Moratorium Hutan Gagal Tekan Deforestasi di Kalteng

Salah satu sumberdaya alam (sda) terbesar di Indonesia, hutan memiliki banyak fungsi bagi mahkluk hidup. Karena selain sebagai paru-paru dunia, hutan juga menjadi tempat tinggal satwa. Sayangnya, keberadaan hutan saat ini semakin menipis akibat proses deforestasi yang luar biasa.

Instruksi Presiden (Inpers) No 8 Tahun 2015 yang tentang Penundaan Pemberian Izin baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut atau sering disebut sebagai moratorium hutan, dinilai tidak melindungi hutan di Indonesia secara menyeluruh. Terlebih setelah kemudian pemerintah mengeluarkan PP No 60 Tahun 2012 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, yang membuat deforestasi hutan semakin meningkat. Demikian diungkapkan Haryono, seorang peneliti hutan kawasan di Kalimantan Tengah (Kalteng) di Jakarta.

"Ada pelanggaran kawasan hutan yang dipayungi oleh PP 60 tersebut. Malahan deforentasi semakin meningkat setelah adanya moratorium yang diatur dalam PP 60 tersebut," katanya saat menjelaskan kepada wartawan dalam konferensi pers Minggu, 31 Mei 2015 di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat.

Menurutnya, Inpres yang sebelumnya telah dikeluarkan oleh Presiden SBY dan yang terakhir oleh Presiden Jokowi tidak dapat memberikan perubahan menyeluruh dalam perlindungan kawasan hutan. Bahkan diperkirakan pada 2023 Indonesia akan kehilangan banyak hutan yang dimiliki dan pada tahun 2020 akibat deforestasi dan akan mengakibatkan gas emisi sebanyak 41%.

"Inpres sendiri tidak mengatur bagaimana moratorium tersebut, namun hanya mengatur terkait perlindungan kawasan hutan lindung dan hutan konservasi yang sebelumnya telah diatur," jelasnya.

Haryono menjelaskan, terjadi pelanggaran dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) seluas 329,353 Ha. 21,462 Ha. Di sana ditemukan perubahan kawasan hutan menjadi areal aktivitas yang tidak layak. Sedangkan yang layak seluas 595,516 ha yang tetap harus dikawal. Sedangkan deforestasi yang terjadi di Kalimantan Tengah selama 2010-2011 seluas 229, 515 ha. Dalam hal ini deforestasi yang direncanakan (kawasan yang diberikan izin pemerintah untuk diubah menjadi areal kelapa sawit) sebesar 8,999 atau 4% sedangkan yang tidak terencana sebesar 45,895 Ha atau 20%.

"Luas hutan yang mengalami deforestasi yang tidak terencana jauh lebih banyak dibandingkan yang direncanakan. Jelas ini merugikan kawasan hutan, dan PP 60 sama saja melegalisasi terjadinya kegiatan deforestasi," tegasnya.

Sementara itu, Staf Kampanye Publik Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Wahyu Nandang mengatakan, Inpres yang dikeluarkan pemerintah merupakan bentuk inisiatif yang harus diapresiasi. Namun, permasalahannya efektifkah penundaan moratorium tersebut? Nyatanya, deforestasi meningkat dua kali lipat saat pemerintahan SBY.

"Bukanya berkurang malah terjadi lonjakan deforestasi, Penyumbang terbesar pengerusakan hutan dilakukan dari perencanaan tata ruang tidak efektif," katanya saat ditemui dilokasi yang sama.

Penyebab deforestasi juga dikarena lemahnya penegakan hukum yang dilakukan. Dalam moratorium yang dicanangkan presiden, disana tidak tertera sanksi yang diberikan. Selain itu, tingginya korupsi di tingkat politik lokal masih sangat tinggi yaitu pemda melakukan perjanjian investasi saat pemilukada. Tidak heran, jika terjadi laju pengerusakan hutan di saat momen pemilukada.

"Deforestasi hutan semakin meningkat saat Pilkada. Dimana para calon bupati dan walikota mencari 'sponsor' pemilu dengan iming-iming pemberian izin saat dirinya terpilih nanti," tegasnya.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan