Muhammadiyah di Tengah Konflik dan Korupsi
Demokratisasi membuka borok korupsi di tubuh bangsa ini, bagai sumur tanpa dasar. Jasa terhadap negara seolah memberi hak menerima miliaran rupiah di tengah banyak rakyat busung lapar, bunuh diri akibat gagal bayar SPP, dan puluhan gedung sekolah hampir roboh. Moral dan kepatutan berbangsa mungkin sudah mati.
Kerakusan ekonomi dan politik yang melibatkan aura ketuhanan merupakan akar konflik disertai kekerasan yang terus menjatuhkan korban. Sementara konflik melanda hampir semua partai dan organisasi Islam. Akankah Muktamar Ke-45 Muhammadiyah berbuah konflik?
Pertanyaan itu relevan saat mayoritas penduduk terbagi sebagai pengikut Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), melibatkan keduanya dalam perebutan kursi kekuasaan seperti dalam pilpres 2004 dan semakin seru dalam pilkada Juni lalu.
Ironisnya para calon kepala daerah cenderung menghamburkan miliaran rupiah saat banyak rakyat busung lapar, menandai hilangnya moral kepatutan dalam hidup berbangsa, termasuk dari aktivis gerakan keagamaan.
Tradisi puritan
Etika puritan Muhammadiyah seharusnya menghasilkan standar moral politik dan birokrasi pemerintahan bagi aktivisnya. Sayang, standar moral (akhlak) bisa dimanipulasi berdasar kalkulasi dosa-pahala, kedaruratan, dan kepentingan lebih sakral. Tanpa rekonseptualisasi standar moral dari wahyu Tuhan dalam sistem publik secara fungsional dan pragmatis, ke-mati-pupus-an moral kemanusiaan dan ketuhanan akan kian sempurna hampir tanpa jalan keluar.
Muhammadiyah, seperti gerakan Islam lain, tampaknya gagal mendakwahkan kesalehan hidup berbangsa dan berperadaban. Sayup-sayup terdengar rivalitas calon yang paling berpeluang menduduki pucuk pimpinan yang di masa lalu hampir tak terdengar. Stigmatisasi calon lain sebagai sekuler, antek Barat, hingga agen Yahudi mulai berkumandang dengan menempatkan diri sendiri sebagai pembela kebenaran dan pengawal tradisi puritan. Gejala ini lumrah di tengah arus politik kekuasaan yang menjanjikan fasilitas hidup yang tak bisa dipenuhi gerakan kedermawanan amal-saleh.
Lebih strategis jika Muhammadiyah terlibat aktif membela kepentingan mayoritas rakyat yang didera kesulitan hidup, gizi buruk, pendidikan yang mahal. Gerakan dakwah secara pragmatis difungsikan bagi peningkatan kualitas hidup rakyat dan pemulihan moral kemanusiaan. Tidak penting apakah langkah itu memerlukan tafsir konservatif, liberal, progresif, atau transformatif, tetapi bagaimana menyusun doktrin moral (akhlak) dalam sistem ekonomi-politik yang bisa dikontrol secara publik (rahmatan lil alamien) di tengah luas-sebaran korupsi.
Dalam usianya yang satu abad, Muhammadiyah perlu mengembangkan praktik ritual bervisi kemanusiaan demokratis dan terbuka. Radikalisasi keagamaan adalah akibat tradisi keagamaan tidak seluruhnya kompatibel dengan problem kemanusiaan dan kebangsaan. Dari sini, pilkada bisa memicu konflik saat kepentingan nyata warga mudah dimanipulasi elite lokal bagi agenda politiknya sendiri dengan melibatkan doktrin keagamaan yang sakral tanpa ruang negosiasi.
Habitat dan jaringan sosial Muhammadiyah yang relatif mapan dan terus diperluas yang tidak dimiliki partai politik bisa menyeret gerakan ini ke dalam pergulatan politik dan konflik. Sementara belum tersedia konsep dan sistem hubungan politik kekuasaan dan praktik keagamaan membuat gerakan Islam sering menghadapi pilihan dilematis saat elite aktivisnya terlibat perebutan kekuasaan politik.
Polarisasi
Muncul gejala