Musim Bersih-bersih Kepolisian
Markas Besar Kepolisian RI kini berkejaran dengan waktu untuk membersihkan diri dari polisi nakal. Banyak perwira tersangkut dan harus digeser dari barisan.
Ini adalah bulan sibuk bagi penghuni lantai satu dan tiga Gedung Kopatama, Markas Besar Kepolisian RI, di Jalan Trunojoyo, Jakarta. Di dua lantai itulah dua kesatuan yang paling disegani oleh para polisi--Inspektorat Jenderal Pengawasan Umum dan Divisi Profesi dan Pengamanan--berkantor. Di bulan ini, kedua kesatuan yang menangani kasus internal kepolisian itu harus berkejaran dengan waktu agar laporan mereka soal polisi nakal dapat diterima secepatnya oleh Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutanto, yang berkantor di lantai dua.
Setidaknya ada tiga kasus yang mereka tangani di bulan ini: pemeriksaan Kepala Kepolisian Resor Makassar Ajun Komisaris Besar Bambang Triyanto karena memberikan izin drag race yang menelan delapan korban jiwa, pemeriksaan Kepala Polda Sulawesi Tenggara Brigadir Jenderal Edhy Soesilo dalam kasus pencabulan 14 polisi wanita, dan Kepala Polda Kalimantan Timur Inspektur Jenderal Djosua P.M. Sitompul terkait dengan kaburnya tersangka ilegal logging, Mayor Jenderal (Purnawirawan) Gusti Sjaifuddin.
Bersih-bersih--jika memang mau memakai istilah ini--memang rajin dilakukan oleh Sutanto semenjak resmi memegang tongkat komando Kepolisian Negara RI pada 9 Juli 2005. Jenderal Sutanto telah melakukan enam kali mutasi yang melibatkan tak kurang dari 44 perwira tinggi dan 200-an perwira menengah. Dalam catatan Tempo, selama setahun kepemimpinannya, 22 kepala kepolisian daerah dimutasi. Dari jumlah itu, sekarang tinggal tujuh kepala polda yang dari masa kepemimpinan Jenderal Da'i Bachtiar.
Memang kepolisian tidak pernah mengaitkan mutasi ini dengan keinginan Sutanto untuk membersihkan jajarannya. Tapi hal itu dapat dibaca oleh orang luar. Mutasi itu dilakukan agar mereka yang duduk di posisi baru bisa meng-endorse keinginan Sutanto, kata Kriminolog dari Universitas Indonesia, Erlangga Masdiana.
Konon karena niat itulah pada awal Juni lalu ia mengangkat Komisaris Jenderal Jusuf Manggabarani sebagai Inspektur Pengawasan Umum dan Inspektur Jenderal Gordon Mogot sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan. Jusuf Mangga itu dikenal berani dan tegas. Tidak peduli senior, atasan, kalau salah, ya, disikat, kata seorang perwira tinggi di lingkungan Mabes Polri.
Saat menjabat Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan, Jusuf menjebloskan tiga perwira polisi ke dalam tahanan terkait dengan dugaan penyuapan dalam pemeriksaan pembobol Bank BNI. Sementara itu, Gordon Mogot, teman seangkatan Sutanto, saat menjabat Kepala Polda Sulawesi Utara pernah menangkap 42 anggotanya karena diduga menjadi backing illegal logging. Ibarat sapu, penegak hukum (polisi) harus bersih kalau ingin benar-benar membersihkan, kata Gordon kepada Tempo, Senin lalu.
Dalam menyapu lembaga kepolisian dari kotoran, dua lembaga yang masing-masing dipimpin oleh Jusuf dan Gordon itulah yang menjadi andalah. Inspektorat Jenderal Pengawasan Umum bertugas mengawasi dan mengoreksi tingkah laku polisi. Dalam mengoreksi, Inspektorat Jenderal Pengawasan Umum bisa menegur polisi. Tapi, jika tindakan itu disengaja, lembaga ini akan melimpahkannya ke Divisi Profesi dan Pengamanan untuk disidik dan sanksi.
Di bawah Gordon, Divisi Profesi dan Pengamanan memiliki delapan asas prioritas: narkotik, kejahatan dengan kekerasan, transnasional, korupsi, judi, premanisme, penambangan liar, dan pembalakan liar.
Divisi Profesi dan Pengamanan Polri saat ini, menurut Gordon, tengah menangani kasus yang melibatkan puluhan perwira menengah dan beberapa perwira tinggi Polri yang nakal. Umumnya keberpihakan penyidik dalam kasus yang sedang ditangani, kata Gordon. Yang paling menonjol, menurut Gordon, adalah penebangan liar dan korupsi.
Namun, tidak semua orang senang dengn langkah Gordon dan Jusuf ini. Beberapa perwira menengah kepolisian justru menilai Sutanto tidak tepat dalam menempatkan orang-orang untuk posisi tertentu. Dalam menempatkan seseorang untuk jabatan tertentu, Sutanto hanya berdasarkan kepercayaan saja. Sementara yang dipercaya tidak menggunakan kepercayaan yang diamanatkan, kata seorang perwira menengah kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Gordon sendiri menolak berkomentar soal kritik itu. Yang terpenting adalah saya bekerja dan mengamankan perintah Kepala Polri. Penilaian orang itu terserah saja, kata Gordon. erwin dariyanto
Sumber: Koran Tempo, 22 Agustus 2006