Mozaik Kasus Komisi Pemilihan Umum; Tak Perlu Demo, Percayakan pada Proses Pengadilan

Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tanggal 27 Desember 2002 telah menangani tindak pidana korupsi di lingkungan Komisi Pemilihan Umum.

Ibarat menyusun sebuah mozaik, KPK bekerja dengan mengumpulkan keping demi keping tentang pengungkapan kasus korupsi di KPU agar mendapat gambaran jelas. Semua ini bermula dari dugaan suap yang dilakukan anggota KPU, Mulyana W Kusumah, kepada Khairiansyah, auditor Badan Pemeriksa Keuangan, sebesar Rp 300 juta di salah satu hotel di Jakarta.

Kasus berlanjut pada dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa di KPU, lalu melebar dengan praktik pengumpulan uang rekanan yang mendapat atau akan mendapat proyek pengadaan barang dan jasa dalam rangka penyelenggaraan pemilihan umum.

Mungkin uang yang sudah terkumpul tersebut diterjemahkan sebagai dana taktis. Dalam kaitannya dengan pengadaan barang dan jasa tersebut pemberian uang dari para rekanan itu bisa dikualifisir sebagai perbuatan yang tercela, bahkan bisa menjurus ke penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang.

Praktik pemberian uang tersebut biasanya disebut uang pelicin, untuk melicinkan keluarnya persetujuan penunjukan sebagai pelaksana proyek pengadaan barang dan jasa. Jadi, kemungkinan ada hubungan clausal antara uang pelicin dan pelaksanaan proyek barang dan jasa. Namun, itu tetap harus dibuktikan baik oleh penyidik maupun jaksa penuntut umum nantinya di sidang pengadilan.

Mark up
Tidak mustahil pelaksana proyek melakukan mark up harga barang dan jasa. Kalau praktik mark up itu benar-benar terjadi dan terbukti, betapa bejatnya moral mereka yang terkait pada proyek tersebut.

Sudah menerima uang pelicin yang biasa diterjemahkan sebagai uang haram, masih membiarkan praktik mark up berlangsung. Bisa diperkirakan bahwa kualitas pengadaan barang seperti kotak suara, tinta, surat suara juga bisa buruk sekali.

Karena tinta luntur, kelingking tangan para pemilih juga tidak berbekas tinta dan bisa saja terjadi pemilih tersebut menyalahgunakan dengan pergi ke tempat pemungutan suara (TPS) lain dan menggunakan haknya mencoblos surat suara salah satu kontestan dalam pilihan presiden yang lalu.

Yang mengerikan adalah apabila terjadi mark up suara hasil pemilihan presiden. Namun, pelaksanaan pemilu sudah diawasi secara ketat oleh sekian banyaknya lembaga masyarakat baik dari pemerintah maupun lembaga-lembaga swasta, sedangkan hasilnya sudah disahkan oleh Komisi Konstitusi.

Jadi, KPK harus tetap memusatkan perhatiannya pada menyidik perbuatan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa dan tugas menetapkan status kepemilikan gratifikasi yang telah dilaporkan sesuai Pasal 16, 17, dan 18 UU No 30/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Gratifikasi adalah uang hadiah yang diterima pegawai negeri, termasuk penyelenggara negara, di luar gajinya.

Dengan ditetapkannya Nazaruddin Sjamsuddin sebagai tersangka yang langsung ditahan dan demikian pula Mulyana W Kusumah yang sudah lebih dahulu ditahan, mozaik kasus KPU mulai tampak wajahnya sedikit demi sedikit.

Sesuai dengan UU No 30/2002, kedudukan mereka adalah sebagai pejabat negara. Sedangkan khusus bagi Nazaruddn Sjamsuddin, di samping sebagai pejabat negara adalah juga termasuk golongan yang disebut Yang Amat Terpelajar. Sebutan tersebut lazim dipakai saat ada acara wisuda di universitas. Apabila Nazaruddin Sjamsuddin pada saatnya diajukan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi oleh jaksa/penuntut umum, sebutan Yang Amat Terpelajar bisa berubah menjadi Yang Amat Tidak Terpelajar. Sayang sekali! Istilah Yang Amat Tidak Terpelajar memang tidak dikenal di dunia perguruan tinggi.

Tahap penuntutan
Sekarang posisi hukum Nazaruddin Sjamsuddin masih sebagai tersangka dan masih berstatus tahanan. Posisi tersebut bisa saja berubah menjadi terdakwa. Artinya, tahap penyidikan sudah dianggap selesai dan kemudian dilanjutkan ke tahap penuntutan.

Yang menjadi pertanyaan adalah berapa lama Mulyana W Kusumah dan Nazaruddin Sjamsuddin sudah ditahan dan masih berapa lama lagi ditahan sebab undang-undang membolehkan untuk memperpanjang masa tahanan. Hal tersebut penting sekali karena menyangkut hak asasi manusia dan pada saat ada putusan pengadilan dijadikan dasar hukum dalam putusannya yang berbunyi: dihukum sekian tahun dikurangi masa tahanan.

Di samping itu, KPK harus hati-hati karena bisa digugat di pengadilan dalam acara praperadilan sesuai dengan Pasal 77 dan 78 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Ditegaskan dalam Pasal 38 UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi bahwa Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan dalam KUHAP berlaku juga bagi penyelidik, penyidik dan penuntut umum pada KPK.

Apabila ketentuan tersebut diterapkan bagi tersangka Nazaruddin Sjamsuddin dan Mulyana W Kusumah, penahanan hanya berlaku paling lama dua puluh hari yang dapat diperpanjang oleh penuntut umum paling lama empat puluh hari. Setelah waktu enam puluh hari, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum. Penuntut umum berwenang melakukan penahanan lanjutan paling lama dua puluh hari.

Yang menjadi pertanyaan apakah penyidik KPK sudah selesai dalam tugas penyidikannya terhadap kedua tersangka KPU tersebut? Pasal 8 KUHAP menegaskan bahwa dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.

Sedangkan menurut Pasal 49 UU No 30/2002, setelah penyidikan dinyatakan cukup, penyidik membuat berita acara untuk disampaikan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk segera ditindak lanjuti.

Siapa penuntut umum?

Timbul masalah lagi yang perlu diputuskan KPK, yaitu siapa penuntut umumnya? Apakah penuntut umum menurut KUHAP atau penuntut umum menurut Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi?

Kalau mengacu pada Pasal 13 KUHAP, penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh UU untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Terdapat dua ketentuan dalam UU No 30/2002, yaitu pada Pasal 21 Ayat (4) dan Pasal 51 Ayat (3). Pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum (Pasal 21 Ayat (4)), sedangkan Pasal 51 Ayat (3) menyatakan penuntut umum pada KPK adalah jaksa penuntut umum (jaksa/PU).

Menurut pendapat saya, yang benar adalah jaksa/PU vide Pasal 51 Ayat 1, 2, 3 UU No 30/2002 sebagai suatu Lex Specialis.

Demikian pula mengenai adanya dua ketentuan dalam satu UU, yaitu pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum, sedangkan di lain pasal dinyatakan penuntut umum adalah jaksa/penuntut umum. Dari segi sistematika UU yang perlu dilihat adalah pembagian BAB-nya.

Mengenai pimpinan KPK sebagai penyidik dan penuntut umum masuk Bab IV tentang Tempat Kedudukan, Tanggung Jawab, dan Susunan Organisasi. Jadi pengaturan yang masih bersifat umum. Sedangkan mengenai jaksa/PU masuk dalam Bab VI tentang Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan, khususnya Pasal 51 tentang Penuntutan. Pengaturan yang bersifat khusus inilah yang dipegang dan itu yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat.

Namun, dilihat dari teknik perundang-undangan sebenarnya tidak sempurna. Dalam perundang-undangan ditegaskan bahwa penuntut umum adalah seorang jaksa. Jabatan tersebut adalah jabatan profesi dan dilaksanakan secara profesional. Tidak sembarang orang bisa menjadi penuntut umum.

Perkara korupsi di KPU masih harus mengikuti perjalanan yang panjang mulai dari tingkat Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di lingkungan peradilan umum yang masih harus dipersiapkan, meningkat lagi ke pengadilan tinggi dan ke Mahkamah Agung melalui jalur banding dan kasasi.

Perlu dipersiapkan
Sejumlah hakim baik hakim peradilan umum dan hakim ad hoc untuk pengadilan tingkat pertama, banding, dan kasasi perlu dipersiapkan. Berapa lama proses penyelesaian kasus korupsi KPU sampai mencapai putusan yang berkekuatan hukum tetap, belum bisa diperhitungkan. Bisa satu tahun, dua tahun, atau tiga tahun, bergantung pada kemampuan jaksa/PU, hakim, atau para advokat.

Salah satu yang bisa memengaruhi jalannya proses peradilan adalah apabila salah satu terdakwa jatuh sakit.

Kita semua masih menunggu rencana penuntutan dari jaksa/PU, apakah semua terdakwa dijadikan satu paket penuntutan dengan surat dakwaan yang sama atau berbeda-beda.

Perkara korupsi pada KPU termasuk perkara besar, apalagi salah satu terdakwa kebetulan adalah seorang guru besar. Jadi, sabar saja mengikuti proses jalannya pemeriksaan di pengadilan.

Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk tidak demo-demoan dan percayakan saja kepada proses pengadilan dan para hakim.

* Ismail Saleh Mantan Jaksa Agung/ Menteri Kehakiman

Tulisan ini diambil dari Kompas, 28 Juli 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan