Modus Kabur sebelum Pencekalan
Bila alasannya prosedur cekal hanya bisa diajukan setelah ada kejelasan status hukum, mestinya jauh-jauh hari aparat sudah mengantisipasi dengan memperketat pengawasan
SUDAH berulang kali terjadi di negeri ini, seseorang yang diduga korupsi buru-buru kabur mengambil langkah aman ke luar negeri. Yang dituju adalah negara yang tidak terikat perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, seperti Singapura. Dengan dalih akan berobat, mereka kebablasan betah tinggal di sana, ketimbang balik ke Indonesia menghadapi proses hukum.
Modus yang pernah dilakukan oleh beberapa terduga koruptor ataupun tersangka tindak pidana lain seperti Gayus Tambunan, Joko S Chandra, Marimutu Sinivasan, dan Anggoro Widjojo juga diikuti oleh M Nazaruddin, mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat yang lagi dibidik dengan kasus dugaan suap Sesmenpora dan pemberian uang kepada Sekjen Mahkamah Konstitusi (MK) Janedjri M Gaffar (SM,27/ 05/ 11).
Meskipun Nazaruddin menyatakan kesiapannya diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetap muncul kecurigaan bahwa hal itu sengaja dilakukan untuk menghindari pemeriksaan. Nazaruddin segera membantah kecurigaan itu, dan ia tetap berdalih kepergiannya ke Singapura dalam rangka berobat serta seizin ketua fraksi partainya.
Terlepas apakah nanti Nazaruddin beriktikad baik pulang ke Indonesia dan menjalani proses hukum atau tidak, semestinya gelagat kabur dulu sebelum dicekal itu harus dijadikan pengalaman bagi aparat penegak hukum, baik KPK, Kejakgung, maupun Polri. Selama ini, seseorang yang lagi disorot atas dugaan melakukan tindak pidana korupsi atau tindak pidana lainnya, tidak pernah diprediksikan bahwa dia bisa kabur ke luar negeri.
Kita bisa belajar dari tersangka kasus suap Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Dephut Anggoro Widjojo yang kabur ke luar negeri sebelum turun status pencekalan atas dirinya. Anggoro kabur tanggal 26 Juli 2008 dan anehnya status cekalnya baru turun pada Agustus 2008. Sudah kabur, baru dicekal.
Adapun Marimutu Sinivasan, tersangka dalam kasus penipuan atas laporan dari Bank Muamalat, kabur ke Singapura pada 15 Maret 2006 dan surat cekalnya baru turun pada 17 Maret 2006. Penyidik Mabes Polri berdalih, waktu itu berkas belum lengkap sehingga Sinivasan belum bisa dicekal. Setelah berkas dinyatakan lengkap dan harus diserahkan untuk tahap ke-2 kepada jaksa penuntut umum, Mabes Polri kelabakan karena tersangka ternyata sudah kabur.
Kelengkapan Berkas
Memang sebelum menetapkan ”cegah” terhadap seseorang, status hukumnya atas orang itu harus jelas lebih dahulu. Justru dari sinilah perlunya langkah strategis untuk mengantisipasi. Jangan sampai hal itu menjadi celah atau titik lemah proses penegakan hukum. Masalahnya, bila hal ini terus dibiarkan maka kepercayaan masyarakat akan makin turun.
Sensitivitas penyidik seharusnya bisa membaca lebih awal gelagat dari orang-orang yang terduga sebagai tersangka suatu perkara, lebih-lebih yang kasusnya menyita perhatian publik. Orang seperti ini jelas berbeda dari orang ”biasa”. Misalnya prediksi yang mendasarkan pada latar belakang, jaringan atau network-nya sampai pada akses yang dimiliki orang tersebut. Logika sederhananya, terduga atau tersangka kejahatan konvensional, atau misalnya korupsi ”hanya” Rp 100 juta, sangat kecil kemungkinannya menggunakan modus kabur sebelum pencekalan.
Yang lebih memilih kabur sebelum cekal hanya orang-orang dengan modus kejahatan kerah putih atau white collar crime. Bila alasannya prosedur pencekalan baru bisa diajukan setelah ada kejelasan status hukum, tentunya jauh-jauh hari aparat bisa mengantisipasinya melalui pengetatan pengawasan. Jangan sampai celah ini selalu dijadikan alasan pembenar. Bila ada iktikad baik, maka pemerintah perlu segera membuat suatu regulasi guna mengatasi hal ini.
Membiarkan adanya celah hukum yang bisa dimanfaatkan oleh pelanggar hukum, sama halnya dengan membiarkan kejahatan terus terjadi, tanpa upaya menghentikannya. Atau memang kondisi seperti itu cenderung dibiarkan, untuk memberikan ruang kompromi terhadap terduga koruptor ataupun tersangka tindak pidana lain yang punya akses kuat dengan penguasa? Seandainya benar maka bertambahlah satu permasalahan hukum yang kian mengusutkan benang penegakan hukum di negeri ini. (10)
Herie Purwanto, dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 7 Juni 2011