Modus Kuno Ampuh Meraup Setoran

Kalangan dunia usaha tidak menampik hasil survei Transparency International Indonesia (TII) tentang Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2004 yang menobatkan Jakarta sebagai kota terkorup. Malahan diduga jumlah suap yang disebutkan responden lebih kecil dari kenyataan yang sebenarnya.

Bos Grup Gemala, Sofyan Wanandi, mensinyalir para pelaku bisnis yang menjadi responden kurang terbuka soal jumlah suap yang dikeluarkan. Namun, Sofyan membenarkan adanya pungutan-pungutan oleh aparat kepada pelaku bisnis. Ia menyebutkan importir yang sering berurusan dengan Bea Cukai (BC) akan dihadapi oleh kesulitan izin barang keluar dari pelabuhan.

Padahal, kalau barang itu tidak bisa keluar berarti produksi bisa terhenti. Itu artinya biaya bagi perusahaan. Modusnya mereka mengulur-ngulur, ada saja surat-surat izin yang dikatakan kurang lengkap. Biasanya kalau sudah begitu importir tersebut sudah paham kemauan aparat BC, jelas Sofyan.

Sofyan juga menyebut perizinan usaha sebagai 'ladang' terjadinya interaksi suap menyuap antara pengusaha dengan aparat pemerintah daerah. Menurutnya, apa yang dikatakan TII memang benar, malahan pada kenyataannya jumlah suap yang dibayar pelaku bisnis lebih besar daripada yang tertera dalam IPK Indonesia 2004. Itu indikasi, tapi kenyataannya memang seperti itu dan kita (pelaku usaha) harus terima, keluhnya.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo), Handaka Santosa mengeluhkan macam-macam pungutan yang harus dikeluarkan para pelaku usaha setiap tahun. Lebih lanjut Handaka menyebutkan dirinya tidak keberatan dengan pungutan tersebut asalkan tidak dibayar setiap tahun, misalkan lima tahun sekali.

Pungutan yang dimaksud Handaka adalah dari Kementerian Pariwisata bagi usaha jenis restoran berkaitan dengan perpanjangan izin usaha. Sejenis dengan itu, para pelaku usaha juga wajib membayar 'uang domisili' setiap tahun kepada kecamatan atau kelurahan tempat bisnisnya berada. Anehnya, meskipun dikatakan pungutan resmi, tidak ada tanda terima untuk transaksi tersebut. Namun, Handaka enggan menyebutkan 'angka' yang dikeluarkan para pelaku usaha untuk berbagai pungutan tersebut.

Secara terpisah Anggota Badan Pekerja (BP) Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengungkapkan bentuk-bentuk atau modus korupsi mengungkapkan bentuk korupsi yang dilakukan kepala daerah dibagi dalam dua hal yakni korupsi birokratis menyangkut posisinya selaku orang nomor satu di daerah tersebut.

Korupsi model ini kerap melibatkan bawahannya sebagai pengejawantahan struktur hierarki. Banyak ditemui dalam lelang/tender proyek yang dilaksanakan tidak sesuai dengan Keppres No 80/2003 tentang pengadaan barang. Kedua, korupsi kolaborasi antara eksekutif dengan legislatif. Sering kali terkait dengan penyusunan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD).

Hal tersebut dimungkinkan mengingat kewenangan besar selaku pemegang otoritas untuk menentukan panitia pengadaan tender, proyek yang diadakan, pemilihan peserta tender, mekanisme tender, dan penentuan pemenang tender, ujarnya.

Berdasarkan data ICW, saat ini tercatat 102 kasus dengan 1.473 anggota DPRD di seluruh Indonesia yang sedang menjalani proses hukum (penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan vonis pengadilan). Sebanyak 124 kasus menjalani pemeriksaan, 17 kasus masih dalam proses persidangan, dan 4 kasus divonis bebas serta 4 kasus divonis di bawah 2 tahun oleh pengadilan. (LngM-1)

Sumber: Media Indonesia, 27 februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan