Moratorium Logging agar Hutan Bernapas

Illegal logging adalah hukum alam yang terjadi karena ketidakseimbangan antara supply dan demand. Tahun lalu, pasokan kayu 6,7 juta meter kubik, sedangkan kapasitas terpasang industri perkayuan 80 juta meter kubik. Katakanlah pasokan kayu resmi 10 juta meter kubik, yang dipasok dari 6,7 juta meter kubik penebangan resmi ditambah hutan rakyat dan hutan tanaman industri. Pasokan yang 70 meter kubik itulah hasil dari illegal logging.

Daripada pemerintah sibuk merazia yang 70 meter kubik, kenapa tidak kapasitas industrinya diturunkan, ujar Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Longgena Ginting.

Terkait dengan itu, perlu ditempuh upaya pemulihan hutan melalui kebijakan moratorium logging. Yaitu menghentikan sementara penebangan hutan secara bertahap, seperti yang ditempuh Papua Niugini dengan tidak mengeluarkan izin baru penebangan, melainkan mengoptimalkan izin operasional yang sudah ada.

Dalam jeda penghentian itu, pemerintah mengevaluasi dan mengoreksi kebijakan yang dilakukan selama ini, sembari memperbanyak populasi tanaman, pendataan berapa persen hutan yang sudah dibalak, menghitung stok yang tersedia, jumlah pasokan dan permintaan, memperbaiki harga dan nilai kayu sekaligus mengatasi pembalakan liar (illegal logging).

Tentu saja kebijakan ini akan menimbulkan masalah bagi tenaga kerja yang bekerja pada pemegang hak pengelolaan hutan (HPH). Dengan demikian, pemerintah mesti menyiapkan alih pekerjaan.

Di China pada tahun 1980, umpamanya, tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan akibat moratorium diberi pekerjaan baru berupa menanam pohon. Kini, China adalah negara dengan hutan terluas di dunia meski banyak mengimpor kayu untuk kebutuhan dalam negerinya. Thailand pun demikian, saat terus dilanda bencana, negeri itu menempuh moratorium logging dan sekaligus berhasil menjadikan pembangunan pertanian negeri itu pulih kembali.

JIKA dilakukan moratorium, kebutuhan kayu dalam negeri tidaklah terlalu besar, sekitar 20 juta meter kubik setahun. Ini masih mungkin dipenuhi dari hutan rakyat dan hutan tanaman.

Saat ini harga kayu di dalam negeri relatif murah karena kebanyakan didapat secara ilegal. HPH pun tidak punya insentif karena lebih baik mengambil kayu liar dibandingkan dengan mengurus surat dan persyaratan administrasi lainnya melalui proses panjang birokrasi.

Pemerintah daerah sebenarnya sadar akan ancaman bahaya eksploitasi hutan, apalagi hasilnya relatif kecil. Di Jawa Barat, misalnya, kontribusi Perum Perhutani bagi pendapatan provinsi itu, secara kotor, Rp 700 juta per tahun (2003). Padahal, nilai air untuk mengisi waduk, irigasi areal pertanian, air minum, air untuk industri, dan lainnya sebesar Rp 5 triliun. Artinya, nilai ekologi dan ekosistem hutan lebih besar ketimbang nilai ekonomis.

Ide moratorium paling tidak akan memberi kesempatan pada hutan untuk bernapas sejenak setelah terus-menerus dieksploitasi. (KHAERUL ANWAR)

Sumber: Kompas, 5 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan