''MOS'' di Penjara untuk Legislator

SAYA pernah bertemu Fathorrasjid saat masih ketua DPRD Jatim, saat akan naik pesawat dari Surabaya ke Jakarta. Ketika waktu boarding, penumpang mengantre. Tentu saja yang duduk di kursi kelas eksekutif dipersilakan masuk lebih dulu. Ternyata, Fathorrasjid mengantre bersama saya di belakang, bersama penumpang kelas ekonomi yang lain.

Saat itu, saya melihat seorang wakil bupati boarding lebih dulu bersama penumpang kelas eksekutif. Kawan saya bertanya kepada Fathorrasjid, "Pak, kenapa tidak naik di kelas eksekutif bersama Pak Wakil Bupati?"

Dengan santai, Fathorrasjid menjawab, "Lho dia kan memang eksekutif. Kan tidak ada di pesawat kelas legislatif."

Tentu, Fathorrasjid tak sempat bertanya adakah "kelas legislatif" saat digiring ke rumah tahanan Medaeng, Sidoarjo. Sosok yang murah senyum itu masuk ke sana karena kesandung dugaan korupsi dana Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM). Fathor bersikukuh bahwa dirinya tak bersalah. Kasus tersebut memang masih menunggu pembuktian di pengadilan.

Fathor menyusul anggota dewan lain yang terjerat kasus hukum semasa menjabat. Berdasar data yang dirilis ICW per Desember 2008, sudah ada 1.437 anggota dewan dari seluruh Indonesia yang terjerat kasus korupsi. Sampai 2004, "baru" 323 anggota dewan yang terkena kasus itu. Sekarang mungkin mencapai 2000-an. Bila wilayah RI yang ada anggota dewannya hanya 474 (440 kabupaten/kota, 33 provinsi, 1 pusat), angka itu sangat besar.

Selain mereka, banyak eksekutif pemerintahan yang dipenjara. Kalau dihitung-hitung, ada sepuluhan bupati/wali kota yang berurusan dengan kasus korupsi di Jawa Timur. Banyak juga pejabat-pejabat eksekutif yang menjadi petinggi kabupaten atau kota terjeblos kasus korupsi.

Banyaknya anggota dewan yang terjerat kasus korupsi itu jelas membuat negara dan kita rugi. Kita sudah repot-repot memilih mereka dalam pemilu yang mahal, ujung-ujungnya mereka masuk bui. Kalau semasa masih aktif di gedung dewan saja kita skeptis mereka bisa membela kepentingan rakyat, apalagi setelah mereka masuk penjara.

Media sendiri tak bosan-bosannya menyorot kasus korupsi di seluruh Indonesia. Penangkapan demi penangkapan itu seharusnya membuat anggota dewan yang lain mikir sejuta kali sebelum mengambil risiko menggunakan uang negara.

Jangan-jangan, banyaknya pemberitaan korupsi justru membuat perbuatan tersebut dirasakan "sudah biasa". Apalagi itu kasus "berkelas" karena pelakunya pasti bukan orang di jalanan. Toh, media juga tak pernah menyebut pelaku korupsi miliaran sebagai penjahat. Sangat beda dengan pencuri HP senilai Rp 250 ribu, misalnya, yang langsung disebut penjahat. Padahal, korupsi dan pencurian sama-sama berkategori kejahatan dalam undang-undang.

***

Kini masa jabatan anggota dewan 2004-2009 habis. Anggota dewan periode 2009-2014 mulai dilantik. Kalau kecemasan tentang kualitas para anggota dewan baru itu sudah disampaikan Saudara Mundzar Fahman (Jawa Pos, Jumat 21 Agustus), saya juga waswas mereka akan menjadi para calon narapidana.

Bisa jadi, kini mereka memanfaatkan posisi KPK yang sedang sulit, sementara belum banyak aparat kepolisian dan kejaksaan yang segalak KPK. Bisa jadi pula, mereka berharap masa pemerintahan SBY yang kedua ini tak segalak dulu dalam memberantas korupsi.

Yang harus diingat, betapa pun kondisi penegakan hukum, kalau mereka sampai kejeblos kasus korupsi, hidupnya pasti sulit. Apalagi kalau sampai ditahan dan masuk penjara. Nah, di antara kampanye penegakan antikorupsi kepada para pejabat dan anggota dewan itu, yang belum dilakukan adalah membawa mereka melihat-lihat kondisi penjara.

Ada baiknya setelah dilantik dan resmi menjadi anggota dewan, mereka diajak jalan-jalan ke penjara. Itu semacam orientasi di awal masa jabatan, seperti MOS (masa orientasi siswa) atau ospek (orientasi studi dan pengenalan kampus) bagi pelajar/mahasiswa.

Diharapkan dengan melihat-lihat bilik penjara sejam atau dua jam, mereka bisa lebih membayangkan bila berada di balik terali. Di sana mereka dapat melihat atau berbicara dengan orang-orang yang kehilangan kemerdekaannya karena berbagai kasus. Mereka juga bisa melihat para terpidana korupsi atau bekas selnya. Mereka bisa membayangkan bila berada di sana berbulan-bulan atau bertahun-tahun.

Agar melengkapi, kalau perlu, ditambah tur ke kejaksaan atau kepolisian untuk menghayati bagaimana repotnya orang diinterogasi atau diperiksa. Berapa banyak ongkos untuk pengacara dan "lain-lain". Perlu juga diperlihatkan bagaimana bagian dalam mobil tahanan. Meski yang menaiki mobil tahanan itu juga dikawal vorrijder, jelas nilai kehormatannya bertolak belakang dengan kawalan semasa menjabat. Kalau semasa menjabat, kawalan adalah fasilitas kehormatan, sedangkan kawalan untuk mobil tahanan adalah penjagaan.

Dengan pengalaman (mengalami langsung) itu, para anggota dewan diharapkan bisa memahami kenapa mereka diberi embel-embel "terhormat". Lembaga dewan jelas lembaga mulia karena pilihan rakyat. Seharusnya, mereka membawa kehormatan tersebut dengan hati-hati agar tak tergelincir ke perbuatan tercela, lebih-lebih masuk penjara.

Yang paling perlu diingat: "kelas" apa pun di penjara tetap tak senyaman di rumah sendiri dalam keadaan merdeka. (*)

Rohman Budijanto , wartawan Jawa Pos dan direktur eksekutif Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP)

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 26 Agustus 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan