Mungkinkah Korupsi KPU Dicegah?

Insiden penangkapan anggota KPU Mulyana W Kusumah karena upaya menyuap petugas BPK sebenarnya hanyalah 'permukaan' dari masalah korupsi pengadaan barang pemilu yang melibatkan KPU, baik di tingkat nasional maupun lokal. Peristiwa ini seharusnya tidak begitu mengejutkan bila kita tinjau kembali sistem dan proses pengadaan barang logistik Pemilu 2004 yang sarat dengan keganjilan dan kontroversi. Ini mungkin baru letupan kecil dari serangkaian bom waktu yang belum meledak.

Korupsi dalam pengadaan barang logistik pemilu sebenarnya muncul dalam setiap penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Bahkan penyalahgunaan dalam pengadaan barang logistik pemilu sudah mencuat ke permukaan pada Pemilu 1999 yang juga melibatkan beberapa anggota KPU pada saat itu. Seharusnya para pembuat Undang-undang belajar dari pengalaman Pemilu 1999 dan mencermati upaya untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan yang sama pada Pemilu 2004 yang skala anggarannya jauh lebih besar daripada Pemilu 1999.

Aturan mengenai pengadaan barang logistik pemilu seharusnya disusun dengan rinci dan ketat karena sifat pengadaan barang logistik pemilu berbeda dengan pengadaan barang dan jasa untuk keperluan pembangunan lain yang dilakukan oleh pemerintah. Beberapa prinsip dasar pengadaan barang seperti efisien, efektif, kualitas memang menjadi prinsip dasar pengadaan barang logistik pemilu. Namun konteks waktu dan keamanan juga menjadi pertimbangan penting dalam pengadaan barang logistik pemilu.

Sayangnya, aturan mengenai pengadaan dan distribusi perlengkapan pemilu tidak dipaparkan secara rinci bukan sesuatu yang terlalu mengejutkan mengingat sistem pengadaan barang logistik pemilu yang cukup longgar. Bagi saya, sebenarnya peluang korupsi dalam pengadaan barang logistik pemilu sudah dapat diprediksikan sejak proses pembuatan UU No 12/2003 tentang Pemilu dan UU No 23/2003 tentang Pemilu Presiden. Bahkan kekhawatiran mengenai korupsi dalam pengadaan barang logistik pemilu sudah menjadi penyakit kronis pemilu kita yang mulai terkuak lebar pada Pemilu 1999 yang juga menimpa beberapa anggota KPU saat itu.

Penyelenggaraan pemilu di negara sebesar Indonesia dengan jumlah pemilih yang begitu besar membutuhkan sistem pengadaan barang logistik pemilu yang cermat yang tidak saja berdasarkan pada prinsip efisiensi, tepat waktu dan tepat sasaran, tetapi juga upaya agar proses pengadaan barang tersebut berlangsung secara transparan dan akuntabel. Prinsip pengadaan barang untuk pemilu lebih sensitif daripada pengadaan barang untuk kegiatan yang lain karena proses maupun kualitas barang logistik tertentu seperti surat suara, tinta, kotak suara, bilik suara, dapat memengaruhi hasil pemilu.

Sayang sekali, pengalaman buruk korupsi pengadaan barang yang terjadi pada Pemilu 1999 sama sekali tidak dijadikan pelajaran oleh para pembuat UU Pemilu maupun UU Pemilu Presiden sehingga tidak dirancang suatu sistem yang preventif dan semaksimal mungkin dapat meminimalisir peluang korupsi dalam pengadaan barang logistik pemilu. Sejak dini, beberapa organisasi masyarakat sipil seperti Cetro, ICW dan Transparancy International Indonesia telah mengusulkan agar proses pengadaan barang yang diatur secara transparan dan akuntabel diadopsi dalam UU Pemilu dan UU Pemilu Presiden agar KPU langsung dapat melaksanakan aturan tersebut dalam proses pengadaan barang logistik Pemilu 2004. Desakan ini tidak digubris DPR yang dalam UU Pemilu dan UU Pemilu Presiden hanya mencantumkan satu pasal singkat mengenai pengadaan dan distribusi perlengkapan pelaksanaan pemilu. Pasal ini tidak merinci syarat-syarat pengadaan barang seperti proses tender, prasyarat kualitas beberapa logistik kunci seperti surat suara, tinta dan kotak suara serta tidak menggariskan ancaman sanksi bagi pelanggaran terhadap aturan yang telah digagas. Dalam Pasal 43 UU No 12/2003 tentang Pemilu hanya digariskan bahwa pengadaan dan pendistribusian surat suara beserta perlengkapan pelaksanaan pemilu dilaksanakan secara cepat, tepat dan akurat dengan mengutamakan aspek kualitas, keamanan dan hemat anggaran. Selain itu ditetapkan bahwa pengadaan surat suara beserta perlengkapan pelaksanaan pemilu dilaksanakan oleh KPU.

Pada awalnya KPU dalam Keputusan KPU No 186/2002 telah menetapkan Pakta Integritas yang disusun oleh Transparency International Indonesia sebagai pedoman pengadaan barang dan jasa untuk perlengkapan pemilu. Pakta Integritas ini mengharuskan adanya keterlibatan pihak ketiga sebagai tim independen untuk melakukan monitoring jalannya pengadaan barang, yang terdiri dari wakil KPU, wakil pemasok dan wakil dari masyarakat independen. Pakta ini juga mengharuskan agar para pihak yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa menandatangani Pakta Integritas berupa janji untuk tidak melakukan praktik KKN dan bersedia untuk dimintai keterangan oleh publik.

Namun KPU akhirnya gagal mengadopsi Pakta Integritas tersebut dan memilih untuk mengacu pada Keppres No 18/2000 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa oleh Instansi Pemerintah yang sebenarnya disusun untuk proses pengadaan barang yang bersifat umum dan lebih mengacu pada barang dan jasa untuk pembangunan, bukan untuk Pemilu. Keppres ini juga dijadikan dasar bagi KPU untuk memilih metode 'penunjukan langsung' dalam pengadaan barang logistik pemilu karena alasan keterbatasan waktu.

Tuntutan agar KPU membuka proses pengadaan barang logistik pemilu kepada publik ditolak oleh pimpinan KPU dengan alasan bahwa undang-undang tidak mewajibkan proses akuntabilitas publik untuk proses pengadaan barang dan jasa. DPR pun, terutama Komisi II tidak terlalu ketat mengawasi proses pengadaan barang dan jasa untuk Pemilu 2004. Berbagai acara dengar pendapat dengan KPU terkesan bersifat simbolis dan basa-basi.

Yang mengherankan bagi saya adalah mengapa kita harus jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya setelah Pemilu 1999? Patut disyukuri bahwa sekarang ada lembaga penegakan penghapusan korupsi seperti KPK, namun apakah kita harus selalu membiarkan korupsi sampai terjadi sebelum dibongkar dan ditindak KPK ? Tidak dapatkan kita berupaya untuk membangun sistem pencegahan korupsi dalam pengadaan barang logistik pemilu yang semaksimal mungkin dapat meminimalisir penyalahgunaan dalam proses pengadaan barang dan jasa untuk pemilu ? Penegakan sistem pencegahan sebenarnya jauh lebih efektif dalam mengikis tindak pidana korupsi karena kita tidak bisa hanya bergantung pada kapasitas moral setiap individu pejabat KPU tanpa adanya sistem yang dapat mengendalikan kinerja mereka.

Namun yang lebih disayangkan adalah pendapat sementara pihak, terutama dari pihak parpol, yang mengusulkan agar KPU dibubarkan dan dikembalikan fungsinya seperti sebelum Pemilu 1999. Artinya penyelenggaraan pemilu diselenggarakan oleh pemerintah atau oleh KPU yang beranggotakan wakil parpol. Hal ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan prospek KPU yang lebih bersih. Latar belakang profesi anggota KPU hanya relevan untuk menjamin KPU sebagai wasit yang tidak berpihak pada peserta pemilu. Namun hal ini sama sekali tidak menjamin adanya KPU yang transparan dan akuntabel. Untuk itu sebuah sistem proses pengadaan barang dan jasa serta pengambilan keputusan internal KPU yang transparan, akuntabel, dan demokratis harus disusun dan ditegakkan sebelum penyelenggaraan Pemilu 200. (Smita Notosusanto, Peneliti Senior Cetro, Jakarta)

Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 13 April 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan