Monopoli Buku Masih Terus Terjadi

Soal pengadaan buku sekolah dan rencana kenaikan gaji guru merupakan dua hal yang menarik perhatian saya ketika membaca iklan Mendiknas berjudul Menjawab Keraguan dengan Karya. Iklan tersebut disajikan oleh Biro KLN dan Humas Depdiknas di harian Kompas terbitan 24 Oktober 2005 halaman 25.

Benarkah demikian? Soal pengadaan buku, disebutkan bahwa untuk menangani masalah perbukuan yang sering dikeluhkan masyarakat, maka Mendiknas mengeluarkan Permendiknas Nomor 11 Tahun 2005 tentang buku teks pelajaran. Dengan keluarnya Permendiknas siswa diberi kebebasan membeli buku di toko buku maupun di pasar buku loak. Toko-toko buku dan pasar buku loak menjadi hidup kembali. Permendiknas itu juga disebutkan telah mencabut monopoli pengadaan buku oleh kepala sekolah dan memberangus praktik korupsi perbukuan.

Kalau pemerintah mau lebih jeli mencermati keluhan masyarakat, persoalan utama buku sebenarnya bukan terletak pada siapa yang mendistribusikan dan menjual buku kepada anak-anak mereka atau soal pergantian buku setiap ganti tahun pelajaran. Persoalan mendasar yang menjadi keluhan masyarakat adalah besarnya biaya yang harus mereka tanggung setiap ganti tahun pelajaran. Mereka harus mengeluarkan biaya ratusan ribu rupiah hanya untuk pengadaan buku bagi anak-anaknya setiap pergantian tahun pelajaran.

Apakah Permendiknas menyebabkan tanggungan biaya orangtua terhadap pengadaan buku menjadi berkurang? Ternyata tidak. Membeli buku di toko buku sama mahalnya dengan membeli buku di sekolah. Di pasar loak pun meski harganya agak miring tetap terasa berat dan tidak mudah mencari buku-buku yang diperlukan.

Apakah Permendiknas menyebabkan hidupnya kembali toko-toko buku dan pasar buku loak? Juga tidak. Ramainya toko-toko buku dan pasar buku loak memang sudah menjadi pemandangan rutin setiap awal tahun pelajaran, jauh sebelum Permendiknas dikeluarkan.

Apakah Permendiknas tentang buku juga telah menghapus monopoli pengadaan buku oleh kepala sekolah dan memberangus praktik korupsi perbukuan? Tampaknya belum teruji. Monopoli bahkan masih bisa terjadi manakala kepala sekolah dan birokrasi pendidikan ikut menentukan buku mana yang akan dipakai pada sekolahnya dari sejumlah buku yang telah ditetapkan oleh menteri. Pada tahap ini penerbit pun masih bisa bermain dengan kepala sekolah dan birokrasi pendidikan.

Monopoli baru?

Yang mengkhawatirkan ke depan adalah kemungkinan munculnya bentuk monopoli baru di tangan Mendiknas sendiri bersama dengan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), termasuk gubernur dan bupati/wali kota, dan tidak menutup kemungkinan terjadinya peluang korupsi. Pasal 3 Ayat (1) Permendiknas Nomor 11 Tahun 2005 menyebutkan: Buku teks pelajaran untuk setiap mata pelajaran yang digunakan pada satuan pendidikan dasar dan menengah dipilih dari buku-buku teks pelajaran yang telah ditetapkan oleh Menteri berdasarkan rekomendasi penilaian kelayakan dari Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Ayat (2)-nya menyebutkan: Buku teks pelajaran untuk mata pelajaran muatan lokal yang digunakan pada satuan pendidikan dasar dan menengah dipilih dari buku-buku teks pelajaran yang ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing dengan berpedoman pada standar buku teks pelajaran yang ditetapkan oleh Menteri.

Jelas, Pasal 3 Permendiknas telah menetapkan pelaku monopoli baru. Penetapan buku-buku teks pelajaran hanya berada di tangan menteri dan rekomendasinya hanya di tangan BSNP, sedangkan buku-buku muatan lokal hanya di tangan gubernur atau bupati/wali kota saja.

Masalahnya, bagaimana mekanisme kontrol terhadap proses penetapan buku-buku teks pelajaran oleh menteri, termasuk mekanisme kontrol terhadap penentuan dikeluarkannya rekomendasi oleh BSNP, dan penetapan buku-buku muatan lokal oleh gubernur atau bupati/wali kota? Tanpa mekanisme kontrol, bukankah besar sekali peluang main mata antara sejumlah penerbit dan pihak-pihak yang berwenang tersebut untuk merekomendasikan dan menetapkan buku-buku sesuai dengan pesanan penerbit tertentu?

Ini bukti bahwa Permendiknas sebenarnya belum teruji dan tidak membuat perubahan yang mendasar soal pengadaan buku karena hanya mengatur soal mekanisme pasar buku: dari sekolah ke toko buku. Persoalannya bukan di situ. Permendiknas seharusnya lebih mengatur bagaimana mengimplementasikan kewajiban pemerintah yang dapat membuka akses seluas-luasnya bagi anak didik untuk memperoleh buku dengan mudah dan gratis, terutama bagi pendidikan dasar sebagaimana yang diamanatkan konstitusi. Kalau itu yang dilakukan oleh Mendiknas, maka itulah karya nyata.

Kenaikan gaji guru

Soal lainnya adalah kenaikan gaji guru. Iklan tersebut membuat subjudul Gaji guru naik drastis dan mengutip pernyataan Mendiknas bahwa ia sedang berusaha memperbaiki kesejahteraan guru melalui RUU Guru yang kelak menjadi hadiah istimewa bagi guru. Iklan itu pun menambahkan bahwa kenaikan gaji guru sama dengan 300 persen dari gaji pokok PNS lainnya yang setara. Tetapi itu hanya diberlakukan bagi guru yang memenuhi kualifikasi, yaitu S1 atau D4 ditambah yang memiliki sertifikat profesi.

Bunyi penggalan iklan ini dapat mengecoh para guru. Pernyataan Mendiknas tentang rencana peningkatan gaji pokok guru dapat diartikan berlaku untuk semua guru. Inilah yang ditangkap oleh semua guru selama terjadinya pembahasan RUU Guru dan Dosen. Kalau ternyata dibatasi hanya pada guru yang berkualifikasi S1 dan bersertifikat profesi, jelas apa yang dikerjakan Mendiknas tidak berarti apa-apa. Sebab, kalau jadi, kenaikan gaji pokok kelak (jika akta IV yang dikenal selama ini tetap dikategorikan sebagai sertifikat profesi) hanya akan dinikmati oleh 32,63 persen guru saja dari 2.263.686 guru yang berstatus PNS. Jumlah yang terbesar akan diambil oleh guru-guru SLTA (SMA, SMK, dan MA), yaitu 84,96 persen dari 254.935 guru PNS; kedua guru-guru SLTP (SMP dan MTs), yaitu 61,14 persen dari 497.718 guru PNS; dan ketiga, yang paling sedikit terimbas oleh kebijakan tersebut adalah guru-guru SD, yakni hanya 8,21 persen saja dari jumlah guru yang paling banyak, yaitu 1.169.101 guru PNS. Bukankah dalam hal ini komitmen Mendiknas pada guru SD perlu dipertanyakan? Bagaimana pula keadilan terhadap guru-guru non-PNS ?

Yang lebih menggelikan, penggalan iklan tentang kenaikan gaji guru yang katanya akan mencapai 300 persen tersebut tidak berdasar pada sumber yang jelas. RUU Guru dan Dosen hasil Tim Panja tertanggal 27 September 2005 pada Pasal 14 Ayat (2) memang masih secara jelas menyebutkan bahwa: Gaji pokok sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) untuk guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dan pemerintah daerah, paling sedikit 2 (dua) kali gaji pokok PNS non guru untuk golongan, pangkat, dan masa kerja yang sama”. Sementara Ayat (3)-nya berbunyi: Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sebesar 50 % (lima puluh persen) dari gaji pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Kenyataannya, pada RUU Guru dan Dosen per tanggal 29 September 2005 (lihat: depdiknas.go.id) ketentuan soal kenaikan gaji pokok dan tunjangan profesi yang mencapai 300 persen sama sekali tidak disebutkan lagi. Pasal 11 Ayat (3) hanya menyebutkan: Ketentuan lebih lanjut tentang gaji pokok, tunjangan profesi, tunjangan khusus, dan penyediaan rumah dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Nah, bukankah iklan tersebut bisa menyesatkan orang yang membacanya.

Sebuah iklan boleh-boleh saja mencari simpati publik untuk memperoleh nilai positif dari masyarakat. Namun, sangat disayangkan kalau iklan tersebut dikemas untuk mencari perhatian publik semata tanpa memerhatikan isinya yang justru dapat mengecoh dan berpotensi membohongi publik. Iklan tersebut bukan saja jadi tak cerdas, tapi juga tidak mendidik. Ironis jika itu dilakukan oleh institusi yang seharusnya mencerdaskan dan mendidik masyarakat.

* Suparman, Guru SMA Negeri di Jakarta dan Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia, anggota Koalisi Pendidikan

Tulisan ini disalin dari Kompas, 31 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan