR hutan paling dahsyat yang belakangan ini menyeruak adalah penebangan/pembalakan liar (illegal logging). Penyebabnya sangat sepele, kapasitas berlebih pada industri perkayuan yang merupakan gejala penyakit struktural di sektor kehutanan. Jika sudah over capacity, maka terjadi over demand, lalu mendorong permintaan yang besar dan akhirnya terjadi over cutting. Dengan demikian, gap antara permintaan dan pasokan yang resmi menjadi sangat besar. Maka, terjadilah aksi pembabatan kayu di hutan.

Aksi penggundulan hutan makin merajalela pascareformasi. Jaringan pelakunya sangat luas, melibatkan cukong kayu, oknum petugas/pejabat kehutanan, bea cukai, kepolisian, TNI, pelayaran rakyat, pemerintah daerah, kejaksaan, pengadilan, serta politisi. Green Peace pada tahun 2003 mencatat, 88 persen kayu yang masuk industri domestik didapat secara ilegal. Berarti industri kayu hanya menggunakan 12 persen bahan baku yang diperoleh secara legal.

Jumlah ini merupakan bagian dari 67 juta meter kubik produksi kayu liar tahun 2004. Praktik haram ini merugikan keuangan negara hingga Rp 30 triliun per tahun. Malah, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi mengungkapkan fakta unik, 50 persen industri pengolahan kayu selama tiga tahun terakhir bukannya kekurangan bahan baku melainkan berlebih. Padahal, jatah tebang kayu bulat dari hutan alam yang diizinkan Departemen Kehutanan hanya 5,7 juta meter kubik.

Dari mana asal bahan bakunya? Kelebihan pasokan itu menurut Elfian merupakan andil dari Dinas Kehutanan di daerah. Di era otonomi ini tiap daerah memberi kelonggaran kepada industri agar terus berproduksi walaupun usulan Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) belum disetujui Departemen Kehutanan.

Kegemparan terhadap kondisi hutan serta laju kerusakannya telah disampaikan berbagai pihak, termasuk kalangan lembaga internasional. World Bank, dalam salah satu laporannya, menyampaikan prediksinya bahwa hutan alam di Sumatera akan habis pada tahun 2005 apabila kecenderungan di atas tidak dihentikan. Hal yang sama akan terjadi pada hutan alam di Kalimantan tahun 2010.

Selama beberapa periode Menteri Kehutanan, mafia kayu ilegal yang jadi dalang illegal logging tidak pernah tersentuh tangan-tangan hukum negara. Mudah-mudahan gebrakan Menhut kali ini membuahkan hasil, harap Agung Nugraha, pengamat kehutanan yang telah bertahun-tahun menyaksikan keburaman sektor kehutanan.

PEMBERANTASAN penebangan liar sebenarnya tidak sulit dilakukan karena sindikat pelaku dan modus operandinya telah lama diketahui. Maraknya penebangan liar karena tidak ada kesungguhan dan keberanian menindak dan mengungkap secara terbuka mereka yang terlibat. Ini soal yang sederhana sekali, ungkap anggota DPR, Suripto, yang juga mantan Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan.

Nama-nama yang terlibat dalam penebangan liar telah lama diketahui, begitu pula modus operandinya. Tinggal tangkap saja, bukti sudah banyak. Ini soal kesungguhan untuk menangkap dalang dan mata rantainya, ujar Suripto. Malah, Gubernur Kalimantan Timur Suwarna Abdul Fatah pernah melontarkan gagasan untuk menembak mati cukong kayu yang menjadi dalang penebangan liar.

Di lapangan, mustahil aparat tidak mengenal dan mengetahui keberadaan para cukong kayu ilegal yang kini buron entah ke mana. Hasil penelusuran Kompas menggambarkan, kebersamaan aparat, preman, dan cukong kayu di Kalimantan sepanjang tahun 2001-2005 selalu terlihat di kota besar Kuching, Samarinda, Banjarmasin, Tawau, hingga kawasan Hulu Sungai Mahakam nun di pedalaman.

Dari kamp kayu, tempat hiburan malam, kantor instansi terkait hingga di rumah oknum aparat, keakraban sangat terjalin. Memberikan hadiah perlengkapan elektronik, bahkan meminjamkan mobil mewah, merupakan simbiosis alami antara cukong, preman, dan aparat pemerintah dalam lika-liku bisnis kayu.

Semisal, ucapan selamat datang Mr X di layar lebar di panggung kelab malam senantiasa muncul menyambut kedatangan para pemain kayu ilegal, baik itu cukong, tokoh preman, hingga oknum aparat. Saling tahu sama tahu, itulah yang terjadi dalam bisnis kayu gelap.

Kahar, bukan nama sebenarnya, warga Malaysia keturunan pendatang Sulawesi Selatan yang bekerja sebagai juru taksir (grader-Red) kayu, menunjukkan sejumlah hotel tempat berkumpulnya cukong kayu dan aparat di sudut Bandar Tawau di Kota Tawau dekat pelabuhan laut di daerah perbatasan Kalimantan Timur dan Negara Bagian Sabah itu.

Hampir setiap malam, terutama pada akhir pekan, para taipan kayu dan aparat memenuhi Hotel M yang merupakan hotel paling mewah di Tawau. Mereka-para cukong-menjamu aparat Malaysia dan Indonesia ataupun mengadakan pertemuan bisnis dengan mitra kerja mereka.

Kondisi serupa terlihat di Tarakan, Samarinda, Balikpapan, Pontianak, dan di kota kecil seperti Melak, kawasan pedalaman di hulu Sungai Mahakam, Sampit, ataupun Lubok Antu, Malaysia; dekat Putussibau, Kalimantan Barat. Para pegawai hotel dan masyarakat sekitar sudah mengenal mister anu para aparat dan preman yang sukses mengelola bisnis kayu ilegal.

Gaya hidup flamboyan merupakan citra para pebisnis kayu haram itu. Pelbagai jenis mobil mewah dari Mercedez seri ML, BMW Z3, dan terlebih lagi kendaraan double cabin, seperti Toyota Hilux Tiger built up, Mitsubishi Strada, dan Ford Ranger, berseliweran di kota hingga pedalaman Kalimantan, menandakan kejayaan bisnis kayu ilegal.

Pesta pora semalaman hingga pagi di sejumlah bar menjadi keseharian dalam kehidupan komunitas kayu haram. Andre seorang pebisnis kayu, mengaku, bisnis kayu tidak mungkin dilakukan secara legal. Pasalnya, pelbagai pungutan dan saling klaim lahan sangat merugikan pengusaha. Alhasil, manipulasi dokumen, penebangan di luar area, dan pengiriman log (gelondongan/kayu) melebihi laporan menjadi kiat untuk menutup kerugian.

Pemberian fasilitas dan bantuan bagi oknum aparat menurutnya adalah hal yang wajar karena mereka banyak membantu. Kompas berulang kali menyaksikan betapa oknum aparat yang turun dari pedalaman datang ke sejumlah kantor perusahaan kayu untuk mengambil perkakas elektronik, sepeda motor, mendapat bantuan uang, hingga meminjam mobil. Singkatnya, beragam fasilitas diberikan kepada mereka.

Belum lagi, para petinggi di tingkat provinsi pun mendapat fasilitas yang sama seperti setoran uang sejenis dana pembinaan pada masa Orde Baru yang jumlahnya mencapai puluhan juta dari setiap perusahaan per bulan. Tak hanya di daerah, Anto mengaku dirinya dan rekan sejawat terkadang membantu membayar cicilan mobil pejabat pusat yang terkait sektor kehutanan.

Praktik saling menolong antara cukong, preman, dan aparat merupakan bahasa baku bisnis kayu ilegal. Dari pusat hingga daerah, saling keterkaitan dalam bisnis kayu gelap ini dimaklumi mereka.

Kompas juga pernah mendapati sebuah kamp penumpukan kayu di Negara Bagian Sarawak, Malaysia, di daerah perbatasan Kalimantan Barat, yang secara terang-terangan mengambil kayu dari wilayah Indonesia. Truk-truk pengangkut log sepanjang hari mengangkut kayu dari wilayah Kalimantan Barat ke kamp tersebut. Ironisnya, sejumlah aparat Indonesia justru sehari-hari tinggal dan beraktivitas di wilayah Malaysia, di kawasan kamp kayu gelap itu.

PRAKTIK haram seperti itu terjadi secara meluas di republik ini. Dampaknya, hutan menjadi hancur serta penduduk yang hidup di sekitarnya pun terimbas kehancuran itu. Bukti tentang ini, misalnya, ditemukan melalui penelitian yang baru saja berlangsung di Kabupaten Berau dan Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, oleh Center for International Forestry Research (CIFOR) and The Nature Conservancy (TNC).

Peneliti CIFOR, Krystof Obidzinski, mengungkapkan, kegiatan kehutanan ilegal telah menimbulkan kerugian anggaran di Berau dan Kutai Timur yang cukup signifikan. Pada tahun 2003, Kabupaten Berau kehilangan pemasukan Rp 103 miliar dari dana reboisasi (DR), provisi sumber daya hutan (PSDH), dan retribusi produksi serta retribusi pengelolaan yang merupakan pungutan pemerintah kabupaten untuk perkayuan. Dalam tahun yang sama, Kutai Timur juga kehilangan Rp 126 miliar. Pendapatan ini masuk ke kantung perorangan atau institusi pemerintah sebagai uang sogok.

Di lain pihak, harus diakui kegiatan liar ini juga menumbuhkan kesempatan kerja, khususnya untuk tenaga kerja kasar (tanpa keterampilan). Pada tahun 2003, kegiatan liar di Berau menghasilkan 4.000 kesempatan kerja, sementara kegiatan berizin menciptakan 2.000 kesempatan kerja.

Di Kutai Timur, sektor kehutanan legal memberikan 5.500 kesempatan kerja. Di kabupaten ini dikeluarkan izin pemanfaatan kayu (IPK) pembukaan lahan dalam jumlah yang tidak sepadan karena hanya memberikan kesempatan kerja dalam jangka pendek. Sementara kegiatan kehutanan liar menciptakan 2.500 kesempatan kerja.

Salah satu alasan utama terjadinya praktik haram di Berau dan Kutai Timur karena kegiatan itu menghasilkan banyak uang. Nilainya mencapai lebih dari Rp 100 miliar setahun untuk masing-masing kabupaten. Keinginan cepat kaya lebih kuat dari ketakutan akan diproses secara hukum, ungkap ilmuwan CIFOR yang mengkhususkan diri dalam penelitian pembalakan liar itu.

Yang perlu dilakukan sekarang adalah menjadikan kegiatan kehutanan ilegal di kedua kabupaten itu lebih tinggi biayanya, sehingga keuntungannya berkurang, dengan meningkatkan penegakan hukum serta inisiatif lainnya. Berbagai bentuk inisiatif tersebut dapat berupa pengurangan kapasitas lebih dari industri pengolahan kayu, melakukan perjanjian perdagangan kayu bilateral, menciptakan insentif bagi produsen kayu melalui rancangan sertifikasi, serta mendukung tekanan akar rumput terhadap sektor kehutanan agar lebih akuntabel dan transparan. (ong/amr/dmu)

Sumber: Kompas, 5 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan