Mulyana, Korban Konspirasi?
Komitmen Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK dalam menanggulangi korupsi harus mendapat dukungan penuh dari bangsa dan negara, termasuk terhadap dugaan korupsi dan suap oleh Komisi Pemilihan Umum. Apa yang dialami oleh seorang bernama Mulyana W Kusumah adalah sesuatu yang tragis. Namun, apakah ia bukan korban konspirasi?
Sebagai pejuang hak asasi manusia, juga penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, nama Mulyana termasuk sosok yang dikenal di kalangan akademisi, praktisi, bahkan pengamat hukum. Sebenarnya realitas yang menyerupai kasus Mulyana diduga terjadi di hampir berbagai tingkat kehidupan sosial ekonomi Indonesia yang memang dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki signifikansi dalam kuantitas korupsinya. Berbagai strata dan level sosial, birokrasi maupun kelembagaan negara dan swasta, korupsi dan suap sudah menjadi bagian yang rutin sehingga perbuatan tercela itu dianggap sebagai suatu justifikasi perbuatan yang ilegal.
Akibatnya, perbuatan suap dari kacamata kekuasaan dianggap sesuatu yang sah sebagai legal bribery, sebaliknya dari pendekatan hukum dan masyarakat suap tetap dianggap ilegal. Dari sisi penyuapan, norma ini memang tidak dapat diperdebatkan sifatnya. Dalam konteks yang lebih luas permasalahan yang dihadapi Mulyana harus dicermati sebagai suatu persoalan sosiologis, yaitu apakah ia bukan sebagai korban (victim of conspiracy).
Polemik lain yang berkembang dalam kasus Mulyana adalah justifikasi perlindungan hukum Khairiansyah, auditor BPK, yang melaporkan kasus suap ini, serta bagaimana perlakuan yang adil dalam kerangka penegakan hukum pemberantasan korupsi. Dari uraian polemik ini kita perlu memerhatikan beberapa pendekatan untuk mencermati permasalahan ini.
PERTAMA, delik-delik suap yang ada dalam KUHP sebagai warisan jajahan Belanda meski telah mengatur secara terperinci, dianggap sebagai delik impoten dalam kerangka pemberantasan korupsi. Betapa tidak, kehendak sarana legislasi memberantas korupsi sangat tinggi, tetapi sangat rentan tingkat kesulitan pembuktiannya, akibatnya lagi delik-delik ini sekadar kekuatan simbolik yang menghiasi sistem regulasi hukum pidana.
Delik suap selama ini hanya mengatur Passief Omkoping (Suap Pasif), artinya memberikan sarana pemidanaan hanya terbatas kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji berkaitan dengan kekuasaan yang melekat jabatannya atau yang tidak berhendak atau berkehendak yang bertentangan dengan kewajibannya. Melihat berbagai kelemahan inilah, sewaktu pertama kali delik ini dimasukkan ke dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, makna suap diperluas. Introduksi norma regulasi pemberantasan korupsi telah menempatkan Actief Omkoping (Suap Aktif) sebagai subyek tindak pidana korupsi.
Dengan demikian sejak berlakunya UU No 3 Tahun 1971, juga perubahannya melalui UU No 31 Tahun 1999 dan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pelaku delik Suap Aktif (yang memberi suap) dan delik Pasif (yang menerima suap) adalah sebagai subyek tindak pidana korupsi dan penempatan status sebagai subyek ini tidak memiliki sifat eksepsionalitas yang absolut. Oleh karena itu, aturan tentang delik suap tidak memberikan eksplisitas norma pengecualian terhadap saksi dan pelapor yang wajib dilindungi.
Kedua, dari pendekatan historis, perlindungan hukum terhadap saksi dan pelapor adalah imperatif sifatnya, bahkan norma reward menjadi sandaran legislasi yang patut dihargai. Namun, perlindungan hukum tidak memiliki eksepsionalitas yang absolut dan tidak berlaku terhadap saksi atau pelapor yang terlibat delik suap. Oleh karena itu, prinsip Lex Certa adalah norma mengikat yang tidak dapat diinterpretasikan lain dari maksud diaturnya substansi norma tersebut. Pasal 31 UU No 31 Tahun 1999 maupun Penjelasannya tidak memberikan perlindungan hukum terhadap saksi dan pelapor yang terlibat delik suap.
KPK, sesuai dengan Pasal 15 UU No 30 Tahun 2002 maupun Penjelasannya, wajib memberikan perlindungan terhadap saksi dan pelapor mengenai terjadinya tindak pidana korupsi. Meski demikian, asas perlindungan ini bersifat physically protection (keamanan, evakuasi, atau perubahan identitas). Selain itu, tentunya perlindungan hanya berlaku terhadap non-criminal protection, artinya tidak berlaku terhadap saksi atau pelapor yang memang terlibat dugaan korupsi atau suap itu sendiri. Saksi dan pelapor yang sekaligus pelaku suap akan eksis sebagai beyond the law di balik justifikasi alasan norma dan asas perlindungan hukum. Bayangkan saja, dikhawatirkan institusi penegak hukum akan menjadi kolektor dan protektor pelaku suap yang batal deal-nya.
Ketiga, pada delik suap tidaklah selalu terikat persepsi telah terjadinya pemberian hadiah (uang), tetapi dengan adanya pemberian janji saja adalah tetap obyek perbuatan suap. Selain itu, adanya poging (percobaan) suap saja sudah dianggap sebagai delik selesai, artinya adanya prakondisi sebagai permulaan pelaksanaan dugaan suap itu sudah dianggap sebagai tindak pidana korupsi. Jadi ada inisiatif untuk melakukan/meminta suap, sedangkan kompetensi untuk mengetahui inisiatif siapa dari pelaku suap hanyalah pihak yang memiliki kewenangan dominan dalam kaitan audit. Baik buruknya hasil audit tidak mungkin diketahui pihak eksternal, selain informasi orang dalam yang melakukan investigasi audit itu sendiri. Tidak mungkin pula hasil audit yang baik mencuatkan soal suap ini, sebaliknya prakondisi suap timbul dari informasi buruknya hasil audit. Dengan demikian, inisiatif dan insider information sebagai penerima suap sekaligus sebagai pemberi janji adalah subyek tindak pidana korupsi.
Keempat, selain Mulyana W Kusumah, apabila penerima suap dan pemberi janji dilepaskan statusnya sebagai subyek tindak pidana korupsi, KPK mengabaikan norma dan asas perlindungan hukum yang benar atau due process of legal protection, bahkan tidak akan terjadi suatu equal treatment of justice dalam rangka penegakan hukum. Dalam suatu perkara pidana mengesampingkan seseorang maupun perkaranya sebagai subyek tindak pidana dengan alasan demi kepentingan umum hanya dapat dibenarkan berdasarkan Asas Oportunitas yang hanya dimiliki oleh Jaksa Agung sesuai Pasal 35 Huruf (c) UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung, sedangkan KPK sama sekali tidak memiliki kewenangan demikian.
SELAIN itu, formulasi jebakan dan penyamaran (undercover) untuk mengungkapkan dugaan tindak pidana korupsi ini di luar mekanisme hukum yang berlaku. Pola ini hanya dimiliki dalam mengungkapkan perkara tindak pidana Narkotika dan Psikotropika melalui Pasal 68 UU No 22 Tahun 1997 dan Pasal 55 Huruf (a) UU No 5 Tahun 1997. Lagi pula, pola jebakan dan undercover ini hanya dilakukan oleh aparatur penegak hukum itu sendiri, bukan dilakukan non-law enforcement officer seperti halnya BPK. Penegak hukum yang melakukan undercover ini dinamakan agent provocateur yang seharusnya adalah uitlokker (pembujuk) sebagai subyek tindak pidana atas dasar Pasal 55 Ayat (1) KUHP, hanya saja pola ini dikesampingkan berdasarkan Asas Oportunitas yang tidak dimiliki oleh KPK.
Dalam kasus Mulyana W Kusumah ini, Khairiansyah bukanlah subyek perlindungan hukum, tetapi subyek tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud UU. Oleh karena itu, apabila tetap diberikan perlindungan hukum, Mulyana hanya sebagai hasil pola orang yang dikorbankan oleh suatu konspirasi (victimized of conspiracy) yang menurut sistem Anglo Saxon memiliki justifikasi sebagai alasan adequate meniadakan hukuman (punishment) karena penegak hukum dianggap melakukan illegal secured evidence.
Memang, prinsip equal treatment for justice tidak memiliki aplikasi sama dan diskriminatif untuk menentukan subyek tindak pidana korupsi. Karena itu, timbul kesan adanya victimized of conspiracy pada diri Mulyana W Kusumah. Sebaliknya KPK sebagai motivator pemberantasan korupsi memerlukan dukungan kebenaran norma dan asas due process of law enforcement dengan tetap memerhatikan prinsip Rule of Law!(Indriyanto Seno Adji Guru Besar dan Pengajar Program Pascasarjana Universitas Indonesia Bidang Studi Ilmu Hukum)
Tulisan ini diambil dari Kompas, 27 April 2005