Moratorium Remisi Harus Permanen

DPR meminta moratorium remisi koruptor yang dikeluarkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) segera dipermanenkan.

Pasalnya, penghentian sementara (moratorium) pengurangan masa hukuman bagi terpidana kasus pidana korupsi tidak bisa mengandalkan pernyataan lisan dari Kemenkumham semata. Kebijakan strategis dalam pemberantasan korupsi ini memerlukan payung hukum untuk berpijak. Anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo mengatakan, penghapusan remisi bagi koruptor ini bisa sedikit menurunkan minat oknum birokrat melakukan korupsi.

Karena itu, disetujuinya penghapusan remisi bagi koruptor ini segera diberlakukan. ”Penghapusan remisi sebaiknya dipermanenkan dalam kebijakan atau politik hukum pemerintah.Tak cukup jika statusnya hanya moratorium. Bahkan, setelah penghapusan remisi itu, tekanan terhadap perilaku korup di negara ini harus diperluas,”katanya kepada SINDOdi Jakarta kemarin.

Dia menganjurkan, pelaksanaan moratorium remisi koruptor ini harus ada parameter yang jelas agar tidak menimbulkan persoalan baru, seperti adanya indikasi pilih kasih atau ketidakadilan. Bambang mengutarakan, dalam melaksanakan kebijakan ini harus ada pendekatan baru yakni mempertajam dan memaksimalkan efek jera.Semua sanksi yang tersedia saat ini tidak berhasil menumbuhkan efek jera bagi koruptor.

Imbasnya, dia menyebutkan jika negara tidak berani memberi sanksi maksimal bagi terpidana koruptor,indeks persepsi korupsi (IPK) di Indonesia akan terus naik. Selain menghilangkan remisi bagi koruptor, dia mengusulkan perlu dicari terobosan hukum agar korps hakim memiliki payung hukum untuk menjatuhkan vonis maksimal bagi koruptor yang terbukti merampok uang negara. Selama ini, hukuman bagi koruptor sangat variatif dan cenderung ringan.

“Terobosan lain yang patut dikaji adalah merampas kembali kekayaan negara yang dirampok para koruptor. Kekayaan yang bersumber dari korupsi patut dirampas, karena pada hakikatnya bukan menjadi hak koruptor. Hak rakyat yang dirampok koruptor harus dikembalikan kepada rakyat melalui negara,”paparnya. Anggota Komisi III DPR lainnya Martin Hutabarat mengungkapkan, keinginan Kemenkumham untuk memoratorium remisi koruptor perlu diapresiasi.

Namun, dia mengingatkan jangan sampai moratorium ini disamakan terhadap pelaku yang ada.Apalagi, setiap kasus korupsi berbeda. Dengan demikian, jangan sampai ada generalisasi kasus korupsi. Dia menjelaskan bahwa kasus korupsi yang dilakukan dengan jumlah uang puluhan juta misalnya, tidak bisa disamakan dengan yang miliaran. Pasalnya,dalam perkara korupsi ada peran yang berbeda dari masing-masing tersangka.

“Saya belum mengetahui secara pasti seperti apa konsep moratorium remisi koruptor yang diinginkan oleh Kemenkumham ini.Namun,semangat untuk pemberantasan korupsi perlu diapresiasi.Hal ini sudah positif,”ungkapnya. Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia,Jakarta (PBHIJakarta) Poltak Sinaga menyambut baik sikap pemerintah soal moratorium remisi koruptor.

Oleh karena itu, pihaknya menuntut hal ini segera direalisasikan. Dia mengemukakan, yang terpenting hal ini tidak menjadi janji belaka.Pihaknya menjamin jika hal ini bisa segera diwujudkan maka kalangan masyarakat akan menyambut baik kebijakan tersebut. radi saputro
Sumber: Koran Sindo, 3 November 2011
-----------------
Moratorium Remisi Dikritik

Guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia, Jimly Asshiddiqie, mengatakan keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin membuat kebijakan moratorium remisi serta bebas bersyarat patut diapresiasi, namun itu melanggar hukum. Ia mengakui selama ini pemberian remisi dan pembebasan bersyarat seolah-olah sebuah hak yang harus diberikan kepada narapidana.

Jadi, "Perlu prosedur yang lebih ketat lagi," ujarnya di gedung Dewan Perwakilan Daerah di Senayan, Jakarta, kemarin.

Mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan juga meminta Menteri Amir mengevaluasi kebijakannya. Ia menilai aturan itu bertentangan dengan prinsip penegakan hukum. "Saya tidak setuju dengan cara menteri dan wakil menteri sekarang," ujar Bagir kemarin.

Menurut Bagir, penundaan remisi bertentangan dengan asas penegakan hukum. Sebab, ketentuan penundaan itu tidak bisa berlaku surut dan digunakan terhadap narapidana yang sudah menjalani masa penahanan. "Remisi itu adalah hak setiap narapidana," katanya.

Guru besar hukum pidana Universitas Diponegoro, Muladi, menilai moratorium itu inkonstitusional. "Tidak ada landasan hukumnya dan melanggar undang-undang," katanya kemarin. Setidaknya, kata dia, ada dua aturan yang dilanggar: Undang-Undang tentang Pemasyarakatan, serta Peraturan Pemerintah tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Menanggapi berita di Koran Tempo edisi Selasa, 2 November 2011, terpidana 17 bulan penjara dalam perkara suap cek pelawat, Panda Nababan, menyatakan tak pernah mengajukan permohonan bebas bersyarat kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. "Tidak benar kalau saya disebut pernah mengajukan permohonan bebas bersyarat," katanya ketika dihubungi Tempo kemarin.

Mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari PDI Perjuangan ini menjelaskan, kini ia tengah mencari keadilan dengan mengajukan kasasi. Menurut Panda, tuduhan bahwa ia menerima suap berupa cek pelawat senilai Rp 1,9 miliar untuk mengegolkan Miranda S. Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia merupakan rekayasa. Panda divonis bersalah pada Juni lalu di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. FEBRIYAN | RIKY F| ISHOMUDDIN | JOBPIE S | SUNUDYANTORO

Sumber: Koran tempo, 3 November 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan