Modus Korupsi Anggota Dewan
Istilah korupsi berjemaah dalam beberapa waktu terakhir menjadi kian populer setelah kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota Dewan diungkap satu demi satu. Namun, di beberapa tempat seperti Padang, Sumatera Barat, istilah itu oleh sebagian masyarakatnya dianggap tidak tepat karena kata berjemaah memiliki arti positif dan bernuansa religi, sementara korupsi selalu berkaitan dengan tindakan nista. Penolakan itu sendiri dapat diartikan sebagai sikap kritis masyarakat untuk tidak mencampuradukkan antara tindakan yang benar/positif dan praktek tidak terpuji (korupsi).
Banyaknya kasus korupsi DPRD yang dilaporkan dan dibongkar sesungguhnya merupakan sebuah bukti bahwa masyarakat sudah geram dengan praktek penyalahgunaan kekuasaan. Betapa tidak, anggota Dewan yang seharusnya menjalankan fungsi kontrol atas eksekutif untuk mencegah penyelewengan justru bertindak sebaliknya. Praktek korupsi, kolusi, pemborosan, kesewenang-wenangan, serta tindakan tidak etis yang melanggar nilai-nilai umum dipertontonkan secara telanjang dan berulang-ulang.
Namun, upaya untuk menggiringnya ke proses hukum ternyata cukup mendapatkan perlawanan. Secara umum, bentuk perlawanan itu ada lima macam. Pertama, bentuk intimidasi fisik dan ancaman kekerasan terhadap kelompok masyarakat yang mengungkapkan kasus korupsi melalui orang-orang bayaran.
Kedua, cara persuasi dengan memberikan uang tutup mulut supaya kasus tidak diteruskan. Ketiga, memobilisasi massa pendukung dan mengeksploitasi sentimen kesukuan, agama, atau kelompok untuk menghambat proses hukum yang sedang berjalan. Keempat, melalui upaya yuridis dengan melaporkan tindakan pembongkaran korupsi tersebut sebagai tindakan pencemaran nama baik. Kelima, pembentukan opini tandingan yang menyesatkan melalui kelompok intelektual, akademisi, ataupun pernyataan resmi yang dikeluarkan lembaga.
Asosiasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Seluruh Indonesia (Adeksi) dalam Musyawarah Nasional II baru-baru ini telah mengeluarkan rekomendasi menyangkut maraknya kasus korupsi yang melibatkan anggota Dewan. Dalam rekomendasinya, Adeksi beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh anggota Dewan dalam menetapkan anggaran tidak serta-merta bisa dikategorikan sebagai bentuk korupsi.
Adeksi menyebutkan bahwa penyebab utama terjadinya korupsi yang menyebar dan mendudukkan anggota Dewan sebagai tersangka adalah adanya kerancuan dari sistem hukum kita sendiri, yakni faktor tumpang-tindihnya produk perundang-undangan yang ada sehingga melahirkan kesalahan tafsir dalam menetapkan anggaran. Kesalahan itulah yang oleh masyarakat dianggap sebagai praktek korupsi.
Tumpang-tindihnya peraturan antara UU Otonomi Daerah (kini UU Pemda) dan Peraturan Pemerintah Nomor 110/2000 (kini PP Nomor 24/2004) tentang Kedudukan Keuangan DPRD, yang bertolak belakang--khususnya kewenangan mengelola anggaran Dewan--mungkin memberikan andil terhadap terjadinya kekeliruan tafsir atas pelaksanaan peraturan tersebut. Namun, alasan itu tidak cukup relevan, mengingat dari sisi modus, dalam mekanisme penyusunan dan penetapan anggaran DPRD tersirat unsur kesengajaan untuk mengabaikan rambu-rambu yang telah ditetapkan.
Modus korupsi DPRD
Secara umum data Indonesia Corruption Watch (ICW) dari Januari hingga Desember 2004 mengenai kasus korupsi yang melibatkan anggota Dewan menunjukkan beberapa hal. Pertama, dari sisi jumlah kasus, perbuatan korupsi yang melibatkan anggota DPRD merupakan jumlah terbanyak, yakni 102 kasus dari total 239 kasus korupsi yang muncul di sebagian besar wilayah di Indonesia.
Data di atas sekaligus hendak menunjukkan bahwa aktor korupsi yang menempati urutan terbesar adalah anggota Dewan. Data ini paralel dengan hasil survei Transparansi Internasional Indonesia (TII) pada 2004 yang menempatkan partai politik sebagai lembaga yang dianggap paling korup. Dengan demikian, terdapat korelasi yang masuk akal antara kondisi partai politik yang buruk dan perilaku anggota Dewan yang korup.
Kedua, secara umum terdapat empat modus korupsi DPRD yang dapat kita temukan di hampir semua kasus. Modus pertama adalah menggelembungkan batas alokasi penerimaan anggota Dewan atau yang lebih akrab disebut mark-up. Dikatakan sebagai praktek mark-up karena PP No. 110/2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD sebenarnya telah membatasi secara terperinci penerimaan anggota Dewan yang bisa ditoleransi sesuai dengan tingkat pendapatan asli daerah (PAD).
Modus kedua adalah menggandakan (redundant) item penerimaan anggota Dewan melalui berbagai strategi. Strategi yang paling kerap muncul adalah memasukkan item anggaran yang berbeda-beda untuk satu fungsi. Misalnya terdapat pos asuransi untuk kesehatan, tapi di pos lain muncul item tunjangan kesehatan. Padahal kedua pos penerimaan tersebut untuk satu fungsi, yakni anggaran bagi kesehatan anggota Dewan. Strategi lain adalah menitipkan pos penerimaan itu pada anggaran eksekutif (pemda). Biasanya item anggaran itu disebut sebagai bantuan untuk instansi vertikal seperti yang terjadi dalam kasus dana kapling di Jawa Barat.
Modus ketiga adalah mengada-adakan pos penerimaan anggaran yang sebenarnya tidak diatur dalam PP Nomor 110/2000. Kasus yang paling banyak mencuat dan digugat oleh berbagai elemen masyarakat adalah alokasi anggaran untuk pos dana purnabakti. Di Jawa Barat, dana purnabakti lebih populer dengan istilah uang kadeudeuh. Selain dana purnabakti, fasilitas rumah dinas yang seharusnya hanya diberikan kepada ketua dan wakil ketua DPRD ternyata digelontorkan untuk semua anggota Dewan.
Modus keempat adalah korupsi dalam pelaksanaan program kegiatan Dewan. Dari aspek tindakan, korupsi jenis ini adalah korupsi yang paling telanjang dan nyata. Ini sebagaimana telah dilakukan oleh anggota DPRD Kota Padang yang telah memalsukan tiket pesawat perjalanan dinas (SPJ fiktif) hingga mencapai Rp 10,4 miliar.
Di antara keempat modus korupsi tersebut, modus keempat bisa dianggap yang paling konvensional dan umum terjadi di berbagai instansi pemerintah. Dalam pengertian tindakan korupsi dengan cara memanipulasi dokumen pertanggungjawaban penggunaan APBD hingga seolah-olah sebuah program telah dilaksanakan merupakan perbuatan yang nyata-nyata melanggar hukum, merugikan keuangan negara, dan terdapat upaya untuk memperkaya diri sendiri. Sementara itu, modus korupsi anggota Dewan yang pertama hingga ketiga merupakan produk kesepakatan dua pihak (eksekutif dan legislatif) dengan memanfaatkan dua hal, kewenangan yang dimiliki untuk membuat peraturan dan celah perundang-undangan yang tumpang-tindih.
Korupsi model ini dianggap seolah-olah bukan merupakan tindakan korupsi karena telah dinaungi dalam sebuah peraturan daerah (perda) yang legal. Padahal, dari sisi materi peraturan, banyak terdapat penyimpangan (corrupt), baik terhadap peraturan yang lebih tinggi maupun dari aspek normatif lainnya seperti rasa keadilan, kepantasan umum, atau kelaziman. Karena dipayungi dalam bentuk peraturan, korupsi jenis ini sering disebut sebagai korupsi yang dilegalkan atau legalisasi korupsi. Mengingat legalisasi penyimpangan didasari kesepakatan dua pihak pengelola daerah, korupsi yang telah menyeret beratus-ratus anggota Dewan itu sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan dan tanggung jawab pihak eksekutif (baca: kepala daerah).
Kini kita semakin yakin bahwa korupsi massal itu bukan hanya cerita, tapi memang benar-benar ada. Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Barat telah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Padang yang memutus bersalah atas 43 anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat. Bahkan Pengadilan Tinggi Sumatera Barat memutuskan bahwa dakwaan primer atas tuduhan korupsi 43 anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat terbukti. Putusan tersebut tentunya akan semakin menguatkan keyakinan gerakan antikorupsi di seluruh pelosok Nusantara untuk tetap konsisten dan maju. Harapannya, putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Barat juga dapat mengingatkan anggota DPRD periode 2004-2009 untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Semoga.(Adnan Topan Husodo, Anggota Badan Pekerja ICW)
Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 7 Januari 2004